webnovel

Makan Siang

"Begitu To!" pungkasku.

Kuputar leher serta sedikit badan ke belakang mengintip Anto yang melipat kedua tangannya ke bawah kepalanya. Dan dengan kepala yang terlihat naik turun dia berkata, "hhmm, mimpi macam itu?".

'Udah cerita panjang lebar tinggi, balesannya cuma kaya gitu?'. Sambil mengusap air yang masuk serta membuat perih mata, kudorong badanku sekuat tenaga ke belakang menindih badan Anto sampai-sampai dia terdengar seperti seseorang yang mendadak terkena serangan jantung.

Errghh.

"Hahh?.... hahh?.... hahh?.... hahh?"cecarku sambil membentur-benturkan punggung Anto dengan kepalaku berulang-ulang kali.

"Ahhh... sakit woy!" bentak Anto.

Kemudian kurebahkan diri di atas badan Anto dengan dua tangan yang basah serta dingin menopang kepala. Sambil memandangi langit-langit kamar, aku kembali teringat akan mimpi aneh tentang wanita meringkuk di atas lemari.

"Entah kenapa mimpi gua akhir-akhir ini serem semua To!" jelasku

"Yah.... semua.... mimpi.... yang lu.... ceritain emang aneh semua sih!" balas Anto dengan terbata-bata.

"Sebenernya ada satu mimpi lagi yang mau ceritain ke lu To!" ungkapku

"Mimpi apa?" tanya Anto.

Lalu kuceritakanlah bagaimana aku terbangun termuntah-muntah di bersama seorang pelayan, wanita yang duduk meringkuk di atas sebuah lemari dengan cairan aneh keluar dari perutnya, serta Bu Dian yang mencekikku di tengah arus cairan aneh.

"Hiihhh!" ujar Anto.

"Serem kan To?" tanyaku

"Jijik!" kata Anto.

"Kenapa semua mimpi lu ada Bu Diannya dah?, segitu kangennya kah lu sama Bu Dian? sampe ke bawa mimpi segala!" cecar Anto.

Saat Anto mengatakan itu, otak ini mulai berpikir serta bertanya-tanya kenapa selalu terbayang sosok Bu Dian di mimpi, padahal selama dia masih hidup, kami tidak terlalu dekat. Bahkan sering menghindarinya karena tugas dan nilai-nilai ujianku yang jelek. 'Apa ini karena perbuatanku di hari itu yang membuat arwah Bu Dian menjadi tidak tenang dan menghantuiku?'

Saat itu juga terlintas di otakku untuk menceritakan kepada Anto tentang apa yang kulakukan terhadap hubungan antara Bu Dian, Bu Ani, dan Pak Rudi seminggu sebelumnya. Sebuah tindakan yang kusesali hingga tiga bulan lalu, sebuah tindakan yang menjadi awal dari kisah horor ini.

"Yah.... mungkin otak gua udah stress karena kebanyakan belajar, hahaha!" candaku.

"Kaya pernah belajar aja lu!" sindir Anto.

"Mungkin sebagai seorang guru, arwah Bu Dian gak bisa tenang ngeliat muridnya ada yang bodoh macam lu! hahahaha" ejek Anto.

"Ha.... ha.... ha...." ucapku menanggapi lawakannya yang sama sekali tidak lucu.

Percakapan kami tiba-tiba saja berhenti disitu yang merubah suasana kamar yang tadinya ramai penuh canda dan tawa kami menjadi sunyi senyap yang dipenuhi suara hembusan nafas dari dua remaja SMA yang saling tumpang tindih di atas tempat tidur.

Kesunyian itu memudar ketika aku mulai memberanikan diri memanggilnya untuk menceritakan apa yang telah kulakukan, "woy To!".

"Hmmm?" sahut Anto

"Lu tau kan dua Minggu lalu sebelum Pak Rudi sama Bu Dian meninggal gua ke rumah mereka buat nganterin tugas?".

"Iya, kayak biasa, setiap semester kan lu selalu gitu!" sindir Anto.

Seperti biasa, Anto senang sekali menyindir aku yang sering terlambat atau lupa menyerahkan tugas. Dengan sedikit kesal kusambung ceritaku, "iya kayak biasa! tapi To, pas gua nganterin tugas waktu itu gua ngeliat.... ".

Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu yang memotongku bercerita.

Tok tok tok.

Kuarahkan kedua bola mata ke arah pintu. Dan terlihat ibu yang sedang berdiri di bawa gerandel Pintu dengan daster bermotif bunganya menatap kami berdua.

"Ada apa Mak?" tanyaku.

"Sayurnya udah mateng tuh! ayo makan!" kata ibu dengan matanya yang melotot tajam.

Dengan kedua tangan bertumpu pada punggung Anto, kudorong badanku sekuat tenaga hingga terduduk.

Ahhhh

Kumenoleh ke belakang, ke arah Anto yang tiba-tiba saja mengeluarkan suara aneh itu. 'Kenapa dia tiba-tiba mendesah?'. Kupandangi terus kepala Anto itu sambil bangkit berdiri dari dudukku di atas bokongnya.

Setelah itu Anto berguling ke samping hingga telentang, lalu perlahan berdiri di sebelahku.

"Ayo Di!" ajak Anto dengan senyum terukir di bibirnya.

Kami berduapun keluar dari kamar yang disusul oleh ibu menuju dapur. Sesampainya di dapur, mataku langsung tertuju pada sebuah panci besar di atas kompor dengan asap-asap tipis keluar dari dalamnya. Saat mengintip ke dalamnya, seperti dugaanku isinya adalah sayur daun kelor yang terlihat sangat menyegarkan, namun dengan bau bawang yang sedikit menyengat.

Kuambil sebuah mangkok lalu menciduk isi panci itu dengan sendok sayur yang tergeletak di samping kompor. Saat selesai menuangkan sayur ke mangkok dan berbalik badan, aku melihat Anto menunduk serta ibu di belakangnya yang masih berjalan di depan kamar mandi.

Kuberjalan lalu duduk di meja makan sambil memperhatikan Anto yang melewatiku serta mengambil dua mangkok kemudian menuangkan sayur ke dalamnya, sementara ibu yang sudah duduk di sampingku. Setelah memenuhi kedua mangkok dengan sayur kelor, Anto menghampiri kami lalu duduk di sebelah ibu dan meletakkan satu mangkok di hadapannya.

Akhirnya siang itu kami bertiga dapat menikmati masing-masing semangkok sayur kelor. Tanpa nasi ataupun lauk tambahan lain, hanya semangkok sayur kelor yang sedikit asin serta bau bawang yang menyengat. Benar-benar suasana yang begitu nyaman, aku ingin sekali kembali merasakan masa-masa makan bersama keluarga yang hangat seperti itu lagi.

Setelah selesai makan, Anto langsung berpamitan untuk pulang ke rumahnya meninggalkan aku dan ibu berdua di rumah itu. Yang membuat sore harinya hanya bisa kuhabiskan menonton TV sambil menunggu baterai handphoneku terisi penuh.

Namun aku tak menyangka akan menghabiskan waktu berdiam diri di depan TV begitu lama, sampai akhirnya teriakan ibu menyadarkanku.

"Di! nyalain lampu depan!" teriak ibu entah dari mana.

Tanpa bersuara, aku langsung bangkit dari sofa dan bergerak menyalakan lampu teras depan serta samping rumah, lalu masuk ke kamar mengecek handphone yang tengah diisi.

Kulihat lampu di pojok atas layar handphone berwarna hijau, menandakan dayanya sudah terisi penuh. Langsung kucabut handphone itu dari pengisi dayanya lalu memainkannya sambil rebahan di tempat tidur.

Kubuka aplikasi WhatsApp, dan grup kelas nampak sepi sekali, tidak ada satu pun orang yang menanyakan ketidak hadiranku. Tidak Laras, Aldo, Rian, bahkan wali kelas baru itu, semuanya seperti tidak peduli aku telah tidak masuk berhari-hari.

Saat itu aku berpikir, 'sepertinya aku terlalu berharap pada mereka' 'atau aku yang terlalu pede sudah menganggap mereka sudah menjadi teman?'.

Dengan perasaan kesal serta kecewa, kututup WhatsApp lalu mulai membuka game kesukaanku dengan rasa gatal yang mulai muncul di kaki kananku.

Tak terasa sudah berapa jam waktu yang kuhabiskan untuk bermain game saat itu, sampai rasa pengap serta gatal yang mengganggu sudah menyelimuti sekujur tubuh melepaskan belenggu mata dan jariku dari layar handphone.

Kulihat keluar jendela, sang langit sudah kehilangan warna birunya dan berubah menjadi hitam gelap bertaburkan cahaya lampu. Karena sudah tak tahan akan gatal, aku pun turun dari tempat tidur hendak mandi.

Saat aku berjalan ke kamar mandi, terlihat kamar ibu nan gelap dari celah pintunya yang sedikit terbuka. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Saat itu aku bergumam dalam hati, 'tumben jam segini udah tidur'.

Saat memutar badan dan kembali melangkah ke kamar mandi. Tiba-tiba saja terdengar suara teriakkan ibu dari kamarnya.

Aaaaaaaaa....

Dengan sigap kuputar badan dan berlari ke kamar ibu. Saat membuka lebar-lebar pintu itu, terlihatlah di dalam kamar yang gelap itu seseorang dengan badan putih dan kedua mata menyorot merah menyala sedang menatap ibu yang sedang duduk bersandar pada dinding di belakangnya serta kedua tangan yang terlihat sedang memegang dan memeluk sesuatu di dadanya.

Thanks karena sudah mau mampir di mari!

Berikan saya kritik!

Berikan saya saran!

Berikan saya vote!

Add novel ini ke library anda!

CTRIPcreators' thoughts
Chương tiếp theo