"Masa SMA seharusnya menjadi masa yang indah dan tak terlupakan, namun, kehidupan normal yang selama ini aku dambakan hilang bak ditiup angin topan—". Tak pernah sekalipun terlintas di benak Rakai Yudha Taksaka bahwa kemampuannya dalam melihat hal-hal di luar nalar akan membawanya menuju masalah yang jauh lebih serius. Bertemunya pemuda itu dengan seorang perempuan bernama Sembadra ternyata telah membuka kunci menuju sebuah masalah baru yang berkaitan dengan dendam di masa lalu. Berbekal kemampuan beladiri dan sebuah pusaka yang membuatnya mampu mengontrol api, Rakai memutuskan untuk mencari tahu akar dari permasalahan yang menimpanya. Dengan ditemani oleh Sembadra dan rekan-rekannya, Rakai mulai menguak satu persatu misteri yang ada di depannya. Siapa yang menyangka bahwa ternyata cahaya itu tak selalu baik dan kegelapan itu tak selalu jahat?
Gatotkaca melesat ke langit setelah memporak-porandakan pasukan Adipati Karna, dan bersembunyi dibalik awan. Sang Adipati yang melihat pasukannya telah porak-poranda pun menghela nafas untuk meredakan amarahnya, dan memasang sebuah anak panah magis di busur Surya miliknya. Kuntawijayadanu, nama panah itu, yang ia arahkan kepada kesatria gagah berjuluk Kerincing Wesi, Gatotkaca. Akan tetapi, Karna merasa kesulitan untuk membidik karena Gatotkaca berada terlalu jauh dari jangkauan serang Kuntawijaya miliknya. Otak sang Adipati pun mencoba memikirkan berbagai rencana untuk bisa membunuh kesatria yang sudah memporak-porandakan pasukannya, meski akhirnya selalu buntu. Karna kembali menghela nafas, dan menurunkan busurnya sembari mencoba untuk berpikir lebih jernih.
Sementara jauh di awang-awang, Gatotkaca menatap waspada kearah Karna yang menurunkan kembali Kuntawijaya. Pemuda gagah itu tahu betul bahwa Kuntawijaya merupakan satu-satunya senjata yang bisa membunuhnya, karena di dalam dirinya bersemayam selongsong anak panah milik pamannya tersebut. Selongsong panah Kuntawijaya dulunya dicuri Arjuna dari Karna agar Werkudara bisa memotong tali pusar Gatotkaca yang bahkan tidak bisa dipotong oleh Kuku Pancanaka milik sang kesatria Jodhipati tersebut. Namun, setelah tali pusar Gatotkaca berhasil dipotong, selongsong anak panah tersebut malah lenyap dan menyatu dengan raga pemuda setengah Bhuta tersebut, menjadikannya kebal dari senjata apapun selain anak panah Kuntawijaya. Alhasil, hanya Kuntawijaya lah satu-satunya senjata yang bisa digunakan untuk membunuh Gatotkaca, membuat kesatria muda itu menjadi gegabah dan memporak-porandakan pasukan Karna dengan harapan bahwa Karna akan kabur dari medan perang.
"Sang Hyang Widhi (Sang Pencipta), bagaimanakah aku bisa menembakkan senjataku kearah Gatotkaca sementara ia berada jauh di atas sana? Haruskah para prajuritku menderita di alam sana karena aku tidak bisa membalaskan dendam mereka? Kumohon bantulah aku untuk membalaskan kematian teman-temanku yang berharga, wahai Sang Hyang Widhi..." gumam Karna yang hampir putus asa melihat Gatotkaca terbang membelakangi matahari, seolah memberikan intimidasi yang besar terhadap Karna dan pasukannya.
Tak lama berselang, seorang kesatria berwajah licik datang mendekati Karna dengan menunggang sebuah kuda besar berwarna cokelat. Kesatria itu terlihat membawa selongsong anak panah yang hampir kosong di punggungnya, dan di tangan kiri kesatria tersebut tergenggam sebuah busur. Aswatama, nama kesatria tersebut, yang merupakan putra dari Maharesi Durna, salah seorang ajudan kubu Kurawa yang dipimpin oleh Prabu Duryudana. "Hai saudaraku Karna, ada apakah gerangan hingga kau merasa begitu putus asa? Apakah kau merasa bahwa kita akan kalah dari kubu Pandawa? Jawablah pertanyaanku ini, hai Raja negeri Ngawangga," tanya Aswatama setelah menaikkan dirinya di kereta perang milik Karna. Sebuah lirikan tajam Karna berikan saat mendengar pertanyaan Aswatama yang menurutnya sangat sombong tersebut. Akan tetapi, sang Adipati menjawab dengan sabar, "Aku tidaklah sebodoh itu untuk meremehkan mereka, Aswatama. Hanya saja, Gatotkaca berada terlalu jauh dari jangkauan serang Kuntawijaya milikku. Bagaimana caranya agar aku bisa mengalahkan Gatotkaca dan membalaskan dendam pasukanku sementara dia berada jauh di atas sana?"
Tawa Aswatama pecah di tengah perang besar Baratayudha, menertawakan ketidakmampuan Karna dalam membalaskan dendam pasukannya yang gugur setelah menghadapi Gatotkaca. Pemuda itu lalu mengalihkan pandang ke area sekitar mereka, dimana banyak mayat bergelimpangan yang kebanyakan merupakan bekas pasukan Karna. Mayat-mayat tersebut hampir tak ada yang kondisinya masih bagus, sebagian besar dari mereka terpanggang oleh api berwarna biru pudar, sementara sebagian lainnya tak utuh bentuknya karena terinjak oleh Gatotkaca, atau terkena ajian sakti sang kesatria Pringgodani tersebut. "Hai saudaraku, alangkah menyedihkannya nasibmu yang tak bisa melawan keponakanmu sendiri. Werkudara pastilah sangat bangga memiliki putra seperti Gatotkaca, karena ia telah berhasil menyudutkan salah satu panglima Kurawa sepertimu," berkata Aswatama pada sang Adipati yang hanya menunjukkan raut masam. Sang putra Resi Durna dengan Dewi Sembrani tersebut lalu melompat ke kudanya, meninggalkan Karna yang masih termenung diatas kereta kudanya.
Karna hanya memejamkan matanya selepas kepergian Aswatama. Sesungguhnya ia tak mau berperang melawan Pandawa yang sejatinya merupakan adik-adiknya, akan tetapi ia tak memiliki pilihan lain karena ia telah bersumpah setia kepada Duryudana saat ia masih muda. Karena itu pula, Karna bersumpah kepada ibu kandungnya, Dewi Kunti, bahwa ia tak akan menyakiti barang sehelai rambut pun dari kelima Pandawa, terkecuali Arjuna, dan putra-putri para Pandawa. Sedikit perasaan nostalgia terlintas di benak Karna, sebelum akhirnya ia memantapkan hatinya untuk mengangkat kembali busurnya, lalu membidik Gatotkaca dan menarik tali busurnya dengan sekuat tenaga. Sebuah suara terlintas di benak Karna sebelum akhirnya ia melepas Kuntawijaya kearah Gatotkaca. 'Lepaskanlah anak panahmu, Adipati Karna dari Ngawangga. Sudah waktunya bagi Gatotkaca untuk berpulang ke Nirwana,' begitulah kiranya yang Karna dengar.
Gatotkaca yang melihat bahwa Karna telah melepaskan Kuntawijaya kearahnya mencoba lari, akan tetapi ia tanpa sengaja melihat sekelebat bayangan dari pamannya di pihak ibu yang tanpa sengaja ia bunuh karena mengamuk. "Kemarilah keponakanku, sudah waktunya aku membawamu menuju rengkuhan Nirwana," berkata bayangan dari Kalabendana. "T-tapi....aku tidak akan mungkin masuk ke Nirwana, paman....aku telah membunuhmu dahulu, dan itu adalah dosa yang tak termaafkan," ujar Gatotkaca dengan airmata berlinangan. Bayangan Kalabendana hanya tersenyum, lalu merengkuh keponakannya dan menariknya turun. Gatotkaca mencoba menolak, tetapi akhirnya luluh saat melihat senyum Kalabendana. "Tidak apa-apa, keponakanku, sudah waktunya engkau kembali ke atas sana," ucap bayangan Kalabendana itu seraya menarik raga Gatotkaca untuk turun ke jangkauan serang Kuntawijaya. "Paman, maafkan aku yang dulu telah memotong lehermu dengan ajianku," gumam Gatotkaca setelah melihat bayangan Kalabendana memudar dan kelebatan api di mata panah Kuntawijaya yang menuju kearahnya. Panah magis pemberian dewa Indra tersebut menancap di pusar Gatotkaca, memisahkan jiwanya dari raganya yang sakti mandraguna. Tubuh raksasa Gatotkaca jatuh berdentum dari langit, menewaskan sebagian pasukan milik Arjuna yang kebetulan berada disana setelah mundur dari serangan pasukan Kurawa. Sang kesatria Pringgodani yang sakti mandraguna telah gugur di medan perang dengan membawa serta senjata milik sang paman menuju Nirwana.
Werkudara yang melihat putra tertuanya telah tewas mengamuk sejadi-jadinya. Dengan gada besar miliknya, Werkudara berlari menerjang pasukan Prabu Duryudana dan membunuh mereka dengan ayunan gada Rujakpolo miliknya. Werkudara meraung murka kearah Karna, seraya terus membunuh pasukan Duryudana dan berhasil menewaskan salah seorang anggota Kurawa, Dursasana. Akan tetapi, kemalangan tak terhindarkan, untung tak dapat diraih. Werkudara gagal mencapai Karna akibat kelelahan setelah membantai seperempat pasukan Kurawa, dan akhirnya ia pun meneriakkan kutukannya kepada Karna. "Ha'i Prabu dari Ngawangga! Engkau telah membunuh putraku yang sama sekali tidak memiliki salah apapun terhadapmu! Aku dan keempat saudaraku tak akan pernah memaafkanmu selama-lamanya! Kami akan mengejarmu ke neraka, dan kami akan memberikanmu siksaan yang sangat pedih bahkan setelah kau bereinkarnasi!" kutuk sang anggota Pandawa yang kedua, Werkudara, atau dikenal sebagai Bimasena.
Tiba-tiba, langit bergemuruh diikuti petir yang menyambar dengan dahsyat setelah Werkudara meneriakkan kutukannya. Angin topan berhembus garang, menerbangkan para prajurit Kurawa di penghujung hari keempat perang Baratayudha tersebut. Kutukan yang terlontar dari mulut Werkudara yang tertuju pada Karna telah disetujui oleh sang dewa angin, Bathara Bayu. Kutukan yang akan membawa para peserta perang Baratayudha menuju babak baru di kehidupan selanjutnya.
Bersambung