Baiknya sore ini, menatap langit senja bergradasi oranye keemasan ditemani segerombolan burung yang bermigrasi ke wilayah timur sejenak membuatku tenang. Aku pusing, hatiku terasa gerah, daritadi melihat kedua sejoli yang bermesraan dan bergandengan tangan berjalan keliling taman. Sementara aku? Tentu saja berkencan dengan bangku!
Jika begini lebih baik aku bersama Edelweis tapi malangnya nasibku, Jace tidak mengijinkanku pergi sebelum mereka selesai berpacaran. Kau pasti tahu bukan bagaimana rasanya melihat orang yang kau sukai nyaman bersama orang lain dan bukan dirimu? Tragis sekali.
"Mau kemana Edelweis bersama Naomi?" gumamku ketika dua perempuan itu masuk ke istana, meninggalkan Jace yang malah berjalan kearahku.
Semilir angin menyapa rambutnya, sorot mata itu terlihat berbinar-binar ketika aku menatapnya hingga sebentuk senyum manis terbit diwajahnya. Sang alam kurasa turut mendukung keindahannya, secercah cahaya mentari sore menyorot lembut dari balik tubuhnya. Menjadikannya benar-benar luar biasa. Jika ini didunia Webtoon pasti aku akan digambarkan mimisan yang muat seember penuh.
"Jade, Jade, hidungmu berdarah!" seru Jace panik yang membuatku kaget.
Dia benar, cairan merah hangat itu mengalir dari hidungku secara tiba-tiba. Aku tak menyangka jika 'tragedi' mimisan ini benar adanya, kukira hanya untuk mendramatisir cerita.
"Ambillah." Jace menyodorkan sapu tangan miliknya.
"Tidak perlu, pangeran," aku menggeleng dan duduk menjauh darinya.
Dia memandangku heran sebab tindakanku barusan. "Ini perintah dariku."
Oke. Akan ku ambil.
"Terimakasih."
Selanjutnya aku menyumbatkan sapu tangan ke hidungku sambil mendongakkan kepala menatap langit, sementara dia diam melihat sang mentari perlahan tenggelam. Besok adalah hari pernikahan. Hari dimana mereka saling mengikat janji suci satu sama lain, janji sehidup semati baik suka maupun duka. Hari yang mengubah status mereka jadi sepasang suami-istri dimana Jace akan jadi milik Naomi sepenuhnya begitupun sebaliknya.
***
Besok adalah hari pernikahan. Hari dimana mereka saling mengikat janji suci satu sama lain, janji sehidup semati baik suka maupun duka. Hari yang mengubah status mereka jadi sepasang suami-istri dimana Jace akan jadi milik Naomi sepenuhnya begitupun sebaliknya.
Itu berarti, ini adalah hari terakhirku bisa memandang bebas dirinya. Rasa cinta yang telah tumbuh ini setidaknya harus kupangkas habis dalam semalam. Andai semudah itu melakukannya, maka aku akan menghadiri pesta pernikahan dengan wajah berseri-seri seolah-olah tak terjadi apa-apa. Atau jika ada aku akan menenggak seratus botol ramuan penghilang perasaan, untuk menghilangkan rasa cintaku padanya.
Aduh, Anne! Kenapa kau jadi melakonlis seperti ini? Fokus Anne! Kau disini untuk menyelamatkan mereka, bukan untuk hal tersebut. Kau harus cari cara untuk menggagalkan pernikahan mereka. Tapi bagaimana? Lalu entah setan darimana membisikiku sebuah rencana.
'Ungkapkan perasaanmu padanya.'
Hello?!! Kamu serius? Itu rencana yang gila! Aku tidak sanggup melakukannya. Aku harus menaruh mukaku dimana? Di angkasa?
"Aku senang, Jade."
Iya Jace. Aku tahu kamu senang.
"Besok adalah hari yang paling kutunggu setelah sekian lama."
Menikah dengan Naomi adalah impianmu terbesarmu ya, Jace.
"Aku tidak sabar menunggu esok tiba."
Aku malah berharap waktu bisa berhenti sekarang.
"Bukankah.. ini sore terakhir kita?"
Tak terasa air mataku mengalir, aku benci mengakui bahwa itu benar. Kau jahat Ash, mengapa kau dengan mudahnya menghancurkan dinding pertahananku? Katanya dulu kau tidak akan jatuh cinta padanya, lalu sekarang apa?
"Kau menangis, Jade?"
Aku mengusap air mataku. "Tidak. Mataku tadi kemasukan debu."
Jace menghela napas. "Ada yang ingin kau sampaikan padaku?"
Dengar, ungkapkan perasaanmu padanya, siapa tahu pangeran akan mengubah keputusannya.
Astaga! Setan ini lagi! Pergilah dari sini!
"Pangeran, saya sudah memperingatkan anda dari dulu–"
Jace menyela. "–jangan menikah dengannya. Karena akan membuka gerbang kehancuran bagi kerajaanku sendiri. Well, aku ingat, tapi aku tidak akan menyesali keputusanku. Lagipula kau tidak berhak ikut campur."
Iya, ya. Memang aku siapanya?
"Aku mencintaimu, Jace," ucapku tenang tanpa keformalan. Tentunya aku sebagai–Anne–yang jujur mengakui.
Jace terkejut. Sorot matanya menatapku tak percaya seakan-akan ini hanya sebuah lelucon. Aku tahu ini kedengarannya konyol, tapi jatuh cinta dalam waktu sebulan tidak ada yang menyangka, bukan?
"Ada pria lain yang mencintaimu, Jade."
Aku terdiam. 'Ada pria lain yang mencintaimu, Jade', kalimat itu menggema dipikiranku. Apakah ini artinya dia menolakku? Rasanya aku ingin mengatakan; aku Anne bukan Jade! Tapi aku tak bisa, aku akan dianggap pembual. Yang bisa mereka lihat sekarang hanyalah fisik Jade, bukan jiwa Anne. Dan itu kenyataan pahit yang harus kuterima.