webnovel

Perpisahan

Berdirinya aku di balairung sini bukan untuk mengikuti upacara bendera, melainkan mengantarkan hatiku pada lubang kehancuran sama seperti kerajaan ini. Mengenakan dress putih sederhana yang dianggap suci untuk hari sakral seperti ini, menurutku tidak, bagiku ini sama halnya dengan mengibarkan bendera putih pertanda aku sudah menyerah. Aku pasrah, aku sudah tidak punya peran disini. Aku ingat, dinovel butuh tujuh lembar halaman lagi untuk menceritakan hal-hal pilu setelah hari pernikahan ini. Harapanku hanya satu; aku dapat keluar dari dunia novel ini secepatnya tanpa menyaksikan kehancuran mereka. Aku tidak tega.

***

Aku pasrah, aku sudah tidak punya peran disini. Aku ingat, dinovel butuh tujuh lembar halaman lagi untuk menceritakan hal-hal pilu setelah hari pernikahan ini. Harapanku hanya satu; aku dapat keluar dari dunia novel ini secepatnya tanpa menyaksikan kehancuran mereka. Aku tidak tega.

Para tamu undangan telah datang memenuhi tempat ini. Mereka antusias menyaksikan Jace dan Naomi yang akan mengucapkan janji suci pernikahan. Aku sendiri tidak berminat, lebih memilih menguping pembicaraan para wanita bangsawan tak jauh dariku.

"Mereka pasangan yang cocok!"

"Pangeran selalu saja bertambah tampan."

"Lihatlah! Pangeran akan mengucapkan janji."

Tak lama kemudian suara maskulin Jace terdengar. Aku refleks mengamati mereka yang kini saling berhadapan dan memegang tangan satu sama lain. Boleh aku meminta es? Aku ingin mengguyur hatiku yang panas.

"Salam hormatku bagi para leluhur, aku Pangeran Jace Alister–" dia diam sebentar menarik napas. Dari raut wajahnya dia terlihat sengaja memberi jeda, membuat para hadirin langsung saling berbisik. Jace sekilas memandang ke arahku dari jauh sambil menampilkan senyum misteriusnya. Aku kaget? Pasti.

"–memberi titah pada para pengawal untuk menangkap mata-mata musuh disini! Jebloskan mereka ke penjara bawah tanah!"

Ada apa ini? Apa yang terjadi? Dengan gerakan cepat para pengawal segera bertindak, menangkap mata-mata musuh yang salah satunya adalah Naomi! Hiruk pikuk terjadi ditengah pesta pernikahan.ini, sedangkan aku masih seperti orang linglung yang tak beranjak dari tempatku.

Naomi tersentak. "Aku tidak salah, pangeran."

"Semua bukti sudah ada ditanganku, Naomi," balas Jace sengit.

Saat kulihat para pengawal menggiring beberapa orang-orang yang merupakan mata-mata musuh keluar, aku merasa tidak percaya. Ini bukan mimpi, kan?

Tiba-tiba kerumunan orang-orang membelah. Disana seorang pria dengan tatapan sayu sarat akan kelembutan berjalan mendekat kearahku, seolah-olah aku adalah sesuatu yang sangat dia nantikan. Air mataku mengalir, sebuncah emosi menghentak-hentak ingin keluar. Aku ingin berlari kearahnya, namun sayang sebuah anak panah menancap lebih dulu di perutku.

"Jade!"

Itu suara Alice. Dia berteriak histeris ketika darah keluar menodai dress putihku ini. Badanku limbung kebelakang bersamaan Jace yang menahanku di rengkuhannya. Kau tahu? Aku senang kami akhirnya bisa sedekat ini. Hatiku tersentuh saat melihatnya meneteskan air mata. Dia menunduk dalam-dalam, menahan segala emosi yang ingin pecah, tangannya menggenggam erat tanganku yang terkulai lemas. Sebuah nama yang Jace bisikan ditelingaku membuatku hatiku menghangat, menyadarkan bahwa kini tugasku telah usai.

"Terimakasih, Anneryn Winston."

Baiklah, aku pergi ya, Jace.

***

Aku bersyukur sekali, rasa sakit yang mendera kukira impas dengan keselamatan mereka. Sekarang aku tinggal mengikuti kemana takdir membawa jiwaku. Badanku terasa ringan saat melewati lorong-lorong putih menuju ujung yang bercahaya terang, kiranya apa yang menungguku di ujung sana? Apakah aku akan disambut alam kematian? Elise, maafkan aku jika harus meninggalkanmu.

"Kakak?"

Aku membuka mata. Didepan mukaku sendiri aku melihat Elise cengar-cengir tanpa dosa.

"Elise, kau ikut mati?"

Sebaris pertanyaan yang kulontarkan mendapat respon terheran-heran darinya, alih-alih menjawab dia justru ke pergi ke dapur.

"Aku belum mati, kak–" Elise menyahut, "–kenapa kakak bicara seperti itu?"

Aku yang masih dalam keadaan berbaring disofa mencubit tanganku sendiri. Sakit. Ya Tuhan, syukurlah, aku masih hidup dan bisa kembali lagi ke tubuh asliku.

"Aku akan membuat sarapan pagi. Kau ingin apa?" tawar Elise.

"Aku ingin mandi dulu."

Aku beranjak dari sofa. Rasanya ingin menyegarkan tubuh dan pikiranku dari kejadian aneh ini. Setelah ini aku akan pergi menemui Kakek Cio, dan menceritakan segalanya. Baru beberapa langkah ku berjalan, sepucuk surat jatuh dari novel yang tak sengaja masih ku dekap. Aneh. Sewaktu aku membaca kemarin tidak menemukan surat, tapi kenapa sekarang ada? Aku lantas memungutnya. Kertas surat ini terlihat usang, sewaktu kubuka didalamnya terdapat tulisan tangan yang sangat rapi.

Chương tiếp theo