webnovel

Batas akhir

Haruna mengalihkan pandangannya ke depan. Kedua temannya itu menatap Haruna dengan heran.

"Kalian, sejak kapan di sini?"

"Sejak tadi. Haruna, kamu kenapa? Melamun sambil menatap parkiran. Ada apa di parkiran?" tanya Aulia. Aulia menatap ke arah parkiran dan melihat Tristan sedang berjalan meninggalkan parkiran dan masuk menuju lobby. "Oh, ternyata diam-diam kamu naksir Presdir Tristan, ya, hahaha. Memang sih dia sangat tampan, tapi sayang, dia suka bermain wanita," ucap Aulia.

"Wah, aku ikut senang mendengarnya. Aku pikir Haruna tidak tertarik dengan laki-laki. Aku sampai takut untuk memeluk Haruna, takut dia terangs*ng, haha." Sari menimpali ucapan Aulia. 

"Kalian ini apa-apaan sih. Siapa yang naksir pria brengsek seperti dia? Aku kembali bekerja duluan," ucap Haruna dengan kesal. Haruna melangkah pergi meninggalkan kedua temannya.

"Yang benar saja, kalau belum habis jam istirahat teller juga belum dibuka lagi. Kenapa dia marah, padahal kita hanya sedikit menggodanya," ucap Sari kesal.

"Sudah, sudah, mungkin tamu bulanannya sedang datang. Jadi sensitif gitu, deh," ucap Aulia menghibur Sari. Mereka kembali memakan makan siang mereka.

Haruna melangkah dengan penuh amarah menuju ruangan Tristan. Dia ingin menanyakan kebenarannya secara langsung pada Tristan. Tiba di depan ruangan Tristan, Haruna membuka pintu dengan kasar.

Brakk!

"Hei, kurang ajar, siapa yang be …. Oh, rupanya kau, aku pikir siapa yang berani membanting pintu ruanganku. Apa kau merindukanku?" Tristan mengejek Haruna. Ia menyuruh Levi keluar dan menjaga di depan pintu.

Levi keluar dan mengunci pintunya dari luar. Haruna menggedor pintu saat mendengar suara kunci diputar. Tristan menarik Haruna dan menjauhkannya dari pintu.

"Brengsek, mau apa kamu mengunciku di sini? Jangan berani kurang ajar atau aku akan teriak!" Haruna mengancam Tristan agar dia tidak macam-macam. 

"Bukankah kau yang mencariku? Kenapa sekarang bertanya apa mauku? Seharusnya aku yang bertanya, apa maumu? Kenapa kau menerobos masuk ke ruanganku?" tanya Tristan dengan senyum menyeringai. Ia berdiri di dekat pintu dengan tangan bersedekap. Pandangannya terarah lurus pada Haruna.

"Aku kesini karena aku ingin menanyakan satu hal padamu. Tentang hutang ayahku, tentang kelima preman yang mengganggu ayahku dan orang dibalik semuanya. Apa itu semua ulahmu?" tanya Haruna dengan penuh emosi.

"Tentang kenapa Bank ini aku beli, kenapa ayahmu harus membayar 2 Milyar dan tentang para preman, semuanya memang ulahku." Tristan menjawab dengan tenang dan senyum lebar yang seakan sedang mengejek Haruna.

"Kurang ajar! Kenapa kau mengusik keluargaku? Aku tidak pernah mengusik keluargamu. Kenapa kau begitu jahat?" tanya Haruna dengan mata berkaca-kaca. Haruna tidak menyangka jika semuanya memang ulah Tristan. "Apa yang harus aku lakukan agar kau melepaskan mereka, hiks. Mereka tidak bersalah, kumohon, jangan sakiti mereka." Haruna terduduk di lantai dengan tangis yang mulai tidak bisa ditahan.

"Karena kau begitu putus asa … baiklah, aku beritahu padamu satu cara agar semua masalah ini bisa kita selesaikan. Aku tidak akan mengganggu keluargamu, asalkan …." Tristan menggantung ucapannya.

"Asalkan apa? Katakan," ucap Haruna dengan putus asa. Ia sadar tidak akan bisa melawan kekuasaan Tristan. Haruna hanya berharap bisa membebaskan keluarganya dari tekanan Tristan.

"Asalkan kau mau naik ke atas ranjangku, maka aku akan membebaskan keluargamu," ucap Tristan.

Haruna melebarkan matanya saat Tristan melanjutkan ucapannya yang menggantung. Haruna mencoba berdiri walau kakinya terasa lemas. Dengan penuh emosi, Haruna menghampiri Tristan.

Plakk!

"Kau berani menamparku!" Dengan pandangan menyeramkan, Tristan mencekik leher Haruna.

"Bunuh saja aku, jika itu akan membuatmu puas membalas dendam padaku. Asalkan kau lepaskan keluargaku, uhuukk," ucap Haruna dengan suara tercekat diantara cekikan tangan kekar Tristan. Napasnya mulai tersengal.

Brukk!

Tristan melepaskan cekikannya dan Haruna langsung terjatuh, tergeletak di lantai. Haruna terbaring dan terbatuk, ia menatap wajah Tristan yang mulai samar. Beberapa detik kemudian Haruna pun tidak sadarkan diri. Melihat Haruna tidak sadarkan diri, Tristan menelepon Levi agar membuka pintunya.

Levi membuka pintu dan segera menghampiri Haruna yang tergeletak di lantai. 

"Bawa dia ke kamar istirahat dan suruh seseorang menggantikan tugas Haruna," ucap Tristan.

"Baik, Tuan muda," jawab Levi. Levi mengangkat tubuh Haruna dan menggendongnya. Levi membaringkan Haruna di ranjang yang ada di kamar istirahat. Kamar istirahat itu terletak di dalam ruan kantor Tristan. Setelah membaringkan Haruna, Levi pergi ke lantai bawah dan menyuruh seseorang untuk menggantikan Haruna, menjadi teller sementara.

***

Di rumah, Kiara seperti mendapatkan firasat buruk tentang Haruna. Dia terus menatap jalanan di depan rumah Haruna. 

"Kia, sedang apa?" tanya Vivi.

"Tante, mama kenapa belum pulang?"

"Kia, kan tahu mama pulang jam empat sore. Ini baru jam satu siang," ucap Vivi. Ia kemudian menggendong Kiara masuk ke dalam rumah. "Sekarang, mending Kia bobo siang. Nanti sore pas Kia bangun bobo, mama pasti sudah pulang." Vivi membawa Kiara ke kamar Haruna dan membaringkannya di ranjang perlahan-lahan.

"Vi, Kiara kenapa?" tanya Anggi yang menyusul masuk ke kamar Haruna. 

"Tidak apa-apa, Ma. Kiara cuma kangen sama Kak Haruna, jadi Vivi menyuruh Kia untuk tidur siang. Supaya tidak merasa terlalu lama menunggu Kak Haruna."

"Oh," ucap Anggi singkat. Seperti Kiara yang cemas menanti kedatangan Haruna, Anggi juga sedang cemas menanti kedatangan suaminya. Nanti malam jam tujuh adalah batas akhir yang diberikan oleh kelima preman itu. Anggi sedang harap-harap cemas menunggu hasil usaha suaminya, apakah berhasil atau tidak menjual kedai mereka?

***

Haruna sudah sadarkan diri. Dia terperanjat bangun dan menjauh dari Tristan yang duduk di tepi ranjang. Haruna tersudut ke tepi ranjang yang lain.

"A-pa yang kau lakukan padaku?" tanya Haruna dengan gugup.

"Yang aku inginkan, kau naik ke atas ranjangku dengan suka rela. Aku tidak berniat memperkosamu, meskipun aku sangat ingin melakukannya," ucap Tristan sambil mengusap bibirnya sendiri dengan ibu jarinya. Senyuman mesum dari bibir Tristan membuat Haruna ketakutan. Tristan merangkak naik ke atas ranjang dan mendekati Haruna dengan perlahan.

Haruna segera menghindar dan turun dari ranjang. 

Tristan merebahkan tubuhnya di ranjang dan menatap Haruna yang berlari keluar dari kamar istirahat dengan menenteng sepatunya. Sebelum keluar dari ruangan Tristan, Haruna memakai kembali sepatunya dan merapikan sedikit rambutnya yang kusut. Haruna melirik jam dinding, sudah jam setengah tiga. Haruna segera berlari ke lantai bawah dan langsung menuju meja teller.

Setelah kepergian Haruna, Aulia muncul dari balik dinding toilet. Ia melihat Haruna dengan pandangan heran.

"Darimana dia? Hah, untung saja aku masih bisa menjadi teller cadangan." Aulia menyusul Haruna ke meja teller.

Saat Haruna sampai di mejanya, para nasabah sudah sepi.

"Aduh, Sar, maaf ya. Aku tadi ketiduran di toilet," ucap Haruna mencari alasan. 

"Hah? Tidur di toilet?" tanya Sari. Ia menganga tidak percaya jika Haruna ketiduran di toilet.

"Kenapa aku melihatmu turun dari lantai atas?" tanya Aulia yang baru tiba di belakang Haruna. 

"Itu … aku ketiduran di toilet lantai atas," jawab Haruna dengan gugup.

"Oh," ucap Sari dan Aulia secara bersamaan. 

Haruna bernapas lega. Untung saja kedua temannya itu percaya, kalau tidak, entah apa yang akan mereka pikirkan tentang Haruna. Haruna mengobrol sambil merapikan struk nasabah hari ini. Jam empat sore mereka mulai bersiap untuk pulang.

"Haruna, aku duluan, ya." Sari keluar dari Bank dan pulang lebih dulu.

"Haruna, sudah selesai beres-beresnya?" tanya Aulia.

"Sudah, kamu sudah mau pulang?"

"Ya, kita keluar bareng."

Haruna dan Aulia pergi bersama menuju parkiran dan naik ke atas motor masing-masing lalu berpisah, karena arah menuju rumah Haruna dan Aulia berbeda. Di jalan, Haruna menyempatkan diri untuk mampir sebentar dan membeli pizza untuk Kiara.

Chương tiếp theo