webnovel

Tolong Jaga Kay

Sudah lima menit Aiden berada di depan rumah Kay, tapi sampai saat ini dia belum juga memiliki keberanian yang cukup besar untuk turun dari motornya entah apa yang dia takutkan atau ragukan tidak ada yang benar-benar tahu hal tersebut. Ya sejatinya kita tidak akan tahu apa yang orang lain rasakan bahkan ketika orang itu sendiri yang jujur dengan kita. 

Tiba-tiba atensi milik Aiden teralihkan dengan sangat cepatnya saat pintu utama di rumah Kay terbuka, tapi bukan Kay dalangnya melainkan sosok Fajar Mahardika yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayahnya Kay. Melihat pemandangan yang semesta perlihatkan kali ini rasanya Aiden tidak punya pilihan lain selain turun dan berhadapan langsung dengan sosok yang saat ini paling bertanggung jawab atas seorang cewek yang notabenenya masih berstatus sebagai pacarnya. 

"Pagi, Om," sapa Aiden dengan nada yang terdengar sangat sopan. 

"Pagi," balas Fajar, tapi kedua manik matanya terus saja menilik ke dalam dua manik mata milik Aiden. Namun tak peduli sekuat apa pun Fajar berpikir otaknya tetap saja buntu tentang pria yang saat ini berdiri tepat di hadapannya. 

"Pacarnya Kay?" Kedua manik mata milik Aiden lantas membulat dengan sangat cepatnya saat mendengar apa yang sedang dikatakan oleh sosok paruh baya yang ada di hadapannya saat ini. 

"I-iya, Om." Bahkan sampai pada titik ini Aiden masih tidak tahu setan dari arah mana yang sedang mengambil kontrol dirinya sampai dengan ringannya dia membenarkan apa yang dikatakan oleh sosok lelaki yang dia yakini adalah papanya Kay. 

"Mau jemput Kay?" tanya Fajar sekali dan Aiden sudah berdiri di sini. Dengan dia membantah apa yang lelaki itu katakan sama saja dengan membuat dirinya terlihat seperti komedi. 

Lidah milik Aiden terlalu keluh sehingga saat ini dia hanya menjawab apa yang menjadi pertanyaan milik Fajar dengan gerakan kepala naik turun sebagai jawabannya. 

"Kay, masih siap-siap. Kamu tunggu aja, ya!" Sekali Aiden hanya mengangguk atas apa yang dikatakan oleh Fajar, entah kenapa setiap kali berhadapan dengan lelaki ini menjadikan Aiden seperti orang yang memiliki stimulus otak rendah. 

"Om temani, ya? Sekalian om juga ada yang ingin dibicarakan sama kamu." Sebelah alis milik Aiden terangkat naik saat mendengar apa yang dikatakan Fajar barusan. 

"Duduk dulu!" titah Fajar sambil menunjuk kursi yang ada di ruang tamu mereka. Tanpa ada niat untuk membantah Aiden menurut saja dengan apa yang dikatakan oleh Fajar. 

"Aiden Ramadhan Makalela?" kata Fajar saat kedua titik atensinya hanya tertuju pada name tag yang cowok itu pakai. 

"Kamu dan Kay udah pacaran berapa lama?" tanya Fajar kali ini dengan tatapan yang penuh dengan intimidasi.

"Masih 4 bulan kok, Om." Fajar hanya mengangguk saat mendengar apa yang sedang dipertanyakan oleh Aiden. Namun dari hal itu juga Aiden kini tahu kalau ada hal yang lebih berat untuknya. 

"Om nggak bolehin Kay pacaran, ya?" tanya Aiden. Dia tahu dia lancang barusan, tapi rasa ingin tahunya sungguh tidak dapat lagi untuk ditahan dalam waktu yang lama.

"Untuk apa pun yang menjadi bahagia Kay, maka om akan selalu menjadi garda terdepan untuk hal tersebut. Kalau ada satu pria yang cinta tidak pernah habis maka itu adalah pria untuk anak perempuan mereka." Aiden kini lebih memilih untuk diam saja. Sekarang dia meyakini kalau diam adalah jalan ninja terbaiknya. 

"Sekarang om mau tanya sama kamu. Kam serius ama Kay?" Kening milik Aiden lantas saja mengernyit dengan sangat cepatnya saat mendengar apa yang dikatakan oleh Fajar barusan. Kalau ditanya apakah dia mengerti ini semua maka dengan sangat gamblang dia akan berkata tidak. 

Fajar saat ini terlalu abu-abu untuk Aiden yang memiliki banyak sekali warna di dalam hidupnya. 

"Om sepertinya itu terlalu--"

"Terlalu cepat untuk kalian yang masih kelas 12?" pangkas Fajar dan tak butuh waktu lama Aiden pun membenarkan terkaan dari papanya Kay barusan. Mungkin itu adalah alasan yang paling tepat untuk dia berkilah, tapi seharusnya Aiden juga sadar kalau pria yang sedang dia hadapi saat ini adalah pria yang telah memiliki perjalanan hidup yang panjang dan bukan tandingan Aiden juga dalam berdebat. 

"I-iya, Om." Pada akhirnya Aiden tidak memiliki opsi lain selain membenarkan saja apa yang menjadi terkaan Fajar beberapa saat yang lalu. 

"Tapi yang namanya hubungan itu pasti memiliki tujuan, Den." Ucapan yang Fajar katakan barusan seperti ingin membuat Aiden ingin memanggil Dewi Fortuna agar menyelamatkan dia dari keadaan yang sangat pelik seperti yang saat ini dia alami. 

"Om nggak minta kamu selamanya ama Kay, tapi om hanya minta sama kamu jaga Kay sebaik yang kamu bisa. Dia itu rapuh lebih dari apa yang kamu bayangkan."

Sontak saja karena perkataan Fajar barusan membuat Aiden kini tidak memiliki opsi lain selain memutar keras otaknya mencari kemungkinan yang paling mungkin atas ini semua, tapi tetap saja hal tersebut tidaklah semudah yang dia pikir. 

"Maksudnya, Om?" tanya Aiden yang tidak bisa lai untuk berpikir secara jernih tentang apa yang sebenarnya menjadi maksud dari Fajar. 

"Tuberkulosis." Hanya satu kata itu yang keluar dari kedua bibir ranum milik Fajar, tapi tentu saja hal tersebut tidak lebih dari cukup untuk membuat Aiden mengerti sehingga pada akhirnya dia harus mencari jawaban yang paling tepat untuk ini. 

"Kay menderita tuberkulosis itu, Om?" Hanya itu satu kesimpulan yang bisa Aiden tarik saat ini. Fajar tentu saja tidak memiliki pilihan lain, hanya gerakan kepala naik turun yang bisa dia berikan sebagai bentuk pembenarannya. 

"Jaga Kay, ya?" Aiden yang tadi shock dengan apa yang dikatakan oleh Fajar kini dengan sangat cepatnya membawa kedua titik atensinya hanya pada pria paruh baya itu. 

"Maaf, tapi kenapa harus saya, Om?" Aiden bukannya mau menolak apa yang Fajar amanatkan untuk dirinya. Hanya saja dia butuh penjelasan untuk ini semua dan dia pun meyakini tidak ada yang tida memiliki alasan pun dengan permintaan Fajar barusan. 

"Kalau seorang ibu itu tahu dengan apa yang dinamakan cinta, tapi bagi seorang ayah dia tahu yang disebut lelaki." 

Fajar memberi jeda atas apa yang tadi dikatakannya, tapi Aiden sama sekali tidak memiliki niat untuk mendesak Fajar. 

"Om juga pernah muda, om tahu kalau saat ini kamu tulus sama Kay. Terlepas kalian akan selamanya atau tidak tolong jaga putri kesayangan om itu dengan baik, ya?" pinta Fajar dengan nada yang penuh harap. 

Aiden sekejap menghela napasnya dengan dalam sebelum pada akhirnya mengiyakan apa yang menjadi keinginan Fajar. 

"Iya, Om. Aku akan jaga Kay semampu yang aku bisa." Lengkungan senyum renjana lantas tersungging dengan sangat manis di kedua bibir ranum milik ayah dua orang anak itu.