Diandra keluar dari rumah Nadisya, dia mengunci pintu pagar dengan gembok lalu setelahnya berjalan setengah berlari hendak ke depan komplek. Dia baru saja menerima telfon dari rumah sakit yang mengatakan kalau sahabatnya sudah sadar.
Tiiittt tiittt
Diandra berjalan ke pinggir saat sebuah mobil membunyikan klakson dari belakang.
Tiitt tittt
"Astaghfirullahaladzim, udah jalan di pinggir juga, baru punya mobil atau gimana sih." gumam Diandra saat mobil di belakangnya itu terus saja mengklaksonnya, dia lalu kembali berjalan setengah berlari lagi tak menghiraukan mobil itu.
Lalu, mobil yang terus mengklakson itu akhirnya menepi tepat di depan Diandra.
"Astaghfirullahaladzim," gumam Diandra.
Lalu, kaca mobil itu turun ke bawah, seorang pria menunduk dan tersenyum ke arah Diandra. "Masuk," ucapnya pada Diandra.
"Laahh ... Rafli? Aku kira siapa," ucap Diandra.
"Masuk, Diii ...." pinta Rafli lagi.
Diandra lalu masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengamannya. "Mobil baru?" tanya Diandra.
"Enggak, fasilitas kantor, mobil aku di bengkel, lagi servis," ucap Rafli mulai melajukan lagi mobilnya.
"Kirain aku orang baru punya mobil! Abis ngeklakson mulu kek OKB!"
"Ya kamu gak peka-peka! Malah terus lari, kamu tuh lagi hamil loh, kalau bayinya kenapa-kenapa gimana?"
"Gak akan! Anak hasil di luar nikah itu biasanya kuat! Gak akan kenapa-kenapa! Contohnya, banyak tuh mereka yang hamil duluan terus nyoba digugurin, tapi gak berhasil, udah pake segala cara tapi janinnya bertahan! Lagian kalau ini anak kenapa-kenapa ya udah! Itu karma dari bapaknya!" ucap Diandra dengan nada kesal.
"Ya Allah, Dii ... kok kamu ngomongnya kayak begitu?" Rafli lalu menepikan mobilnya di tepi jalan.
"Lahh ... kok malah berhenti?" tanya Diandra.
"Aku gak suka ya kamu ngomong kayak barusan," ucap Rafli.
"Udah deh, Raf ... nyatanya memang begitu," ucap Diandra. "Ini tuh anak haram! Bapaknya kek setan!" ucap Diandra.
"Gak ada yang namanya anak haram! Semua anak tuh suci! Kalau kamu benci, ya udah benci aja sama ayahnya, jangan sama bayi yang gak berdosa, dia bahkan tidak tahu apa-apa!" ucap Rafli lagi.
Diandra langsung terdiam saat Rafli berucap.
"Aku juga udah bilang kan tempo hari sama kamu kalau anak itu sekarang bukan anaknya Andra! Tapi anak aku! Kamu mengatai dia, berarti kamu juga mengatai aku, jadi aku mohon ... udah! Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak lagi seperti tadi, anak itu bukan anak haram! Jangan mengatakan hal seperti itu lagi, aku gak suka!"
"Ya udah ... maaf ...." ucap Diandra.
Rafli tak lagi menjawab ucapan Diandra, dia lalu kembali melajukan lagi mobilnya.
Hening.
Tak ada pembicaraan lagi setelahnya, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, Diandra menoleh ke arah Rafli yang duduk di sampingnya, pria itu terlihat fokus melihat lurus ke arah depan.
Beberapa menit kemudian.
Diandra mengerutkan alis saat jalan yang dilalui Rafli itu tak melaju ke arah rumah sakit dimana Nadisya di rawat, tetapi malah jalan ke arah rumahnya.
"Loh, Raf? Ini kan jalan ke rumah aku, bukan ke rumah sakit."
"Ya emang! Emang kata siapa aku mau ke rumah sakit," ucap Rafli, "aku mau ke rumah kamu, mau ketemu sama orangtua kamu."
"Hah? Mau apa?" tanya Diandra.
"Nanti juga kamu bakalan tau aku mau apa," ucap Rafli.
"Raf? Mau apa? Jangan aneh-aneh ya!" ucap Diandra.
"Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku mau serius sama kamu! Aku mau nikahin kamu! Jadi ya aku mau izin sama orangtua kamu sekarang!" ucap Rafli.
"Ih ... kamu apaan sih? Masa ngedadak kayak begini, aku belum bilang sama orangtua aku Rafli!"
Rafli tak lagi menjawab ucapan Diandra, dia terus melajukan laju mobilnya.
20 menit kemudian.
Klak!
Rafli menutup pintu mobilnya setelah Diandra keluar dari mobil, dia menggenggam tangan Diandra dan berjalan ke arah pintu rumah Diandra.
"Raf? Kamu serius?" tanya Diandra.
"Aku udah di depan rumah kamu ya masa aku bercanda, lagian mau kapan kalau bukan sekarang," ucap Rafli lalu setelahnya dia berbicara dengan nada yang sangat pelan. "Perut kamu makin lama makin besar dan akan semakin terlihat, kamu gak mau kan jadi bahan pembicaraan orang? Jadi kamu diem aja, aku bakalan buktiin semua ucapan aku sama kamu kalau aku yang akan bertanggung jawab, kalau aku yang akan nikahin kamu."
Diandra tak lagi menjawab ucapan Rafli, dia mengikuti langkah kaki Rafli yang berjalan di sampingnya.
Tap tap tap
Rafli lalu menekan bel rumah Diandra, dia juga mengetuknya seraya mengucapkan salam saat pintu itu tak kunjung dibuka. "Assalamualaikum." ucap Rafli setengah berteriak, dia kembali mengetuk pintu lagi dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih menggenggam tangan Diandra.
'Dia mau ngapain coba,' batin Diandra berucap.
"Assalamualaikum," salam Rafli lagi, hingga akhirnya pintu rumah itu terbuka.
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya yang usianya sekitar 50-an lebih. "Laahh ... Dian?" panggilnya saat menatap Diandra.
Diandra sontak langsung tersenyum menyeringai menatap wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu.
"Maa?" panggil Diandra, dia lalu melepas tangan Rafli yang menggenggamnya lalu meraih telapak tangan sang ibu dan mengecup punggung tangannya.
Wanita bernama Amira itu melihat ke arah tangan Diandra dan juga Rafli yang tadi bergandengan. Setelah Diandra mengecup punggung tangan sang ibu, Rafli juga melakukan hal yang sama, dia meraih telapak tangan wanita di depannya dan mengecup punggung tangannya juga.
"Tante," ucap Rafli tersenyum, namun jantungnya berdegup dengan sangat kencang saat melihat ibu kandung Diandra itu, padahal lima menit yang lalu dia cukup percaya diri dan tak merasa takut atau gugup sekalipun.
"Laahh ... ini Rafli ya? Temen SMA Dian kan? Kalian juga dulu satu universitas kan?" tanya Amira pada Rafli.
Rafli tersenyum dan mengangguk. "Iya, Tante," ucap Rafli.
"Bukannya kerja di Jerman ya? Pulang untuk liburan atau gimana?" tanya Amira lagi.
"Kebetulan Rafli pindah kerja di sini, Tante," jawab Rafli.
"Maa? Boleh masuk gak? Masa ngobrol di depan rumah kayak begini," ucap Diandra.
"Ehh... astaghfirullahaladzim, Mama sampe lupa," ucap Amira. "Ayo ... masuk, Raf ...."
Diandra dan Rafli lalu kembali berjalan dan masuk, Rafli juga kembali meraih telapak tangan Diandra menggenggamnya hingga mereka terduduk di atas sofa ruang tamu.
Diandra dan Rafli duduk berdampingan di atas sofa panjang seraya berpegangan tangan.
"Bentar, Mama panggil papa dulu," ucap Amira lalu setelahnya dia berjalan ke arah kamarnya yang berada di bawah tangga.
"Kamu mau apa sih?" tanya Diandra pada pria yang duduk di sampingnya itu.
"Nanti juga kamu tau!" jawab Rafli.
Tak berselang lama kemudian, Amira dan suaminya, Faisal keluar dari kamar dan berjalan ke arah ruang tamu dimana Rafli dan Diandra terduduk.
Rafli yang melihat kedua orangtua Diandra itu sontak langsung menelan salivanya.
"Ehh ... Nak Rafli?" Faisal mendekati Rafli.
Rafli lalu bangun dari duduknya dan berdiri tegak, dia lalu meraih telapak tangan Faisal dan mengecupnya.
"Bukannya di Jerman ya? Kapan pulang?" tanya Faisal kembali terduduk lagi diikuti istrinya yang duduk di sampingnya.
"Udah lumayan lama sih, Om ... udah ada tiga bulan lebih," jawab Rafli kembali terduduk lagi.
"Ahh ... kenapa? Pindah kerja apa gimana?" tanya Faisal berbasa-basi.
"Iya, pindah kerja, tapi tetep kerja di orang yang sama, cuma di perusahaan yang berbeda."
"Aaahh ... begitu," jawab Faisal mengangguk.
Rafli juga mengangguk, dia bingung harus mengatakan kata apa lagi. "Hmm ... Om? Rafli mau bicara serius sama Om dan Tante," ucap Rafli.
"Boleh, kenapa?" tanya Faisal.
Rafli menelan salivanya, dia memejamkan mata sebentar lalu menatap Faisal lagi. "Diandra hamil," ucap Rafli.
Diandra sontak langsung melihat ke arah Rafli yang duduk di sampingnya. "Raaf?"
Bersambung