"Mengeluh hanya akan membuat hidup kita semakin tertekan, sedangkan bersyukur akan senantiasa membawa kita pada jalan kemudahan."
****
Kami sama-sama terdiam hingga suara Fito mencairkan suasana. "Mama," Fito memelukku. Sejak pulang tadi, aku belum sempat mencium ataupun menggendongnya.
Suara Azam terdengar, "Fito lagi apa?" tanyanya disela-sela keheningan kami. "Coba video call, angkat, gih." Mau tidak mau aku mengangkatnya.
"Halo Fito," panggil Azam. Fito dengan cepat meraih ponselku. Hampir saja terjatuh.
"Om Azam, cini," sapanya.
"Iya, Sayang. Nanti Om ke sana, ya. Kita beli mainan lagi yang banyak, mau?" Fito mengangguk kegirangan. Jeritannya memekakkan telinga.
"Tanya mamanya, mau ikut gak?" Pertanyaan Azam membuat pipiku terasa memerah.
"Mauuu! Tante Erna juga mau ikut, boleh gak?" teriak Erna dari kejauhan. Sontak, membuat mataku melotot ke arahnya.
"Boleh, kok. Ya, sudah. Siap-siap, gih." Rupanya, Azam serius dengan perkataannya.
"Sayang, kamu lagi telepon siapa?" Suara Lisa terdengar dari kejauhan, tiba-tiba saja sambungan telepon terputus.
Fito bertanya-tanya kenapa handphonenya mati, aku menjawab dengan sedikit berbohong pada anak kecil itu.
Erna tiba-tiba saja sudah berada di sampingku lagi, "Ada apa? Tadi suara si Lisa, ya?" Aku hanya mengangguk pelan.
Apakah mereka bertengkar jika Lisa tahu, suaminya meneleponku? Ada rasa bersalah, tetapi bukan aku yang menggoda suaminya.
***
Hari kedua berada di rumah Erna, membuatku semakin resah. Pasalnya, setiap kali suaminya menelepon, aku seperti orang yang terbebani. Kontrakan yang kulihat ternyata sudah ada penghuninya.
"Kamu kenapa gelisah gitu?" tanya Erna.
"Maaf, ya. Aku masih belum nemu kontrakan, jujur aja aku gak enak sama Bang Wendra," ucapku selepas Erna mematikan sambungan telepon dari suaminya.
"Loh, kek, apa aja. Emangnya, suamiku itu nyuruh kalian pindah secepatnya apa?"
"Ya, gak, sih. Aku yang gak enak, merasa terbebani."
Sudah dua hari itu juga, rumah mertuaku terlihat sepi. Mungkin saja, mereka berada di tempat tinggal barunya Mas Bo'eng. Aku bahkan tidak tahu, di mana rumah baru mereka.
"Jangan terlalu mikir yang berlebihan, deh."
Suara tawa Mitta dan Fito terdengar begitu keras, entah kenapa aku jadi teringat Azam kembali. Aku tahu, Lisa adalah perempuan pencemburu. Mataku menoleh ke pintu belakang rumah mertuaku, saat daun pintu itu terbuka.
Aku dan Erna terkejut dan saling pandang, ketika melihat seseorang membukakan pintu itu. "Azam?!" pekikku.
Azam berjalan mendekati rumah Erna, jantungku berdegup kencang. Kepalan tanganku terasa dingin dan berkeringat. Aku bersembunyi di balik tirai jendela. Sedangkan Erna, menghampiri Azam dengan cepat.
"Permisi," ucap Azam saat berada tepat di ambang pintu.
"Iya, ada apa, Zam?" tanya Erna sambil mempersilahkan masuk.
"Itu, emm, mau nanya. July tinggal di mana, ya?" Azam menelisik ke dalam ruangan. Tangan Erna menunjuk ke arah tempat persembunyianku.
Sambil tersenyum, mereka berdua mendekat ke arahku. Wangi parfum Azam tercium, memenuhi ruangan. "Lagi main petak umpet, ya? Ikutan, dong." Azam menyibakkan tirai penutup tubuhku, lalu tersenyum manis.
Betapa malunya aku, sekilas menatap tajam kepada Erna. Perempuan bertubuh sintal itu melengos begitu saja, seakan mengejekku. Fito dan Mitta, sengaja dibawanya keluar rumah.
"Kok, diem? Hahaha!" ledeknya kembali. Membuatku tak berdaya menahan malu. Tangannya seperti biasa, mengacak-acak anak poniku.
"Apaan, sih." Aku mendorong pelan tubuh kurus itu, lalu tangannya menangkap kedua tanganku.
"July, maafin aku, ya," ucapnya mengecup keningku. Hangat menjalari seluruh tubuhku.
Lama kami mematung, merasakan rindu yang tertahan selama ini. Entah sejak kapan Azam memelukku. Rasa nyaman dalam hati terasa begitu nikmat. Aku memberanikan diri membalas pelukannya, berharap ini bukanlah mimpi.
"Azam, tetaplah seperti ini. Jangan pergi lagi," ucapku yang tanpa sadar mulai tergugu.
Azam mendorong tubuhku pelan, mengangkat daguku hingga kepala menengadah sedikit—tinggiku adalah sebatas bahunya. Lalu, dengan perlahan ia mendekatkan bibirnya ke bibirku. Awalnya, hanya menempel saja. Deru napas kami begitu beradu. Desahannya membuat kami semakin terbakar napsu. Azam melumat pelan bibirku, aku membalasnya hingga kami lupa sedang berada di mana.
Untuk sesaat, aku ingin seperti ini dengannya. Tangan Azam menjalar perlahan meraba setiap lekuk tubuhku. Membuat napasku semakin menjadi, tangannya mulai liar menari. Namun, suara seseorang membuat kami menyudahi semua itu.
Tubuhku terasa bergoyang, "Jul! July! Bangun!" Seperti suara Erna. Aku mencoba membuka mata perlahan.
"Kenapa, sih? Kok, malah tidur di sini?" sambungnya kembali. Butuh waktu untuk bisa menyempurnakan pikiranku, dan mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Erna.
"Aku kenapa?"
"Gak tau, tadi aku lagi mandi, pas keluar tau-tau kamu malah tidur di sini."
Aku terlalu lelah hingga tertidur di teras rumah Erna. Hampir magrib, aku segera bangkit untuk masuk ke dalam. Perasaanku, tadi berada di dalam dan melihat pintu rumah mertuaku terbuka, deh. Apa mungkin, beban pikiran yang terlalu besar membuatku hilang kendali seperti ini? Mimpi tadi? Ah, aku malu sendiri bila mengingat hal itu. Sangking terlalu besar rasa untuk Azam, sampai-sampai bermimpi tentangnya.
Setelah masuk, aku menutup pintu rumah Erna. Tidak baik jika waktu magrib masih terbuka. "Kenapa senyum-senyum?" goda Erna. Rupanya, dia masih memperhatikan aku.
*****
( Hayoo, ada yang baper gak nih sama si Azam? Sama, aku juga baper sama pesonanya. )