~Jangan pernah memulai sebuah hubungan hanya karena kamu kesepian. Sebab, ketika kau sadar cinta mulai tumbuh perlahan, maka itu akan terasa sangat menyakitkan.~
***
Ketika sampai di rumah Erna, Fito berlari mendekatiku. Mungkin, anak itu heran kenapa aku membawa buntalan baju ke rumah ini. Aku menyeka kembali air mata yang hampir mengering di pipiku.
"Sudah, kamu suapi Fito makan dulu, terus sekalian kamu juga makan. Baru nanti kita cari kontrakan," tutur Erna sambil menyerahkan piring lengkap dengan lauknya ke tanganku.
"Terima kasih banyak, Na. Kebaikan kamu, tidak akan pernah habis terbayar sepertinya."
"Jangan bilang seperti itu. Sudah sepatutnya kita saling tolong, kan?"
Aku menyuapi Fito, lalu menyuapi diriku sendiri. Makanan yang masuk tidak terasa di tenggorokan ini, padahal rasa lapar sudah dari tadi terasa. Akhirnya, aku tidak bernapsu untuk makan. Hanya Fito yang menghabiskannya.
Erna sibuk memasak, sedangkan Mitta mewarnai buku gambarnya. Suami Erna telah mengijinkan aku dan Fito untuk bermalam di rumah mereka, sampai aku menemukan kontrakan baru, Erna menceritakan apa yang membuatku keluar dari rumah terkutuk itu kepada suaminya, Bang Wendra.
Setelah selesai menyuapi Fito, aku dan Erna berangkat menyisir tempat-tempat bedengan tak jauh dari rumahnya. Hanya berjalan kaki, tetapi semua bedengan itu penuh terisi. Kami kembali berjalan pulang ke rumah Erna dengan maksud mencari di tempat lain, tentunya naik motor Erna dan mengajak Mitta serta Fito untuk ikut.
Erna menutup warungnya, mengunci pintu, lalu membonceng kami menelusuri jalan setapak perkampungan, hingga menembus ke jalan besar. Belum menemukan bedengan kosong, betapa susahnya mencari sesuatu saat terdesak seperti ini.
Akhirnya, kami berhenti sejenak di warung kopi. Mitta dan Fito memesan es teh manis, sedangkan aku dan Erna sibuk bertanya kepada bapak-bapak yang ada di warung ini.
"Maaf, Pak. Mau nanya, apa ada kontrakan atau bedengan kosong di sekitar sini?" tanya Erna memulai percakapan dengan salah satu driver online, yang sedang menyesapkan kopinya.
"Coba di perempatan sana, Mbak." Lelaki itu menunjukkan jari telunjuknya ke arah belakang kami. Aku dan Erna menoleh mengikuti arah telunjuknya.
"Oh, kami baru dari sana. Sudah pada penuh," tutur Erna.
"Biasanya, kalau tidak dicari, mah, banyak yang kosong." Pemilik warung ikut menimpali.
"Iya." Aku menjawab dengan lesuh.
"Memang dari mana, Mbak?" tanya salah satu driver itu.
"Dari Poris Indah, Pak."
"Oh. Kan, biasanya di belakang Poris Indah banyak bedengan kosong?" ucapnya lagi.
"Terisi penuh semua, Pak. Makanya, kami sampai ke sini." Erna menjawab sambil membayar pesanan anak-anak tadi.
Kami pamit kepada mereka dan melanjutkan perjalanan kembali, mencari bedengan yang tak terlalu jauh. Aku sudah putus asa, Erna menyemangati selalu.
Fito dan Mitta, terlihat riang sepanjang perjalanan. Mungkin, bagi mereka kami sedang jalan-jalan sore. Beberapa kali aku mengembuskan napas secara kasar, bagaimana jika sampai besok belum juga mendapatkan kontrakan? Memang, sih, sudah mendapatkan ijin dari suami Erna, maupun dari Erna sendiri, untuk tinggal sementara di rumah mereka. Akan tetapi, aku tidak enak menumpang tinggal.
Jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah menunjukkan angka 5 sore. Sudah tiga jam kami mengitari perkampungan dan area kompleks perumahan, tetapi belum juga menemukan bedengan. Erna memutuskan untuk kembali pulang, dan besok ia berjanji akan membantu mencarinya kembali.
"Sudah sore, kita pulang aja dulu, ya?" ucap Erna sambil mengendarai motornya.
"Ya, sudah. Maaf, ya. Selalu merepotkan kamu," jawabku.
"Kamu ini, Jul, Jul. Terima kasih terus bisanya."
***
Malam ini, pertama kalinya aku dan Fito menginap di rumah Erna. Sesekali, aku menatap pintu belakang rumah mertuaku dari balik kaca jendela Erna. Lalu, mengembuskan napas secara kasar. Ada kesedihan yang sulit aku ungkapkan. Tadi siang, Mas Bo'eng sama sekali tidak melarangku pergi. Bahkan, saat ibunya mendorongku pun ia tetap acuh. Luka yang menganga tak dapat sembuh kembali. Ya, aku menyimpan dendam padanya.
Hari ini, Azam tidak lagi mengirimkan pesan WA padaku, sejak terakhir itu. Mungkin saja, ibunya telah mengadu banyak tentangku. Aku menatap layar berkali-kali, berharap ada pesan masuk dari Azam. Entah berapa kali aku mengusap layar ponsel ini, hanya untuk melihat foto profil WA azam. Hanya terakhir online saja yang terlihat di dalam WA-nya.
‘Sudah jam tujuh, pintu belakang, kok, belum dinyalakan, ya?’ batinku bicara. Ke mana perginya mertuaku? Pasti mereka sedang tertawa saat ini.
Rumah Erna memiliki dua kamar, sama seperti rumah mertuaku.
Aku mengganti channel televisi, namun sebenarnya, pikiranku bukan di sini. "Jul, makan sana." Erna menghampiriku dengan membawa piring beserta sayurnya untuk ia makan, dan duduk di sampingku.
"Gak napsu. Itu, tetanggamu kenapa gak nyalain lampu belakang rumahnya, ya?" tanyaku.
"Biarin aja, mungkin belum pulang kali. Kan, biasanya ada menantunya yang rajin nyalain. Hahaha," ledek Erna, matanya mengejekku sampai aku tertawa juga.
"Iya. Menantu, tapi lebih tepatnya pembantu. Hahaha." Aku menambahkan ungkapan kebodohanku.
"Azam gak WA lagi?" Erna melirikku. Aku hanya menggeleng.
Erna bertanya padaku, "Kira-kira, mereka akan mengadu ke Azam gak, ya?"
"Aku gak tau soal itu, tapi kalau ke Risa pasti ngadu."
Tiba-tiba, Azam mengirimkan pesan WA. Aku segera membuka dan membalasnya. Hatiku berdebar saat mendengar notifikasi pesan masuk.
[Kok, pesanku yang tadi siang gak dibalas?]
Astaga, pantas saja Azam tidak mengirim pesan lagi. Aku baru teringat, pesan sebelumnya tidak sempat terbalas olehku. Aku hanya tersenyum mengingat itu.
[Iya. Lupa. Habisnya, tadi sibuk cari kontrakan.] Aku membalasnya dengan sedikit berbohong. Aku tak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Bagaimana kalau ia tahu, kalau tadi siang itu, Kakak dan ibunya berusaha merebut ponsel ini.
[Loh, untuk siapa?] Azam membalasnya kembali.
[Untuk aku dan Fito.] balasku kemudian.
[Mas Bo'eng bukannya sudah dapat kontrakan? Kemarin dia minta uang untuk mengontrak rumah.]
Aku hanya membaca pesan Azam tanpa membalasnya lagi. Rasa dendam semakin memenuhi hatiku. Kenapa Mas Bo'eng tega membohongiku? Pantas saja, sampai saat ini, mertuaku belum juga pulang. Apakah mereka sedang merayakan kepergianku?
Tiga menit kemudian, Azam meneleponku. Dering telepon terus berbunyi, Erna menatapku heran. "Kenapa gak diangkat?" tanya Erna.