Alyssa mengangguk kecil. "Ayah juga memukul ibu," tambahnya.
Gurat kesedihan muncul di setiap wajah yang berada di warung itu. Semua merasa kalau ayah Alyssa begitu kejam. Ada rasa sesal di wajah Indro karena tak bisa menolong wanita yang mendapat siksaan hingga akhir hayatnya itu.
"Ini harus dikompres dengan es batu agar lebamnya memudar," ujar Iko.
"Besok kita cari," sahut Indro cepat.
Iko melanjutkan tugasnya. Ia memeriksa Sinta yang merasa enggan.
"Saya tidak perlu diperiksa," tolak Sinta sopan.
"Maaf, tapi saya harus tahu bagaimana keadaan Mbak Sinta, ini tanggung jawab saya," sergah Iko.
Iko lantas memeriksa jahitannya di lutut Sinta yang tertutup kain kasa.
"Jangan banyak bergerak kecuali diperlukan. Kalau tidak, lukamu akan terbuka lagi," titahnya.
Sinta mengangguk.
Giliran Jefri yang diperiksa. Setelah tubuhnya dibersihkan, nampaklah begitu banyak luka gores di sana sini. Yang paling parah adalah di bagian dagu.
"Bagaimana kau tak tahu kalau wajahmu seperti ini," omel Iko dengan memeriksa lebih teliti rahang Jefri yang begitu tegas.
"Apa parah mas?" tanya Jefri polos, karena dia terbiasa menahan rasa sakit, jadi luka seperti ini sudah biasa untuknya. Dia bahkan pernah kecelakaan dan terlihat biasa saja ketika mendapat begitu banyak jahitan.
Iko mulai menangani luka Jefri. Anya yang melihat dagu Jefri dijahit, menutup mata saking takutnya. Jefri langsung meminta Iko untuk lebih dekat lagi, agar Anya tak bisa melihat prosesnya.
Setelah selesai semua, mereka beristirahat dengan tenang, saling bersisian di atas karpet tipis berselimut jaket. Alyssa tidur dalam dekapan Sinta. Indro senang melihat wajah tenang semua rekannya yang sedang tertidur lelap.
2 jam berlalu dengan dinginnya angin malam yang menelusup di celah-celah dinding bambu dan pintu. Mereka pun bergantian jaga. Ketika sampai di gilirannya Sinta, ada gurat takut dan cemas yang terlihat di wajah kecilnya. Juga gerak gelisah yang menarik sudut mata Jefri.
"Jangan takut, kami ada di sini bersamamu. Bangunkan jika ada yang mencurigakan," pesannya dengan menepuk lembut bahu Sinta.
Jefri pun kembali tidur, setelah selesai jaga. Sinta merasa tenang mendengar pesan dari Jefri. Dia merasa sangat diperlakukan dengan baik, selama ikut menjadi rekan seperjalanan mereka. Tidak seperti seseorang yang ia percaya, yang begitu tega menodai dirinya. Kenangan malam itu, membuat Sinta memeluk tubuhnya yang kurus kering, ia merasa kotor dan tak ada harganya.
Untung, ia mampu menguasai diri. Tak ingin kekalutan menyelimuti dirinya, ia lantas duduk bersandar di dinding bambu, sembari mendengarkan suara dengkuran Boni. Tak terasa, waktu berlalu dalam pikirannya yang kosong, angin malam membelai dan membuat kelopak matanya terasa begitu berat. Seketika, ia terlelap dengan kepala bertumpu pada pintu.
"Huargh!"
Sontak, kelopak matanya terbuka, dengan memperlihatkan keterkejutan setelah mendengar suara yang begitu mengerikan. Dia terhenyak bangun, menjauh dari pintu, namun suara itu sudah tak terdengar lagi. Sinta merasa ia hanya sedang bermimpi. Karena itulah, ia ingin kembali menyandarkan kepalanya. Akan tetapi, saat Boni mengeluarkan suara dengkuran yang sedikit kencang. Suara mengerikan itulah datang kembali.
"Huarghhh!!!!"
Seketika Sinta ingin menjerit, namun ada sebuah tangan besar yang terlihat sangat kokoh, sedang membekap mulut kecilnya.
"Sttt!" Telinganya bergidik, "Ke belakang," titah seseorang tepat di liang pendengarannya.
Sinta membalikkan badan dan melihat Iko sedang membangunkan Boni. Ia tahu yang berbisik padanya tadi adalah Iko.
"Bruk! Bruk!"
Boni yang hampir bersuara ketika dibangunkan, seketika dibekap oleh Iko dan memberikan isyarat untuk diam. Pupil mata Boni melebar, ia terlihat bingung.
"Huarghhh!!" Zombi itu berusaha menerobos pintu.
Anggota lain satu persatu terbangun, termasuk Alyssa. Dengan insting seorang ibu, Sinta langsung memeluk Alyssa, agar gadis kecil yang usianya sekitar 7 tahun itu tak ketakutan.
Iko memberikan isyarat ke semua orang. Saklar lampu lalu dimatikan. Ia menahan pintu dengan kursi panjang. Yang lain langsung bergegas membantu. Zombi yang hanya berjumlah satu orang itu, menabrak pintu terus menerus. Para pria segera menahan pintu dalam diam, agar pintu itu tak roboh. Tak lama, zombi itu pergi karena tak mendengar suara apapun lagi.
Semua bernapas lega. Namun kelegaan itu tak berlangsung lama.
"Miauwwww"
Suara kucing mengagetkan semua orang. Mata mereka saling menatap panik, kala kucing itu menjatuhkan piring dan dandang.
"GLONTANG DANG!!! PYARRRRR!!!!!"
Tanpa rasa bersalah, kucing itu lantas berlari menuju celah di atas dinding bambu yang berlubang. Zombi yang sudah berbalik pergi itu, kembali lagi dengan beringas sembari menabrak pintu.
Pintu yang memang sudah rapuh itu, bergoyang beserta dinding warung. Jika zombi itu terus menerus menabrak pintu, maka warung itu benar-benar bisa roboh. Terlebih ada beberapa yang juga datang dan ikut menabrakkan diri di pintu.
Wajah mereka menyiratkan kebingungan. Iko bergerak cepat mencari sesuatu, dia menemukan sebuah pisau, sayangnya pisau itu terlalu kecil untuk membasmi para zombi.
"Kita harus keluar," tutur Iko, lantas membuka pintu samping warung dengan perlahan.
Dia mengintip dan menghitung jumlah zombi yang datang.
"Ada 4 zombi," lapornya ke yang lain. "Ayo!" ajaknya dengan membuka pintu kembali dan berjalan menunduk menuju pinggir sungai.
Yang lain patuh mengikuti, berbaris seperti bebek yang ingin menyebrang ke sungai. Sinta memberi tahu Alyssa untuk tetap diam tak bersuara ketika berjalan. Gadis kecil itu mengangguk paham.
Warung itu bergoyang hebat, karena para zombi yang hanya berjumlah 4 itu, terus menerus menggebrak pintu tanpa ampun. Suara raungan mereka yang makin keras, membuat zombi lain datang bergerombol menambah kengerian di pagi buta.
Untung saja, Iko dan yang lain sudah berada di pinggir sungai dan bersembunyi di bawah jembatan.
"Kita di sini dulu," pungkasnya.
Anya terlihat makin lemah, wajahnya pucat.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Jefri khawatir.
Belum sempat menjawab, Anya sudah pingsan di bahu Jefri. Semua terkejut, Indro langsung merengkuh Anya. Ia khawatir dengan keadaan anaknya yang makin memburuk.
"Nak, nak, nak," pangilnya dengan raut yang sangat terlihat jelas penuh ketakutan.
"Nakk, bangun nakkk," pintanya dengan panik.
"Kita harus mencari tempat untuk beristirahat," tutur Indro.
Iko dan Jefri saling pandang. "Kalian di sini, biar aku dan Jefri pergi mencari tempat untuk kita," ujarnya. "Bon, jaga mereka," titahnya ke Boni.
Boni mengangguk mantap, meski dia sendiri juga takut.
Iko dan Jefri langsung pergi melintasi sungai yang tak dalam dengan penuh kehati-hatian.
Sebelum mereka naik, Iko mengajaknya diskusi. "Sebelum kita naik, kamu tahu tempat dicmana kita bisa beristirahat?"
"Rumah Boni ada di sekitar area ini. Kita bisa ke sana jika tak ada zombi Mas," jawabnya.
"Baik, kita ke sana. Kamu yang berada di depan," sahutnya mengkomando.
Jefri langsung naik dan berlari menuju gapura makam desa, yang berada di pinggir jalan raya. Iko mengekor, warna baju mereka yang hitam, menyamarkan keberadaan diri dari para zombi yang tiba-tiba melintas di area makam. Dengan tubuh yang tegap dan tegang di balik gapura, mereka menunggu para zombi itu pergi menuju warung.
Setelah terasa aman, keduanya mengendap di antara sela-sela makam. Bersembunyi di balik pohon asem beberapa kali, untuk menghindari sergapan para zombi yang menguasai area.
Mereka keluar dengan mulus dari area itu, berlari kecil sembari memeriksa sekitar. Di jalan menuju rumah Boni, ada beberapa zombi yang menguasai jalan. Dari yang bisa Jefri lihat, para zombi itu adalah tetangga Boni. Ia juga mengenal mereka karena sering bertegur sapa.
Perasaan sedih langsung menerpanya. Jefri teringat akan sang ibu yang terpaksa ia tinggal.
"Apa aku sanggup membunuh ibuku, jika dia berubah menjadi zombi?"