webnovel

Semua Masih Abu-Abu

Di dalam ruang keluarga itu, sesosok lelaki dan perempuan tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ariana sibuk membongkar bahan belanjaan. Sengaja, sebab jika dia membongkarnya di kamar, maka dia tak akan melihat raut wajah kesal dari Baron. Itu adalah raut wajah kepuasan bagi Ariana.

"Gila ya cewek kalau belanja nggak itung-itung," komentar Baron tiba-tiba. Namun Ariana malah memandangnya remeh.

"Apa?" Lagaknya seperti menantang lelaki yang berstatus sebagai putra dari seorang terkaya se-Jakarta. "Kok lo sekarang jadi cerewet gitu? Ah, apa ini emang sisi lain diri lo ya? Suka ber-ko-men-tar?!" sindirnya dengan kalimat penuh penekanan.

Baron hanya menggelengkan kepala—tak habis pikir dengan perempuan dengan temperamen yang sering berubah itu. "Dasar aneh," gumamnya lalu fokus pada ponselnya.

Ariana mendengarnya, namun dia tak ambil hati. Dia sibuk berteriak girang melihat barang belanjaan yang hanya dia dapatkan di dunia novel ini. Tas bermerk Gucci, rangkaian skincare Chanel, tak tertinggal parfum Louis Vuitton yanh pasti akan awet dipakai hampir seminggu, ah dasar lebay.

Anita dan Dirgantara, sang orang tua Mike dan Agnes berada di luar kota. Anita sedang ada acara mentraining para karyawan di Cianjur. Sementara Dirgantara ada meeting penting di Surabaya sehingga mengharuskan dirinya untuk menginap di sana.

Tinggallah Ariana dan Mike, serta Baron tentunya. Mike masih di kampus, dia ada kelas tambahan hari ini.

"Udah jam 12. Kalau lo mau ngampus bareng gue, cepetan siap-siap," ucap Baron terkesan memerintah.

"Bentar elah. Lo nggak lihat gue masih sibuk, huh?"

"Ck, terserah." Baron lantas pergi begitu saja meninggalkan Ariana seorang diri di ruang keluarga itu.

~~~

(Ariana POV)

Aku yang menciptakan lelaki itu, namun kini aku begitu kesal padanya. Kesan pertama saat bertemu dengan Baron di rooftop bersama Vero dan Mike saat itu, membuatku memutar otak. Baron tidak seperti yang ku tulis di novel. Dia tidak semenyeramkan itu, dunianya pun masih seperti kehidupan orang normal seperti biasanya.

Apa aku kurang mendeskripsikan karakter?

Itulah pertanyaan yang terngiang di benakku. Aku juga sempat berpikir, jika Baron bisa datang ke duniaku, apakah para penggemar akan kecewa jika Baron tidak seperti yang mereka harapkan?

"Kalau gue pulang nanti, gue bakal bikin Baron jadi cowok pendiem, nggak suka komentar, alim, dan..."

"Lo bilang apa?" Baron tiba-tiba muncul di belakangku. Astaga, baru sekitar lima menit dia pergi, namun lelaki itu telah kembali dengan membawa ransel yang biasa dia bawa ke kampus.

Aku menggelengkan kepala cepat, "N-nggak. Bukan apa-apa. L-lo mau ke kampus sekarang?" tanyaku was-was.

"Hn," jawabnya singkat seraya mengangkat satu alisnya. Menyebalkan.

"Lo ngomong apasih? Bisa nggak lo ngomong yang jelas? Dasar cowok hemat bicara."

Entah setan mana yang merasuki diriku hingga membuatku berani mengatakan itu. Ini terasa bukan diriku. Bahkan sekarang, aku mulai terbiasa dengan pakaian Agnes.

Tunggu. Agnes? Apakah karena ini tubuh Agnes, jadi aku memiliki reaksi lain? Apakah benar?

Tanpa aku sadari, Baron telah keluar dari rumah dan menyalakan mesin motor. Sementara aku masih bingung dengan pertanyaan tak terjawab di kepala. Benar-benar abu-abu, sungguh sulit memahaminya.

"Huh, percuma ngomong sama dia."

Aku akhirnya memutuskan untuk mandi. Lagi pula, Baron pasti tak akan menungguku jika aku segera bergegas. Dari tatapannya saja sudah terlihat, bahwa Baron tak suka dengan Agnes.

Butuh sekitar dua puluh menit lamanya untuk bersiap. Aku heran, mengapa Baron pergi lebih awal? Apakah sifat disiplin yang aku gambarkan lewat cerita itu benar dia terapkan di sini? Atau ada alasan lain dibaliknya? Kembali lagi, aku selalu bergulat dalam pikiranku sendiri. Tak ada sesiapapun untuk ku ajak bicara, apalagi membantuku untuk mendapatkan jalan keluar.

Aku memakai blouse lengan pendek dengan corak bunga-bunga, ditambah celana jeans putih dengan panjang sedikit di bawah lutut. Tak lupa aku memakai sneakers warna putih, agar warnanya bisa senada tentunya. Aku ingin terlihat modis di dunia novel ini, sungguh! Kemarin aku bahkan terlihat dekil sendiri dibanding teman sejurusan ku yang lain. Mereka terlihat anggun dengan riasan di wajahnya. Sedangkan diriku? Jika tidak bisa mengaplikasikan make up, maka aku harus bisa Mix and Match penampilanku. Itulah yang kupikir harus kulakukan.

Dengan memakai tas baru yang tadi kubeli, aku mulai melangkahkan kaki menuruni anak tangga rumah. Tak lupa aku mengunci rumah, itulah pesan dari Mike.

"Haih, udah gue duga kalau Baron pasti ninggalin gue."

Aku tidak kaget sama sekali ketika tak menjumpai motor Baron. Tentu saja lelaki itu akan meninggalkan dirinya. Dia sudah hapal watak lelaki itu.

(Ariana END Pov)

~~~

"Tumben lo berangkat cepet," celetuk Vero yang tiba-tiba mendudukkan dirinya di kursi samping Baron.

Kini mereka ada di ruang musik. Baron tengah memainkan gitar untuk melepas rasa suntuk. Dia bosan bermain ponsel, sebab ponselnya selalu mendapat notifikasi berita menyangkut keluarganya. Empat hari lagi, sidang perpisahan orang tuanya akan dilaksanakan. Baron tak ingin membebani pikirannya dengan hal itu.

"Pengen aja," jawab Baron seadanya.

"Haih, lo beneran nggak mau hadirin sidang orang tua lo nanti?" tanya Vero dan dijawab gelengan kepala spontan oleh Baron.

"Ya terserah lo sih. Tapi Ron, kalau masalah nerusin perusahaan, mending lo lakuin deh. Saran gue sih, gue takut aja tuh harta bokap lo malah dikelola sama orang lain. Maksudnya orang yang bukan keluarga lo ya."

"Gue nggak peduli sih," ujar Baron usai memainkan gitar tua itu.

"Beneran?" tanya Vero lagi, memastikan. "Itu usaha yang dibangun bokap lo dari awal lo, Ron. Lo harus bener-bener pikirin."

"Ck, udah lah nggak usah bahas. Gue udah muak sama semua ini," ucap Baron lalu bangkit dan pergi dari ruang musik meninggalkan Vero yang menghela napas pasrah di sana.

"Udah gue duga kalau dia nggak akan dengerin gue. Coba nanti gue suruh Bang Mike aja buat nasehatin dia," tutur Vero seorang diri.

Vero mengatakan hal tadi sebab dia baru saja membaca artikel yang mengatakan, bahwa Balexa Corp akan dikelola oleh seorang mantan mafia, yang tak lain ialah Vernon. Vero juga tahu, bahwa Vernon sudah mengabdikan dirinya di keluarga Alexander itu bahkan sebelum Baron dilahirkan di dunia ini. Selama itu, sehingga Mario bisa saja mempercayai Vernon untuk mengurus perusahaan jika Baron masih bersikukuh untuk menolak.

"Mantan mafia bukan pilihan baik. Gue khawatir kalau keluarga Baron makin hancur. Lagi pula, kenapa Om Mario milih pensiun sih? Dia kan masih muda, njir." Vero malah menggerutu sendiri.

"Vernon? Gue akan nyelidiki lo," ujarnya mengakhiri percakapan seorang diri itu.