webnovel

Balapan Liar

Di antara mesin-mesin yang mulai menderu, mekanik yang sibuk, dan para pembalap yang bersiap di garis start balapan, ada hal lain yang pasti tampak, yaitu Grid Girl. Seorang Gird Girl itu sudah menapaki garis start untuk segera memulai pertandingan liar.

Suara gas motor saling bersahutan begitu keras. Baron, seorang pria yang mendapat julukan 'Real of Ghost Rider' itu baru saja menuju jalanan dimana balapan akan dilaksanakan malam ini.

Hampir seharian ini Vero dan Mike sudah melarang Baron untuk balapan. Namun gengsi Baron mengalahkan semuanya. Baron tak bisa mundur dari pertandingan begitu saja hanya karena gipsum sialan yang menempel pada tangan kirinya.

"Kita doain aja semoga dia nggak kenapa-napa," ucap Mike ketika melihat raut wajah khawatir dari Vero.

Sebuah motor balap mahal terpampang jelas di samping sebuah pria yang telah menaiki motor kesayangannya, Ramon. Dia adalah pria yang paling dibenci Baron. Ramon juga merupakan sepupunya, dan dia adalah pria yang selalu mengadu ke orang tuanya tentang kehidupan balapannya. Baron benar-benar jengkel dan muak terhadapnya.

"Lo mau cepu lagi, hah?" Baron yang telah menaiki motor pun menyeringai setelah menanyakan hal itu pada Ramon.

Di balik helm full face yang Ramon kenakan, dia juga balik menyeringai, "Gue cepu atau nggak, orang tua lo juga bakal tau kalau anak semata wayangnya suka balapan liar dan nggak punya masa depan yang jelas!"

Baron sama sekali tak terpengaruh dengan perkataan Ramon. Bagi Baron, perkataan Ramon hanyalah sampah tanpa maksud lain selain untuk membuatnya hilang konsentrasi, dan Baron tak akan membiarkan hal itu terjadi.

Pria yang kini mengenakan jaket kulit warna cokelat tua disertai celana jeans warna hitam itu mulai menyalakan mesin motor kesayangannya. Motor Kawasaki Ninja H2 itu sudah menjadi teman balapannya selama bertahun-tahun lamanya, motor yang memiliki mesin empat silinder berkapasitas hampir 1000cc DOHC berpendingin cairan dengan supercharger.

Dulu, Baron membeli motor itu karena menang taruhan. Dia berani bertaruh dua miliar, dan uang itu adalah hasil dia menjual perabotan di kamarnya. Sebenarnya Baron tidak menyangka jika barang-barang di kamarnya semahal itu. Ayahnya benar-benar orang kaya.

Tak disangka juga, ternyata Baron menang balapan dan malah mendapatkan uang dua miliyar dari seorang pembalap terkenal dan kaya. Sejak itu Baron menjadi lebih percaya diri dan selalu ikut bertanding dimana pun. Lama kelamaan Baron jarang pulang ke rumah, kehidupannya dipenuhi oleh balapan liar. Dia bahkan memiliki sebuah geng yang bernama Agabronx. Geng itu bukan ciptaan Baron, melainkan Mike yang membentuknya. Katanya, geng itu supaya mereka jadi punya solidaritas yang tinggi.

Grid Girl mulai memberi aba-aba untuk bersiap. Sebelum pada akhirnya peluit dan sebuah kain merah dikibarkan, Baron masih sempat melirik Ramon yang tengah serius mengambil ancang-ancang motornya.

Suara hiruk pikuk kembali terdengar jelas. Ada banyak sekali yang menonton malam itu. Baron bahkan menjumpai senior pembalap ikut menyaksikan balapan motor antara dirinya dan enam orang dengan taruhan yang tak sedikit.

Hingga pada akhirnya suara peluit terdengar jelas disertai kain yang dikibarkan, Baron serta motornya melaju begitu cepat dan akan segera menyelesaikan balapan secepat mungkin.

~~~

Di tempat lain, Ariana dengan kacamata kotak yang bertengger pada hidungnya pun tengah serius menatap layar laptop. Dia telah menghapus lima ribu kata yang telah tertulis dengan sendirinya di laptop kesayangannya itu.

Saat ini dirinya menuliskan sebuah adegan dimana Baron sedang balapan liar dengan lawan yang tak mudah. Ariana menuliskan lagi dan lagi, Baron tak pernah kalah dalam pertandingan.

Setelah bertemu dengan Baron meskipun hanya satu kali, Ariana merasakan sebuah insting bahwa Baron memang ditakdirkan untuk selalu menjadi pemenang.

Klik!

Ariana akhirnya menyelesaikan chapter 70. Balapan akhirnya dimenangkan oleh Baron. Namun setelah terjadi kemenangan itu, Ariana membuat rasa kesakitan yang teramat pada tangan kiri Baron. Sengaja. Ariana sedikit merasa kesal karena Baron telah menolak Agnes hingga membuat gadis itu kabur seminggu dari rumah.

"Makanya jangan asal nolak cewek, Ron," cerca Ariana lantas menyenderkan punggungnya ke kursi kerja.

"Huft, capek juga bikin scene Baron pas balapan. Eh tapi... Kira-kira, Agnes hidup nggak ya di sana?"

Kedua manik mata Ariana menerawang ke langit-langit atap kamarnya. Dia pun memejamkan kedua mata sejenak. Namun suara gelas pecah disertai suara wanita yang keras membuat Ariana sontak terkejut.

"Lagi dan lagi. Lagi lagi kamu ikut judi, Mas! Kamu udah janji sama aku nggak akan judi lagi! Kamu udah lupa hah sama ancaman aku waktu itu?!?"

"Maaf, Marla. Aku terpaksa karena..."

"Nggak ada kata Maaf buat kamu, Mas! Kamu mau kasih makan keluarga kita pakai uang haram, hah?!?"

"Bukan gitu maksud aku!"

"Terserah! Jangan tidur di dalam rumah malam ini!" Marla, ibunya Ariana mendorong sang ayah agar keluar dari rumah. Wanita paruh baya itu terlihat lelah dengan segala keadaan yang terjadi dengan dirinya maupun dengan suaminya.

"Marla, tolong jangan gini... Marla!!"

Tok.. Tok.. Tok..

"Dengerin aku dulu, Marla!"

Marla menutup pintu rapat-rapat. Dia tak menggubris suaminya sama sekali. Saat dia membalik badan, dia mendapati Ariana yang tengah memperhatikannya dari jarak jauh.

"Ana, kamu belum tidur?" tanya Marla seraya mendekat ke arah putrinya.

Ariana menggelengkan kepala, "Belum. Aku belum makan."

Marla menepuk dahinya kuat. Dia terlupa belum memasakkan makan malam untuk putrinya karena saking sibuknya bekerja.

"Aduh, ibu lupa. Kalau gitu ibu buatkan kamu nasi goreng ya?"

Ariana mencegah ibunya untuk berlalu, "Nggak usah, Bu. Aku mau cari makan di luar. Ibu mau makan apa biar aku beliin," ucapnya.

Marla terlihat menghela napas gusar lantas menjawab, "Terserah aja kalau gitu."

"Ya udah Ibu istirahat aja."

"Tapi, nanti kamu jangan biarin Ayah kamu masuk. Biarin aja dia dapat hukuman biar nggak ngulangin kesalahannya."

Ternyata ancaman ibunya tidak berlaku. Ancaman yang akan menceraikan ayahnya jika ayahnya mengulangi hal yang sama. Mungkin ibunya masih sayang dan masih ingin mempertahankan keluarga.

"Iya."

Saat Ariana membuka pintu, dia melihat ayahnya yang sedang duduk dengan gusar. Ayahnya mendongakkan kepala ketika mendengar suara pintu yang dibuka olehnya.

"Ana, kamu ijinin ayah masuk?" tanya Reza, sang ayah dengan penuh harap.

Namun jawaban dari Ariana ialah gelengan kepala pelan. Ariana tidak berani melawan ibunya. Namun dia juga merasa kasihan dengan ayahnya.

"Ayah seharusnya nggak ngecewain ibu lagi," tuturnya pelan.

"Maafin ayah. Ayah emang salah."

"Mending ayah tidur di rumah temen ayah dulu. Kalau di sini takut nanti hujan. Rumah kita kan nggak ada terasnya," usul Ariana lantas diangguki oleh Reza.

"Iya, Ana. Maafin ayah. Ayah pasti juga kecewain kamu."

"Asal ayah nggak ulangin kesalahan yang sama lagi, aku mau maafin ayah."