webnovel

4. Kenangan terindah

Halaman 4, Buku Harian Balerina.

Aku pernah menuliskan ini dalam sebuah kertas,

lalu aku melipatnya dan menerbangkannya di udara. Tidak peduli kertas itu akan jatuh di tempat seperti apa, pada kenyatannya hanya begitulah cara paling mudah untuk menerbangkan harapan, membuat hati lega dan perasaan jauh lebih baik.

Kalian tahu, di dalam kertas itu aku menuliskan nama seseorang, aku mencintainya dan aku mengharapkannya. Masa bodoh, bagaimana lingkungan menertawakan diriku atau dirinya. Cintaku membuatku buta dan tuli, tak mau memperdulikan apapun selain aku dan dia.

Tertanda, untuk calon perwira muda, Abrisam Lakya Maheswara.

---

"Lyne!" Dia mengebrak meja di depannya, jam istirahat sudah selesai, bel berbunyi nyaring kemudian. Menandakan bahwa semua siswa dan siswi harus datang kembali ke kelas masing-masing.

Sialnya, Lyne harus kembali ke ruang kelas di mana itu membatasi jarak pandangannya dan temunya untuk Isam, sang kekasih.

"Kamu tahu tidak ...." Dia menarik kursi di sisinya, duduk di samping Lyne. Menoleh, memutar tubuhnya ke samping. "Sagara sama Juni bertengkar di tengah lapangan," katanya. "Lagi. Untuk yang kesekian kalinya."

Lyne hanya mengeram. Tak memberi respon yang mengenakkan.

"Hukuman mereka bertambah," imbuhnya. "Harus bersih-bersih gudang sekolah nanti sepulang sekolah."

Sekarang itu cukup memancing reaksi lain dari Lyne. Dia menghentikan aktivitas makannya. Tak jadi menelan potongan pir dan meletakkan kembali di dalam kotak bekalnya.

Dia menatap gadis yang ada di sisinya, dengan tajam. Khas caranya menatap kalau sedang kesal.

"Kenapa menatapku begitu?" tanyanya pada Lyne, dia menyeramkan bak singa yang siap menerkamnya. Untung saja Lyne mengaku dia tidak mengkonsumsi daging manusia.

"A--apa?" tanyanya, gelagapan.

"Isam juga ikut dihukum?" tanyanya pada temannya.

Dia manggut-manggut, entah kenapa padahal itu bukan salahnya. Namun, dia takut minta ampun jika jawabannya mengecewakan untuk Lyne.

"Wah! Orang-orang itu ...." Lyne bangkit dari tempat duduknya, mendorong kursi dengan begitu kasar. Menimbulkan bunyi decitan yang mengganggu. "Ck, awas saja!" Dia marah, mengumpat habis-habisan di tempatnya.

Hampir saja dia pergi dari tempatnya, untung temannya mencekal pergelangan tangan Lyne. "Mau kemana?" pekiknya pada Lyne. Menatap teman-temannya yang lain. "Ini sudah masuk jam pelajaran. Mau pergi? Ke gudang? Aku yakin mereka juga di kelasnya." Dia menggerutu di tempatnya.

"Mau protes! Tidak peduli sama Saga dan Juni. Masa bodoh! Bagaimana bisa Isam juga kena imbasnya?" Lyne mengomel lagi.

Dia teman dekatnya Lyne, Juli. Begitulah semua memanggil gadis berpotong rambut poni mangkok ini. Ya, kembarannya Juni, teman Isam yang membuat Lyne marah besar.

Juli tahu apa-apa saja yang membuat Lyne marah besar, sampai-sampai punya ekspresi wajah yang seakan-akan ingin memakan siapapun yang ada di sekitarnya.

"Duduk dulu ...." Juli memohon, melirihkan nada bicaranya. Tak mau 'singa' satu ini malah meraung tak ada aturan. "Aku bilang duduk dulu," ulangnya.

Hal pertama yang membuatnya marah besar adalah saat berat badannya naik. Balerina tidak boleh menimbun lemak sedikitpun. Jika naik 0.1 kilo saja, dia akan kebakaran jenggot. Seakan-akan besok dunia kiamat dan dia mati dalam keadaan obesitas.

"Jangan coba-coba buat membela Juni!" Dia menatap Juli. Menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Aku tidak akan memaafkan dia kali ini."

Juli manggut-manggut. "Secara teknis aku juga membenci saudara kembarku sendiri. Jadi aku tidak akan membelanya," paparnya. "Tapi ...." Dia mendekatkan bibirnya ke sisi telinga Lyne. "Keributan kamu akan membuat mama kamu datang ke sekolah, Lyne. Kamu mau?" bisiknya.

Hal kedua yang membuatnya marah besar adalah saat mamanya datang dan mengganggu ketenangannya dalam menjadi warga sekolah yang berbudi luhur. Dia juga malu, Lyne mau jadi dewasa. Mengurusi semua urusannya sendiri.

"Gak mau kan?" tanya Juli tertawa aneh kemudian. "Jadi, biarkan saja kali ini."

"Biarkan?" Lyne mengernyitkan dahi. "Isam tidak bersalah! Itu ulah Sagara dan Juni!" Lyne kembali meninggikan nada bicaranya. Membuat beberapa teman yang ada di sekitar menolehkan pandangannya.

Juli membungkam mulut Lyne. Meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri, memberi isyarat pada Lyne bahwa dia harus diam.

"Hubungan kalian di balik layar," ujarnya. "Kalau begini terus orang-orang akan tahu, mampus kamu!"

Lyne mendorong tubuh Juli agar memberikan dirinya celah untuk bernafas. "Aku tahu ...."

Hal ketiga yang membuat gadis ini kebakaran jenggot adalah tentang kekasihnya. Apapun itu, Isam bagaikan permata mahal untuk Lyne. Begitu berharga. Melihat kekasihnya menderita dia tidak rela. Entah bagaimana dengan pIsam, dia tipe pendiam, dingin, dan tak se-agresif Lyne. Isam lebih banyak tersenyum, tanpa berkata-kata. Dia lebih suka menghindar dari pandangan orang banyak.

Juli awalnya berpikir kalau Isam tak menyukai Lyne seperti Lyne menyukai dirinya. Namun, satu momen yang membuatnya menampar dirinya sendiri saat melihat Isam mencium bibir Lyne di hari ulang tahunnya yang ke 18 tahun.

--wah, penampilan dan sikap tenangnya menipu. Menyembunyikan 'laki-laki' di dalam dirinya.

"Maafkan saja kali ini, lagian itu bagus untuk fisik mereka bertiga," kata Juli lagi. Dia mulai normal, duduk dan kembali pada aktivitasnya.

Lyne masih menatap dengan cara yang tidak rela. Kekasihnya selalu saja terseret dalam kebodohan dua temannya.

"Aku akan memarahi Juni nanti," imbuh Juli. Melirik ke arah Lyne yang akhirnya pasrah. Menutup kotak makannya dengan kasar.

Apapun dan siapapun yang membuat Isam menderita adalah musuh untuk Lyne. Dia benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pemuda itu.

"Ngomong-ngomong ...." Juli membuka mulutnya lagi. Dengan pandangan matanya dia menunjuk ke arah kotak makan yang baru saja ingin dimasukkan Lyne ke dalam loker mejanya. "Kamu akan makan makanan seperti itu sampai mati?"

Lyne diam, menatapnya.

"Maksduku, sejak kita pertama kali bertemu sampai sekarang, aku hanya sekali saja melihat kamu ke kantin, itu pun beli air putih." Juli sedikit ragu kalau membicarakan pasal ini. Perjuangan Lyne untuk tetap seperti sekarang tidak main-main. Dia memilih sakit perut karena kelaparan jika lupa membawa kotak makan sialan itu. Juli benar-benar membenci kalau temannya itu menyiksa dirinya.

"Kamu bisa makan yang lain sesekali," kata Juli menutup kalimatnya.

Lyne tersenyum. Menganggukkan kepalanya. "Sudah pernah mencoba," sahutnya. Berterus-terang. "Mendiang ayahku punya perawakan tubuh yang besar dan tinggi, aku rasa aku juga mewarisinya. Mamaku juga tidak terlalu kurus, jadi menjaga tubuh ini sedikit susah."

Juli menatapnya terus menerus. Mendengar itu semua, rasa-rasanya dia yang terluka.

"Aku makan kue manis dan berat badanku naik satu kilo. Itu menyiksaku," timpalnya. Tersenyum miring.

"Jadi? Kamu akan begitu sampai kapan?" Juli memutar tubuhnya. "Bakso, mie ayam, es jeruk, semuanya enak. Serius!"

Lyne manggut-manggut. "Aku pernah merasakan itu. Sebelum menjadi balerina. Jadi jangan berpikir aku tidak pernah makan apapun," katanya. Menggerutu, mencubit sisi perut Juli.

Keduanya tertawa. Setidaknya itu bisa menjadi bahan lelucon kadang kala.

"Pokoknya! Kamu harus bilang sama aku kalau kamu memutuskan untuk berhenti makan makanan sialan itu, oke? Aku traktir semua makanan di kantin!"

Lyne manggut-manggut di sela tawanya. "Pasti."

... To be continued ...