webnovel

Serigala yang Kesepian

Tok tok tok.

Terdengar suara ketukan di pintu.

Ah, itu pasti Marie. Apa dia tak cukup hanya mencemaskanku saja. Aku benar-benar belum siap untuk menemuinya.

"Tuan Hilarion bolehkah saya masuk?"

Benar, 'kan?

Kalau aku tak menjawab dia akan pergi--

"Saya membawakan makan siang."

Sialan! Sepertinya memang aku tidak bisa menghindarinya.

"Masuk saja, Marie. Aku tak mengunci pintunya."

Seharusnya dia tahu pintunya tidak dikunci karena aku juga tahu dia sedari tadi mengintipiku. Mungkin dia kawatir aku kabur lagi saat marah.

Dia kira aku anak-anak, apa.

Terdengar pintu terbuka di belakangku. Aku masih pura-pura sibuk dengan gambarku.

"Saya membuatkan krim sup kesukaan anda. Mari kita makan, saya akan menyuapi anda, Tuan Kecil," ujarnya saat berjalan mendekat.

"Letakkan saja di atas meja, Marie," kataku masih dengan tanpa melihat wajahnya. "Mulai sekarang aku mau belajar makan sendiri."

Langkah kaki Marie terhenti di sampingku. Aku melirik sekilas kakinya yang berdiri di samping sebelah kiriku.

Maaf Marie tapi aku terlalu malu untuk melihatmu sekarang. Dan lagi, aku sudah cukup tua untuk di suapi olehmu yang bahkan mungkin lebih muda dariku. Aku tak ingin bertambah malu lagi, sudah cukup hari-hari kemarinku aku terpaksa menelan harga diriku.

Hening.

Eh?

Aku berhenti mencoreti kertas.

Apa dia tak bisa menuruti permintaanku?

Mungkin ini semacam kode etik bagi pengasuh untuk hanya menuruti satu Tuan yang memperkerjakannya, ya? Dan Tuannya yang sebenarnya, kan, bukan aku?

Sepertinya memang tidak bisa, ya?

Aku menoleh. "Letakkan saja di atas meja, Marie."

Namun, begitu menoleh, aku dibuat tercengang dengan wajah Marie yang begitu syok ...? Dan sedih.

Nampan di tangannya bahkan bergetar, lalu matanya juga memerah seperti siap menumpahkan seisi lautan. Ohhhh ... ini buruk. Sangat sangat buruk.

Marie berlutut.

"Apa Tuan Kecil marah kepada saya?" tanyanya terluka. "Apa Tuan Kecil sudah tidak membutuhkan saya lagi?"

Sekarang aku merasa seperti orang jahatnya.

Aku tidak bisa, ya, menjadi diriku yang sebenarnya ... sehariiii saja?

Aduh sialan! Sepertinya aku harus mulai berakting lagi menjadi balita manis.

"B-bukan begitu, Marie ...," jawabku sepolos mungkin. Aku segera berdiri dan memeluknya erat. "Aku hanya tidak ingin terus-terusan menyusahkanmu, Marie. Aku ingin menjadi dewasa dan kuat seperti Ele--Ayahanda ... supaya aku juga bisa melindungi Marie dan ... Ibunda."

Aku tidak bisa melihat wajahnya saat aku bersilat lidah.

Sialan aku malu sekali!

Marie balik memelukku erat. "Tuan Kecil ...."

Bahu Marie mulai bergetar. Sepertinya dia menangis. Ampun .... Apa aku salah bicara lagi?

"Tuan Kecil tidak perlu menjadi dewasa sekarang ..., tidak ada yang perlu anda jaga sekarang. Tuan Kecil hanya perlu sehat dan bahagia, bermainlah seperti anak-anak lainnya dan biarkan saya yang menjaga anda," ujar Marie sambil terisak. Masih terus memelukku.

Sementara aku? Aku hanya menepuk-nepuk punggung Marie.

Aku harus apa lagi? Aku bukanlah orang yang pandai merangkai kata untuk menenangkan seseorang? Lihat saja kalimatku tadi, bahkan membuatnya tambah menangis.

"Baiklah, Marie."

*

"Wahhh ... luar biasa. Apakah itu serigala yang sedang Tuan Kecil gambar?"

Butuh waktu untuk menggambarnya semirip mungkin dengan serigala, tapi aku tak bisa menyerah hanya dengan coretan tak keruan itu. Aku terpaksa melakukannya untuk mengecoh Marie. Aku tak ingin membuat Marie mengganggapku masih kesal entah untuk alasan apa yang Marie pikirkan.

Pada akhirnya aku harus kembali mengalah dan kembali berakting menjadi balita manis.

Setelah makan siang itu, Marie tetap menemaniku di kamar. Dia terus memperhatikanku yang sedang mencorat-coret kertas. Tentu aku tak bisa mengusirnya, atau dia akan kembali salah paham. Jadi, kubiarkan saja Marie.

"Mm-hm ...." Aku mengangguk. "Sudah selesai."

"Eh, sudah selesai? Kenapa serigalanya hanya sendirian?"

Yah, hanyalah gambar yang terpaksa kubuat. Jadi tidak ada alasan khusus kenapa serigala ini sendirian.

"Ini serigala yang kesepian," jawabku spontan.

"Serigala yang kesepian?"

Aku tersenyum.

Tapi, Marie tidak.

Oh ... tidak ... jangan lagi ....

"S-serigala ini kesepian karena sedang berjalan sendirian ke rumah temannya sendirian. Ha ha ha ...." Aku cepat-cepat meralat ucapanku. Lalu, menunjuk gambar serigalaku yang jelek. "Lihat! Dia sedang ke arah rumah temannya ...."

Marie tak menjawab.

Pelan-pelan aku melihat wajahnya, masih dengan senyumku (yang gugup). Sekilas kulihat ekspresinya yang tercenung, namun kemudian dia cepat-cepat tersenyum lebar begitu aku menatapnya.

"Saya beruntung sekali bisa melihat gambar pertama Tuan Kecil." Marie mengusap rambutku. "Saat Tuan Eleazar pulang perlihatkanlah padanya, beliau pasti akan sangat senang."

Entah apa yang dipikirkan Marie. Aku sedikit curiga. Tapi, syukurlah untuk saat ini aku bisa lega dia tak emosional lagi.

Aku tersenyum seceria mungkin. "Baiklah, akan aku tunjukkan pada Ayahanda."

Marie tersenyum lembut.

"Nah. Kalau begitu sekarang waktunya tidur siang."

*

"Mengendap-ngendap seperti tikus."

Berengsek!

Dengan sigap aku segera menyeimbangkan tubuhku.

Aku menoleh, untuk mendapati seorang bocah yang berdiri 'menyambutku' di depan jendela kamarku dengan wajah menuduh.

Hampir saja aku terjungkal dari jendela. Walau jendela ini tidak terlalu tinggi, tapi untuk seukuran tubuhku sekarang, pasti akan sakit sekali kalau kepalaku mencium tanah.

Lagi pula kenapa aku gampang sekali terkejut, sih!? Dan anak ini .... Sejak kapan anak ini menguntiti rumahku?

Sepertinya juga tak cukup dengan melempariku batu kemarin dia sekarang akan mulai menggangguku. Dia kira aku bocah lainnya. Aku tidak akan mudah terpancing.

Aku berjalan mengabaikannya. Masih dengan melihat sekeliling. Aku akan dalam masalah jika Marie memergokiku.

"Hei! Mau kemana, kau?" Ian berlari mengejarku.

"Bukan urusanmu." Aku mempercepat langkah. "Dan jangan ikuti aku."

Bocah itu terdiam. Namun, aku masih bisa mendengar langkah kakinya mengikutiku di belakang.

Aku mendesah pendek.

Aku menghentikan langkahku dan berbalik. Lalu, menatapnya dengan tajam. "Hei, bocah! Kenapa kau terus mengikutiku? Aku tak mau bermain-main denganmu."

"A-aku juga tak mau bermain dengan bayi."

"Siapa yang kau sebut bayi!?"

"Seorang bayi."

"Maksudmu itu aku, 'kan?"

"Kau yang bilang."

"Apa!?"

"Bayi itu bahkan masih makan dengan disuapi. Menjijikkan sekali."

Aduh sialan! Jangan diingatkan lagi dong!

Sepertinya memang bocah ini sengaja menguntitku sedari di rumah. Aku tahu ada yang tidak beres dengan anak ini. Sialan!

Namun, aku tak ingin meladeninya lama-lama. Jadi, aku menyilangkan tanganku dan tersenyum miring.

"Setidaknya bayi itu lebih baik daripada bocah yang menangis karena ketakutan." Aku berdecak miris, menatapnya mengejek. "Memalukan sekali."

Ian terdiam wajahnya memerah.

Ya, kan, kau tak akan bisa membalasnya. Rasakan. Makanya jangan coba-coba berdebat dengan orang dewasa. Kau pasti akan kalah telak.

"S-siapa bilang?"

Aku memutar bola mataku. "Tidak, lupakan, aku hanya berbicara dengan angin." Aku menatapnya tajam. Lalu, memutar jari telunjukku di depan wajahnya. "Jangan mengikutiku, atau aku akan mengutukmu."

Ian langsung terdiam.

Memang, ya, ancaman adalah yang terbaik untuk membuat bocah diam.

Aku akan berbalik dan melanjutkan langkah ketika Ian kembali membuka mulut,

"R-Rick mengabaikanku sejak kemarin!"

"Lalu ... apa hubungannya denganku?"

"Tentu saja ada hubungannya. Karena kau berkeliaran di desa dan melakukan hal aneh pada anak-anak desa. Jadi, aku melemparimu dengan batu dan membuat Rick marah karena aku tidak minta maaf ...," jelas anak di depanku ini dengan menggebu-ngebu. Kedua tangannya terkepal erat sambil menutup mata dia tiba-tiba berteriak, "Maafkan aku!"

Ck. Lihat anak ini. Dia sedang berbicara apa, sih?

"Baiklah, aku memaafkanmu."

"Eh--begitu saja?" Ian membuka matanya dengan kaget.

"Kau ingin aku meminta imbalan?"

"Maksudku kau tidak dendam, kan, atau semacamnya?"

Yah, aku bisa saja memukulnya sekarang juga, untuk membalasnya. Lagipula aku adalah tipe orang yang akan membalas sepuluh kali lipat dari apa yang kuterima. Tapi, aku terlalu malas. Ingat, jangan menarik perhatian, dan saat ini aku harus menjadi balita manis.

"Itu tidak penting. Aku tidak mau membuang-buang tenagaku untuk hal melelahkan seperti itu. Sudah, kan, sekarang jangan mengikuti lagi."

"Aku tidak sedang mengikutimu. Aku sedang berjalan menuju rumahku."

"Terserahlah. Tapi, jangan dekat-dekat atau aku akan benar-benar mengutukmu menjadi ayam."

Setelah mengatakan itu, akupun segera berjalan cepat.

Aku terlalu lelah untuk berdebat dengannya. Dan juga saat ini ada hal yang lebih penting dari pada mengurusinya.

Baiklah. Hari ini sejauh mana aku bisa berjalan dan mendapatkan informasi.

Rupanya hari ini gandumnya mulai di panen. Agak disayangkan aku tak bisa melihat hamparan karpet emas lagi beberapa waktu kedepan.

Sebentar lagi juga sepertinya musim gugur. Anginnya bertiup cukup kencang. Daun-daun juga mulai bersemu kuning dan kemerahan.

Suasana asri dan damai ini. Desa ini memang terbaik. Aku benar-benar tidak sedang mimpi, kan? Air sungai yang jernih, padang bunga warna-warni, pohon-pohon hijau tinggi menjulang, dan ... pegunungan. Aku mulai jatuh cinta dengan tempat ini. Ah, terlalu banyak pemandangan indah di desa ini.

Aku tak tahu apa yang akan menyambutku kelak ketika suatu saat nanti keluar desa ini. Di balik gunung-gunung menjulang itu aku yakin ada banyak hal luar biasa lainnya yang menantiku.

*

"Ssstt. Anak yang itu, 'kan?"

Indra telingaku menajam.

Beberapa wanita yang tengah mengangkati pakaian kering di samping rumah menatap penasaran ke arahku.

Aku baru tersadar ternyata aku sudah memasuki area rumah-rumah penduduk.

Aku menelan saliva susah payah. Apa mereka masih bisa mengenaliku saat aku mengenakan kain untuk menutupi kepalaku ini?

Sialan!

Aku mempercepat langkahku.

"Iya, dia anak yang tinggal bersama Rick."

"Ayo cepat tanya soal itu padanya!"

Eh? Tunggu!

Langkahku melambat.

Maksudnya Ian, 'kan? Mereka sedang tidak membicarakanku?

"Hei, Nak, tunggu sebentar."

Aku berhenti berjalan dan menoleh ke belakang.

Seorang wanita paru baya bertubuh subur itu berjalan mendekati Ian yang sudah berhenti berjalan.

Wajahnya wanita itu dipenuhi rasa ingin tahu.

"Nak, siapa namamu?" tanya wanita itu pada Ian.

Ian terdiam beberapa saat. Tapi, kemudian membuka mulutnya. "Ian."

"Ah, nama yang bagus. Apa kau yang tinggal bersama Rick si Pengembala Domba itu?"

"Iya." Ian mengangguk. "Dia Kakakku."

"Oh, begitu ...." Wanita itu tersenyum semakin lebar. Dia menyodorkan sekeranjang kecil roti yang dia bawa. "Ini ambilah, aku baru saja memanggangnya jadi masih hangat. Makanlah bersama Rick nanti."

Ian menerima keranjang berisi roti itu tanpa ragu. "Terimakasih, Nyonya ...?"

"Panggil saja Nyonya Capri. Aku juga menitipkan dombaku pada Rick."

Ian kembali mengangguk.

"Anu, Nak Ian .... Bukankah kemarin Rick, maksudku, Kakakmu itu pergi ke rumah di ujung desa itu?"

Ian terlihat terkejut sekali dengan pertanyaan tiba-tiba Nyonya Capri.

Aku tanpa sadar juga menyimak pembicaraan mereka.

"Apa kau tahu apa yang dilakukan Kakakmu di rumah itu?"

Rupanya memang Rick satu-satunya orang di desa ini yang pernah mengunjungi rumahku. Lagipula Rick ke rumahku hanya untuk bersujud di kaki Zurine. Seharusnya gosipnya juga sudah menyebar, kan, kalau Zurine Sigor bukanlah penyihir, buktinya Rick pulang dengan selamat.

"Nak Ian?"

Ian masih terdiam. Kulihat dia menunduk, matanya terus menerus menatap ke bawah.

Ada apa dengannya. Kemana perginya bocah cerewet dan pandai berdebat yang berbicara padaku beberapa saat lalu?

Nyonya Capri hampir saja menyentuh bahunya. Akan tetapi, Tiba-tiba saja Ian melempar keranjang berisi rotinya. Anak laki-laki itu langsung berlari tanpa rasa bersalah. Sementara Nyonya Capri meneriakinya di belakang.

Aku tercengang. Bukan hanya karena kelakuan biadab Ian yang dengan berani-beraninya membuang-buang makanan, akan tetapi karena anak laki-laki itu berlari setelah menarik tanganku dan sambil membawaku kabur.

*

Rabu, 15 Juni 2022

11:16 PM