Kamu hebat dalam menjerat hidupku yang sudah lama berkarat – Andra Yudhistira.
***
Mendengar suara decitan pintu dibuka, membuat Restu reflek bangkit dari duduknya. Ia menatap Salsa yang berdiri diambang pintu, menatapnya bingung. Sedetik kemudian ekspresi wajah cewek itu berubah menjadi datar.
Restu hendak meraih tangan Salsa namun dengan cepat Salsa menjauhkan tangannya.
"Sal."
"Lo kesini bukan karena mau nganterin gue berangkat sekolah, 'kan?" tanya Salsa tanpa menatap Restu.
Restu menghela napas panjang. Sudah ia duga setelah kejadian semalam akan membuat jarak diantara keduanya. Restu juga tidak mau itu sampai terjadi. Tetapi ia bisa apa jika hati sudah berkehendak tidak sesuai dengan otaknya? Lagi-lagi ia gagal mengontrol dirinya.
"Gue terima kalo lo marah sama gue. Lo boleh hukum gue sepuasnya, Sal. Gue terima."
Salsa kalah. Pertahanannya runtuh seketika hanya dengan mendengar suara keputusasaan cowok itu. Lantas ia segera menenggelamkan tubuhnya dalam pelukan Restu. Restu balas memeluknya seerat mungkin.
"Maaf, Sal. Semalam gue udah melewati batas. Udah bikin lo nangis lagi. Maaf...." ujar Restu parau ditelinga Salsa. Bibirnya bergetar hebat.
Restu merutuki kebodohannya. Ia merasa ada yang berbeda dengan diri sendiri. Dulu ia tidak akan sampai sekasar ini pada Salsa. Ia akan membuang jauh-jauh sifat jeleknya agar Salsa selalu nyaman berada disisinya.
Tetapi untuk kali ini, ia merasa dirinya sudah berubah total. Restu yang dulu sudah hilang entah kemana. Keinginan hati yang ingin selalu memiliki berakhir pada penyesalan yang tiada henti.
"Lo itu Restu, sahabatnya gue. Orang yang menjadi pelindungnya gue. Sekaligus keluarga bagi gue. Nggak ada alasan buat gue ngejauh dari lo. Disini, gue yang salah, Res."
Restu terhenyak. Perkataan Salsa sungguh menyakiti hatinya. Ternyata memang inilah takdirnya. Yang tak bisa diubah meski ia berjuang sampai titik darah penghabisan. Selamanya Salsa akan menganggap dirinya sebatas sahabat, keluarga. Bukan karena cinta yang ia pendam sampai sekarang.
Mungkin hanya masalah waktu untuk Restu mengikhlaskan Salsa menggapai cinta dan harapannya. Restu hanya orang luar dan tidak sepantasnya ikut campur dalam kehidupan Salsa.
Merekapun melepaskan pelukan. Restu memang tidak menangis namun percayalah, kini hatinya sudah berderai air mata.
Sampai Restu menjalankan motornya bersama Salsa dibelakangnya, tidak mengubah kekalutan dalam jiwanya. Ia menangisi takdirnya yang begitu pahit.
Yang tanpa Restu sadari, dirinya begitu berharga untuk orang lain yang sudah lama tidak merasakan indahnya kehidupan di semesta.
***
"Mata lo sembab banget, Sal? Kayak abis nangis aja." tanya Dinda begitu melihat Salsa masuk ke kelas dan duduk disebelahnya.
Salsa menggeleng lemah. Ia memberikan senyuman terbaiknya untuk Dinda. Dinda merasa ada yang berbeda dengan Salsa. Ingin bertanya tapi tidak sampai hati setelah melihat wajah suram sahabatnya itu.
Dinda juga mendapati Restu yang hanya diam saja. Biasanya mereka akan mengobrol sebentar atau bercanda seperti biasanya. Tetapi pagi ini berbeda.
"Mimpi apa gue semalem. Udah rank mythic eh turun ke legend. Nasib solo rank kok gini amat, ya?" keluh Dimas yang baru saja masuk ke kelas. Berjalan penuh emosi menuju bangkunya.
Andra yang berjalan dibelakang Dimas hanya terbahak. Ia pun menuju bangkunya tanpa sempat menyapa Salsa. Salsa yang menyadari Andra baru saja melewatinya langsung bangkit dan menghampiri cowok itu.
"Mampus dapet karma. Mampus pus push rank sampai mythic! Hahahaha." balas Andra diikuti gelak tawa menghina. Sedangkan Dimas hanya mendecak sinis. Bukan karena perkataan Andra melainkan baru saja Dinda meliriknya.
"Jaim, Ndra. Ada gebetan tuh." ujar Dimas menekan kata 'gebetan' bermaksud menyindir Restu. Tetapi yang ia lihat, Restu hanya diam saja sembari menikmati waktunya membaca buku.
Andra mengikuti arah pandangan Dimas dan matanya bertemu mata Salsa. Ia tetap duduk sambil menyenderkan punggungnya di bangku. Menatap Salsa intens dengan mata layunya.
Kalimat yang disusun Salsa dalam hati lenyap sudah saat melihat ekspresi Andra yang begitu serius itu. Rasanya ingin berteriak, tak tahan melihat wajah Andra yang semakin tampan di penglihatannya.
"Gue...."
Andra mendengus geli. Ia tak lagi memasang wajah seserius itu. Lantas ia bangkit dan mengajak Salsa keluar kelas. Membawa cewek itu ke atap sekolah.
Andra merentangkan tangannya. Mengambil udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
Sambil memejamkan mata ia berkata, "Coba lo nikmati udara pagi ini. Kasih tahu sama gue gimana rasanya."
Salsa awalnya bingung namun ia pun mengikuti apa yang diminta Andra. Lantas ia merentangkan tangan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Juga memejamkan matanya.
Cuaca pagi ini lumayan mendung. Sinar matahari terhalang oleh pekatnya awan hitam. Menjadikan udara pagi ini sejuk dan menenangkan. Ditambah semilirnya angin membuat Salsa sedikit merinding.
"Sejuk dan tenang." ujar Salsa lirih.
Andra membuka matanya. Selagi Salsa masih terpejam, Andra terus menatapnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Ya, semesta ini selalu sejuk dan tenang. Namun berbeda cerita dengan mereka yang hidup di alam semesta. Nggak pernah merasa tenang, hati selalu panas. Bahkan keindahan alam yang terbentang seluas mata memandang aja gue rasa belum bisa bikin hati mereka menjadi sejuk. Lo tahu kenapa?"
Reflek Salsa membuka matanya. Membalas tatapan Andra. Berpikir keras mengenai pertanyaan cowok itu.
Andra menyenderkan punggungnya di pembatas atap. Matanya menerawang ke atas. Melihat sisi gelap dunia diatasnya.
"Karena mereka, manusia selalu merasa tertekan. Masalah secuil bisa menjadi besar karena batinnya tertekan. Sama halnya kayak lo. Gue tahu lo pengin kayak mereka yang bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan... fokus sama satu tujuan," Andra mengacungkan jari telunjuknya sendiri didepan dada bidangnya. "Bahwa gue hidup bukan untuk orang lain melainkan untuk diri gue sendiri."
Kini Salsa hanya bisa diam. Ia tak lagi ingat apa tujuannya menghampiri Andra tadi. Lagi-lagi Salsa dibuat bungkam oleh cowok itu.
"Gue peduli sama lo, Sal. Peduli banget. Gue nggak mau lo kayak gue yang nggak ada satupun orang yang peduli. Karena bagi gue, menyelamatkan nasib orang lain lebih berharga daripada menyelamatkan nasib diri sendiri. Gue hidup bukan ditemani rasa keegoisan. Gue hidup karena diliputi oleh rasa kasihan."
"Andra," kini Salsa mampu angkat bicara setelah lama tak bersuara.
Andra pun menoleh. Tatapannya sarat akan makna yang tak dimengerti oleh Salsa.
"Gue nggak tahu kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue. Kita kenal aja belum lama. Saling kenal-mengenal bahkan belum pernah kalau kita nggak satu kelas. Sebenarnya... lo itu siapa?"
Bersambung...