webnovel

Belum Bahagia Untuk Secepat ini

Terlalu cepat untuk semua berjalan sesuai yang diinginkan, apalagi perihal cinta yang seharusnya ada pada perjodohan. Jodoh memang bukan soal cinta, tapi cinta seharusnya ada pada yang memang jodoh. Cinta yang harus ada pada dua hati lah yang menjadi masalah jika hanya satu hati yang berusaha mencintai. Bahkan untuk percakapan tadi antara Niken dan Tama saja kemungkinan tidak berarti untuk salah seorang.

Pokus Tama terbagi menjadi dua saja, tapi pasti terlihat sangat menegangkan untuk yang melihat. Dari semenjak macet hilang, Niken sama sekali tidak memulai percakapan. Ia hanya melihat Tama lewat kaca mobil saja. Walaupun sampai di umur Niken dijodohkan pun tanpa pernah berpacaran, ia tahu bagaimana suatu yang sepenuh hati dengan yang tak sepenuh hati. Dan juga ia tahu jalan yang sekarang dilintas sebentar lagi akan berhenti di rumah Niken.

Namun, Tama sedikit menengok Niken yang terlihat tidak menghiraukannya, "Nik, mau makan dulu?"

Niken melihat Tama yang masih pokus menyetir, lalu ia melihat jam di handphone-nya dulu, "Mmm.. nggak deh, di rumah aja."

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa."

"Aku lapar, Nik."

"Ya, kamu aja makan sendiri."

Tama langsung menghentikan mobil di pinggir jalan agar bisa melihat Niken, "Kamu kenapa? Tadi kita ngobrol asik loh?!"

Niken menggelengkan kepala, "Soal makanan juga aku dipilihin sama orang tua aku, Tam. Maaf."

Tama menghembuskan napas, "Iya juga. Harusnya aku yang maaf, aku nggak tahu."

"Nggak apa-apa."

"Kalau gitu kita pulang, sebentar lagi sampai."

Niken hanya mengangguk.

Tapi, "Atau kamu mau makan di restaurant sehat aja?" Tama kembali bertanya.

Niken tersenyum, "Nggak usah, Tam. Aku makan di rumah aja."

"Nanti kalau Mama Papa kamu…"

"Tam, aku pulang aja."

"Kamu gak apa-apa kan? Apa sakit lagi?"

"Tama, aku mau pulang."

Tama terpaksa mengiyakan. Walau perasaan yang ada pada dirinya seperti berbeda dengan apa yang baru saja ia ungkapkan akan kekhawatirannya. Perasaan dan ingatannya seperti minyak di permukaan sungai. Pada bagiannya, ternyata Tama payah soal menutupi kenangan bersama mantan terindahnya. Mobil ia jalankan secepat apa yang ia pikirkan soal cinta yang seharusnya ia kalahkan agar Niken menang.

Niken sudah berbaring sambil mendengarkan lagu Nadin Amizah selama satu jam lebih beberapa menit. Yang ia lihat bukan langit-langit kamarnya yang putih, tapi kabut tebal akan pikirannya yang memikirkan soal Tama, perjodohan dan cinta. Apa mencintai itu sesulit ini? Ya, sangat berbeda dari apa terjadi saat bersama Tama. Justru beberapa jam bersama Tama rasanya sulit daripada banyak orang yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama.

Untungnya Mama dan Papa tidak pulang hari ini, ia tidak harus berbohong soal rumah sakit dan kemacetan tadi. Mama dan Papa tidak pulang juga untuk mencari uang, lebih tepatnya untuk nanti bisa membeli jantung saat Niken tidak punya energi untuk melarang mereka membeli hak hidup orang lain. Sebenarnya mereka sudah mampu, tapi Niken selalu melarikan diri saat umurnya diambil alih oleh orang yang meskipun itu orang tua kandungnya.

Orang tua Niken bahkan bisa sampai keesokan harinya pun belum pulang, walaupun demikian tetap ada asisten rumah yang sangat patuh karena gaji yang diberikan di atas umr, bahkan tidak hanya satu asistennya, itu lah kenapa Niken sama sekali tidak dekat dengan satu pun di antara mereka.

Saat sedang sarapan salad buah dan roti gandum, tiba-tiba Mama menelepon. Niken pun mengangkatnya, "Ada apa, Ma?"

"Kamu lagi sarapan, sayang?"

"Iya, Ma."

"Kalau gitu kamu tunggu Tama, ya. Kamu berangkat sekolah sama dia."

Niken langsung meneguk air putih di gelas, dan mematikan teleponnya tanpa menjawab apa pun. Ia beranjak dari kursi meja makan, "Pak, ayo berangkat!" ucapnya kepada sopir pribadinya sejak SMP.

"Non, makanannya belum habis," cegah satu asisten.

"Aku udah kenyang. Nggak baik kalo kekenyangan."

Asisten tersebut hanya mengangguk. Niken pun ke luar rumah diikuti sopirnya. Ia sama sekali tidak mengiyakan apa kata Mama yang biasanya ia tekuni. Rasanya dalam perjodohan tidak harus sebegitunya untuk membuat keduanya saling terikat, apalagi cinta. Kalau sampai seperti itu, Tama bukan seperti jodoh untuknya, melainkan seperti asistennya saja yang harus ada untuknya. Dan Niken tidak mau seperti. Bukan bahagia seperti ini, karena ini belum bahagia namanya.

Bahagia itu bukan yang selalu ada, tapi bahagia itu yang sudah pasti ada. Niken tahu, dia tidak bisa menjadi seseorang yang selalu ada, tapi dia menginginkan seseorang yang sudah pasti ada untuk dia cintai. Orang tuanya menjadi salah satu yang sudah pasti ada, tapi kadang kala seolah-olah menjadi yang selalu ada. Sedari berangkat sekolah, ia hanya menatapi panggilan masuk dan pesan dari Mama dan Papanya. Dan sekarang ia sudah berteduh di pohon yang jika kemarin itu bersama Tama, tapi ini menghadap depan menatapi setiap siswa yang baru datang maupun yang sedang menikmati suasana pagi sekolah.

Biasanya selalu ada bagian baru untuk seseorang yang pindah sekolah, tapi lain untuk Niken. Walaupun pindah sekolah kali ini bukan karena rumah sakit atau rumah dokter, tapi ini sama saja. Hanya ini saja, ternyata pemandangan dari bawah pohon ini memberi kehangatan soal kehidupan yang berbeda dari hidup yang sudah Niken lalui. Banyak siswa yang berlarian, sementara Niken melihatnya saja sudah takut menyusahkan orang lain.

"Ngapain kamu di sini?"

Tiba-tiba ada suara yang baru ia dengar. Bukan Tama, dan sama sekali tidak ia ketahui. Niken melihat ke atas karena orang tersebut berdiri. Namun, matahari membuatnya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Niken pun tidak menghiraukannya dan kembali menikmati suasana yang tadi ia lihat.

Akan tetapi seseorang tersebut bahkan berani duduk di samping Niken, "Ini tempatku dari awal masuk ke sekolah ini. Kamu siapa?"

Niken kaget melihatnya sudah menatap Niken sedekat itu. Dia mengatur jantungnya yang kaget akan tetapi ritmenya beraturan meskipun melonjak naik. Mata Niken membulat karena laki-laki ini juga masih menatapnya intens.

"Jantung kamu…"

Niken langsung mematikan suara jam pendeteksinya itu sebelum terjadi hal aneh, bahkan ia langsung melarikan diri dari laki-laki yang tidak tahu kenapa membuat ia takut.

Di dalam kelas, semua yang terjadi di bawah pohon langsung hilang karena Niken melihat Tama masuk kelas tanpa memberi tatapan menyapa untuknya. Niken sama sekali tidak berniat menolak Tama, tapi bagaimana menjelaskannya jika mereka saja belum bertukar nomor telepon. Dari belakang Niken memerhatikan Tama yang sedari awal masuk kelas hanya menatapi papan tulis tanpa bergabung dengan teman-temannya yang sedang mengobrol.

Namun, sepertinya hari ini Niken yang memainkan hidupnya duluan. Tiba-tiba laki-laki aneh di bawah pohon kembali berdiri di samping Niken yang dari kemarin duduk di kursinya.

"Ini meja aku," katanya.

Jam Niken kembali berbunyi saat ia berhadapan dengan laki-laki yang ternyata teman semejanya.