Dewi Siluman perhatikan posisi ketiga lawannya sementara kalung tengkorak di tangannya
menderu-deru berputar dan keluarkan angin yang mengibar-ngibarkan pakaian Tiga Aneh Gila.
Tiba-tiba dari mulut sang Dewi keluar suara seperti orang menangis.
"Eh... eh... eh!" ujar Baju Rombeng. "Siluman ini disamping teriak-teriak dan membentak
rupanya pandai pula menangis!" Tiga Aneh Gila kemudian tertawa memingkal.
Namun kali ini tawa mereka terhenti dengan tiba-tiba.
Tengkorak yang berputar mendadak sontak menebarkan asap biru yang tebal sekali
menutupi pemandangan Tiga Aneh Gila.
"Kawan-kawan cepat mundur!"teriak Baju Rombeng.
Dalam buta pemandangan itu ketiganya berlompatan ke belakang. Namun disaat itu pula
jala sutera halus di tangan kiri Dewi Siluman menebar berputar laksana kitiran.
"Celaka!" seru Baju Tambalan. Dirasakannya sesuatu benda melibat pinggangnya kemudian
sepasang lengan dan kakinya. Pastilah itu jala sutera Dewi Siluman. Dalam gelapnya kepulan asap
biru Baju Tambalan coba lepaskan diri tapi tak berhasil sedang kemudian dia mendengar susul
menyusul seruan kedua kawannya.
Dewi Siluman kini memutar kalung tengkoraknya pada arah yang berlawanan dari tadi.
Asap putih mendesis dari mulut tengkorak kecil itu dan dalam sekejap saja lenyaplah asap biru yang
gelap. Ruangan Putih kembali berada dalam keadaan terang benderang. Dan saat itu kelihatanlah
bagaimana Tiga Aneh Gila berdiri di tengah ruangan dengan sekujur badan terjirat jala biru, tak
sanggup lepaskan diri.
Dewi Siluman tertawa mengekeh. Kalung tengkoraknya digantungkannya kembali ke leher.
"Nyatanya Tiga Aneh Gila hanya tokoh-tokoh silat picisan belaka!" ejek Dewi Siluman.
"Sekarang kalian akan tahu siapa Dewi Siluman! Anak-anak seret tiga puntung neraka ini dan
Sepuluh Jari Kematian ke Ruang Penyiksaan! Sebelum mereka merasakan siksaan neraka ada
baiknya lebih dulu harus dijebloskan ke dalam siksaan dunia!"
Maka Tiga Aneh Gila dan Sepuluh Jari Kematian segera diseret dari Ruangan Putih
dimasukkan ke dalam Ruang Penyiksaan
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Kemani bersama tiga orang kawannya dalam mencari
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Mereka keluar dari terowongan di sebelah selatan Bukit Tunggul. Setengah harian
menyelidik keempatnya masih belum berhasil mendapatkan jejak orang yang mereka cari.
"Sebaiknya kita memencar!" kata Kemani memberi usul pada ketiga kawannya. "Dengan
memencar kita bisa bergerak lebih luas. Jika salah satu dari kita berhasil melihat manusia itu segera
lepaskan tanda ke udara!"
Tiga gadis baju biru lainnya menyetujui.
"Jika sampai senja kita tak berhasil menemuinya, kita harus kembali ke tempat ini untuk
berkumpul dan menentukan langkah selanjutnya."
Maka keempat anak buah Dewi Siluman itu pun memencarlah. Hari pertama itu, sesenja-
senja hari keempatnya tak berhasil menemui orang yang mereka cari. Keempatnya berkumpul di
tempat yang telah ditentukan dan membuat kemah di situ. Paginya mereka meneruskan lagi
pencaharian. Meskipun Madura cuma sebuah pulau namun penuh dengan rimba belantara serta
bukit-bukit dan pegunungan-pegunungan liar yang jarang ditempuh manusia. Inilah yang
menyukarkan bagi keempat anak buah Dewi Siluman itu untuk mencari Wiro Sableng. Dan pada
hari yang kedua itu mereka masih belum berhasil. Keempatnya berkumpul di satu lamping gunung
kapur. Kemana pun mereka memandang hanya warna putih yang mereka lihat. Menjelang senja
seorang dari mereka melihat kelap-kelip nyala api di sebelah utara.
"Mungkin dia," desis Kemani. Setelah berunding singkat, keempatnya segera tinggalkan
lamping gunung kapur. Empat kali sepeminuman teh mereka sampai ke tempat nyala api itu.
Ternyata yang mereka lihat itu ialah nyala api unggun. Tak jauh dari api unggung ini terletak satu
buntalan. Pastilah di tempat itu ada yang berkemah. Tapi tak satu orang pun yang kelihatan. Kemani
dan kawan-kawan menunggu sampai dua kali sepeminuman teh. Tetap tak ada satu orang pun yang
muncul. Keempatnya berunding lagi lalu dengan penuh waspada melangkah untuk mendekat dan
memeriksa isi buntalan di dekat api unggun.
Baru saja keempatnya bergerak sejauh tiga langkah entah dari mana datangnya
berkelebatlah satu bayangan putih. Demikian cepatnya sehingga keempat anak buah Dewi Siluman
tak dapat memastikan bayangan apakah itu. Dan tahu-tahu mereka merasakan satu totokan pada
pangkal leher mereka yang membuat diri mereka kaku tegang tak bisa bergerak, tak bisa buka suara.
Sekali lagi bayangan putih itu berkelebat dan sesaput angin aneh menyambar mata mereka.
Keempatnya mendadak sontak merasa berat kelopak mata masing-masing. Kantuk aneh tak
tertahankan lagi sehingga dalam keadaan tubuh tertotok itu keempatnya kemudian pejamkan mata
tertidur nyenyak.
Suara tertawa aneh menyeramkan macam ringkikkan kuda, menggeletar di seantero tempat.
Satu bayangan putih berkelebat lagi dan sekaligus memboyong keempat gadis berbaju biru itu.
Dewi Siluman berdiri di belakang jendela di anjungan ketiga. Dipandangnya kolam dan
taman bagus di bawah sana. Tapi pikirannya tidak tertuju pada apa yang dilihatnya melainkan pada
empat orang anak buahnya yang telah dikirimnya untuk mencari dan menangkap pemuda yang tak
berhasil ditawan oleh Nariti dan kawan-kawannya, sampai-sampai Nariti sendiri dihukum dan
disiksa di Ruang Hitam. Dan kini sudah memasuki hari yang kelima, empat orang anak buahnya itu
masih belum muncul. Mungkin keempatnya belum berhasil mencari si pemuda. Tapi mungkin juga
keempatnya telah menjadi korban. Mengingat ini Dewi Siluman menjadi sedikit khawatir. Tiba-tiba
pintu di belakangnya diketuk.
"Masuk!" ujar Dewi Siluman.
Pintu terbuka. Seorang gadis berkulit putih yang rambutnya disanggul ke atas menjura tiga
kali di hadapan Sang Dewi.
"Ada keperluan apa kau menghadap, Sarinten?"
Gadis yang bernama Sarinten menjawab. "Ketika aku meronda tak berapa jauh dari daerah
kapur, aku menemui tusuk kundai ini, Dewi." Sarinten mengacungkan tangan kirinya yang
menggenggam sebuah tusuk kundai dari perak. Lalu katanya meneruskan. "Benda ini kutemukan di
satu tempat di mana ada bekas-bekas perapian. Dan Dewi, aku yakin betul ini adalah kusuk
kundainya Kemani...."
Sepasang mata Dewi Siluman kelihatan mengecil.
"Aku khawatir Kemani dan kawan-kawan menemui hal-hal yang tak kita ingini," ujar
Sarinten lagi.
"Apakah ada tanda-tanda bekas perkelahian?" tanya Dewi Siluman.
"Tak bisa kupastikan Dewi."
Dewi Siluman merenung sejenak. Kemudian.
"Baik Sarinten, kau boleh tinggalkan kamar ini. Aku akan memikirkan apa yang bakal
dilakukan!"
Sarinten menjura tiga kali lalu meninggalkan anjungan itu. Dewi Siluman kembali putar
badan dan memandang ke luar jendela. Ketika melihat tusuk kundai yang diacungkan oleh Sarinten
tadi, sebenarnya Dewi Siluman merasa pasti bahwa telah terjadi apa-apa dengan Kemani dan
kawan-kawannya. Dan kalau memang pemuda yang tengah dicari-cari itu yang punya pekerjaan,
yakinlah Dewi Siluman bahwa si pemuda sungguh-sungguh berilmu tinggi. Nariti adalah anak
buahnya yang berilmu tinggi sedang Kemani dua tingkat lebih tinggi dari Nariti dan tetap tugas
yang mereka laksanakan tidak membawa hasil bahkan semakin menimbulkan kekhawatiran. Yang
membuat Dewi Siluman tambah penasaran ialah karena sampai sebegitu jauh dia masih belum tahu
siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya, siapa juluk atau gelarannya. Tiba-tiba dia ingat pada
Sepuluh Jari Kernatian yang telah dijebloskan ke dalam Ruang Penyiksaan. Mungkin dia tahu siapa
pemuda itu.
Dewi Siluman tepukkan tangannya dua kali.
Pintu terbuka, seorang gadis baju biru masuk. Selagi gadis ini menjura maka sang Dewi
sudah buka mulutnya.
"Apakah Sepuluh Jari Kematian masih hidup?!"
"Akan aku periksa Dewi. Kemarin dia masih bernafas satu-satu...."
"Jika dia masih hidup, lekas bawa ke Ruangan Putih. Aku menunggu di sana!"
"Baik Dewi," dan gadis ini menjura lagi lalu keluar dengan cepat. Dia adalah anak buah
Dewi Siluman yang bertugas di Ruang Penyiksaan.
Begitu gadis itu berlalu, Dewi Siluman segera tinggalkan kamar di anjungan ketiga itu.
Tak lama menunggu maka sebuah kerangkeng dari besi yang beroda didorong memasuki
Ruangan Putih. Di dalamnya menggeletak Sepuluh Jari Kematian. Keadaannya seperti sudah mati
dan mengerikan sekali. Dia tak mengenakan jubah hitam lagi tapi hanya bercawat kecil. Sekujur
badannya penuh bengkak-bengkak hijau merah yang mengandung nanah. Di antara bengkak-
bengkak itu banyak yang telah pecah mengeluarkan nanah campur darah yang baunya busuk
laksana merurutkan bulu hidung. Rambutnya yang panjang acak-acakan. Mukanya hampir tak bisa
lagi dikenali karena penuh dengan bengkak-bengkak menggembung berselomotan nanah dan darah.
Kedua matanya kini hanya merupakan rongga-rongga besar yang menggidikkan. Penyiksaan yang
dialami tokoh silat ini benar-benar luar biasa. Di dalam Ruang Penyiksaan dia mula-mula digantung
kaki ke atas kepala ke bawah. Satu hari berlalu maka dia dibawa ke Ruangan Putih dan dihadapkan
pada Dewi Siluman. Tapi sewaktu Sepuluh Jari Kematian tetap tidak mau tunduk pada kemauan
sang Dewi untuk masuk menjadi pengikutnya maka dia dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan,
digantung lagi kaki ke atas ke bawah. Dua hari kemudian darah mulai menggusur dari mata, telinga
serta hidung dan.mulutnya sedang kepalanya saat demi saat makin gembung seperti balon.
Hari berikutnya Dewi Siluman membebaskannya dan ditanyai apakah bersedia merubah
pikirannya dan masuk ke pihak Dewi Siluman. Tapi jawabannya Sepuluh Jari Kematian adalah caci
maki bahkan tokoh silat itu telah meludahi muka Dewi Siluman. Kemarahan Dewi Siluman tiada
terkirakan. Sepuluh Jari Kematian dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan dan dimasukkan ke
sebuah ruangan kaca tertutup. Ke dalam ruangan kaca ini dimasukkan puluhan binatang-binatang
berbisa. Sepuluh Jari Kematian tak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya diikat dengan benang
sutera halus yang aneh dan kuat luar biasa sedang kekuatannya lumpuh karena ditotok. Dalam
tempo satu hari saja maka habislah bengkak-bengkak sekujur tubuhnya disengat oleh puluhan
binatang berbisa. Kedua belah matanya membusuk dan digerogoti sehingga hanya tinggal
merupakan dua buah lobang yang mengerikan. Kalau saja Sepuluh Jari Kematian tidak memiliki
kekuatan yang luar biasa, pastilah nyawanya sudah lepas karena siksaan yang sangat hebat itu.
Namun sampai saat itu, meskipun tak ada harapan untuk hidup, Sepuluh Jari Kematian masih bisa
bernafas, sekalipun nafas itu tak lebih dari nafas-nafas terakhir yang akan mengantarkannya kepada
titik kematian.
Dewi Siluman tutup indra penciumannya sewaktu bau busuk keluar dari tubuh Sepuluh Jari
Kematian merambas hidungnya. Diperhatikannya tubuh tokoh silat itu seketika. Ternyata masih
bernafas.
"Sepuluh Jari Kematian!" seru Dewi Siluman.
Tubuh yang menggeletak di dalam kerangkeng besi itu tiada bergerak.
"Sepuluh Jari Kematian!" seru Dewi Siluman lebih keras. Tetap tak ada reaksi apa-apa.
Dewi Siluman berpaling kepada Sarinten yang tadi mendorong kerangkeng beroda itu.
"Semprot dia dengan air biru!"
Sarinten tinggalkan Ruangan Putih. Ketika dia masuk kembali maka di tangan kanannya ada
sebuah tabung kaca berbentuk kendi yang berisi sejenis cairan berwarna biru. Sarinten mendekati
kerangkeng besi. Bagian atas dari tabung kaca itu ditekannya dengan ujung jari telunjuk. Terdengar
suara mendesis. Dari sebuah lubang pada badan tabung menyemprotlah air biru ke sekujur tubuh
Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak di dalam kerangkeng. Bau busuk dengan serta merta
lenyap. Lewat sepeminum teh, terjadilah hal yang aneh. Dari mulut Sepuluh Jari Kematian
terdengar suara erangan. Kemudian tubuhnya kelihatan bergerak perlahan. Semprotan air biru tadi
nyatanya bukan saja telah melepaskan Sepuluh Jari Kematian dari totokan sejak beberapa hari yang
lalu, tapi sekaligus juga memberikan satu kekuatan aneh kepadanya. Namun karena sekujur
tubuhnya menderita luar biasa maka tetap saja dari mulutnya keluar suara erangan kesakitan.
"Sepuluh Jari Kematian!" seru Dewi Siluman.
Erangan tokoh silat itu terhenti seketika, kepalanya bergerak. Agaknya dia tengah meneliti
suara siapa yang memanggilnya.
"Sepuluh Jari Kematian, kau dengar aku bicara?!"
"Uh... uuuuu... uuh.... gadis iblis. Baiknya kau bunuh saja aku saat ini!" Rupanya Sepuluh
Jari Kematian sudah mengetahui siapa yang bicara dengan dia.
"Dengar, nyawamu akan kuselamatkan jika...."
"Iblis laknat, kau bunuh aku cepat! Biar aku jadi setan dan mencekikmu...!"
Dewi Siluman tahan amarahnya yang mulai meluap.
"Kau tak akan mati Sepuluh Jari Kematian. Aku datang justru untuk selamatkan jiwamu...."
Sepuluh Jari Kematian mendengus. Dia coba untuk bangun dan duduk, tapi tak berhasil.
"Apakah kau juga bisa kembalikan dua mataku yang kini buta ini, gadis siluman laknat?!" sentak
Sepuluh Jari Kematian.
Jika kau tak mau dengar ucapanku terpaksa kau kukirim kembali ke Ruang Penyiksaan!"
"Aku tidak takut! Aku ingin lekas mampus biar cepat jadi setan dan memuntir batang
lehermu!" tukas Sepuluh Jari Kematian.
Penasaran sekali Dewi Siluman memerintah pada Sarinten. "Ambil besi menyala!"
Sarinten tinggalkan Ruangan Putih dan kembali lagi dengan sepotong besi besar yang
ujungnya merah menyala karena dibakar dengan api. Dewi Siluman mengambil besi itu, ujungnya
kemudian didekatkan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat golongan hitam ini tampak
menyeringai kesakitan akibat panasnya besi yang terbakar itu.
"Sepuluh Jari Kematian, jangan jadi orang tolol! Bagaimanapun keadaanmu sekarang, kau
tetap akan bisa selamat dan hidup terus. Lekas katakan siapa adanya pemuda yang tempo hari
melarikan diri sewaktu anak-anak buahku mendatangi kau! Siapa namanya, gelar dan asal dari
mana! Cepat!"
Sepuluh Jari Kematian kelihatan tercenung. Tiba-tiba dari mulutnya mengumandang rendah
suara tertawa mengekeh. "Kalau aku sudah mampus dan jadi setan, baru aku kasih tahu padamu!"
jawab laki-laki itu.
Ujung besi yang merah terbakar didekatkan kembali ke muka Sepuluh Jari Kematian.
Kembali manusia ini kernyitkan muka karena hawa yang panas.
"Lekas terangkan!" sentak Dewi Siluman. Dia sudah tidak sabar sekali.
Sepuluh Jari Kematian hentikan kekehannya. "Gadis iblis, yang perlu kukatakan pada kau...
ialah... kau bakal tak sanggup menghadapi pemuda itu! Ilmu silatnya lebih tinggi... dan... dan
kesaktiannya lebih hebat dari kau! Kau akan mampus di tangannya.... Kau... akan...."
Ucapan Sepuluh Jari Kematian cuma sampai di situ. Dari mulutnya kini keluar lolongan
yang mengerikan karena saat itu Dewi Siluman menusukkan ujung besi yang merah menyala ke
pipi kanannya. Bukan saja pipi itu terpanggang hangus tapi juga menjadi bolong besar.
"Masukkan manusia tak berguna ini ke Ruang Penyiksaan kembali!" perintah Dewi Siluman.
Maka Sarinten kemudian mendorong kerangkeng besi setelah menerima besi merah menyala dari
tangan sang Dewi.