"Silahkan menikmatinya," kata Dewi Siluman pula. Dan habis berkata begitu seloki emas
itu dilepaskannya. Anehnya seloki itu tidak jatuh ke atas meja melainkan perlahan-lahan terbang ke
arah Sepuluh Jari Kematian. Nyatalah bahwa sang Dewi memiliki tenaga dalam yang luar biasa
hebatnya.
Sepuluh Jari Kematian tak berani menyambuti seloki berisi tuak itu secara biasa. Setelah
kerahkan setengah bagian dari tenaga dalamnya ke lengan kanan sampai ke ujung-ujung jari, baru
dia berani ulurkan tangan kanan untuk menyambuti seloki berisi tuak itu. Tapi sewaktu ujung-ujung
jari Sepuluh Jari Kematian hampir menyentuh seloki tersebut, anehnya benda ini menjauh sehingga
dia tak dapat memegangnya. Diam-diam Sepuluh Jari Kematian berjingkat sedikit dari kursi yang
didudukinya. Sekali lagi dia hampir menyentuh seloki tuak itu, sang seloki menjauh kembali.
Nyatalah bahwa dengan kekuatan tenaga dalamnya Dewi Siluman telah "mempermainkan" benda
itu.
Penuh penasaran Sepuluh Jari Kematian lipat gandakan tenaga dalamnya. Pertempuran
tenaga dalam terjadi secara diam-diam. Dewi Siluman kelihatan duduk di kursinya dengan tenang
dan sambil senyum-senyum. Sebaliknya Sepuluh Jari Kematian sudah keluarkan butir-butir keringat
dingin di keningnya. Tenaga dalam tokoh silat utama ini yang sudah mencapai puncak tertinggi dan
sempurna ternyata tak sanggup melayani kehebatan tenaga dalam yang luar biasa tingginya.
"Silahkan diminum tuak harum itu. Sepuluh Jari Kematian!" kata Dewi Siluman masih
senyum dan sambil menangkau seloki tuak yang terletak di meja di hadapannya.
Sepuluh Jari Kematian menyeka dulu mukanya yang keringatan baru menempelkan tepi
seloki ke bibirnya. Begitu seloki itu berada di bawah hidungnya, di antara keharuman bau tuak di
dalam seloki dia mencium bau lain yang aneh. Hati tokoh silat ini bercuriga dan sepasang matanya
memandang ke ujung meja dimana saat itu Dewi Siluman tengah mengangkat seloki tuak perlahan-
lahan ke bibirnya. Sepasang mata mereka berperang pandang.
Sepuluh Jari Kematian turunkan seloki yang dipegangnya.
"Ada apa, Sepuluh Jari Kematian?" tanya Dewi Siluman. Nada suaranya berubah lain.
"Dewi, aku tak dapat menerima kehormatanmu untuk minum bersama.Sebenarnya aku ada
urusan lain yang sangat penting. Aku minta diri, harap dimaafkan."
Tapi sebelum Sepuluh Jari Kematian berdiri, Dewi Siluman telah tegak lebih cepat. Kedua
bola matanya membesar dan menyorot.
"Sepuluh Jari Kematian!" sentaknya. "Kau anggap aku ini siapakah?! Ini adalah satu
penghinaan besar bagiku."
"Tak ada maksudku untuk menghina demikian, Dewi...."
"Kenapa tuak itu tidak kau minum? Pasti kau mempunyai pikiran yang bukan-bukan
terhadapku!"
Mulut Sepuluh Jari kematian terkunci rapat-rapat. Hatinya tergetar melihat pandangan yang
mengerikan dari sang Dewi.
"Dewi Siluman, kuharap kau tidak melupakan hubungan baik kita sebagai dua sahabat sejak
dulu," berkata pada akhirnya tokoh kawakan itu.
"Justru karena mengingat hubungan baik kitalah aku mengundangmu ke sini! Dan kini kau
menaruh prasangka yang bukan-bukan terhadapku. Menghinaku! Apa kau kira tuak harum itu
beracun hingga kau tidak bernyali meminumnya? Jawab!"
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala perlahan-lahan.
"Kalau tuak itu beracun, aku akan mati duluan!" ujar Dewi Siluman. Habis berkata begini,
gadis jelita ini teguk tuak dalam seloki sampai habis. Seloki emas dibantingkannya ke atas meja.
Dia berteriak dengan suara keras marah. "Apakah kau lihat aku mati saat ini karena minum tuak
itu?!"
Sepuluh Jari Kematian telan ludahnya. Perlahan-lahan seloki yang dipegangnya
ditempelkannya ke bibirnya kembali. Tiga kati teguk saja lenyaplah semua tuak di dalam seloki ke
dalam perutnya.
Dewi Siluman duduk kembali ke kursinya. Dia memandang dengan tersenyum aneh pada
Sepuluh Jari Kematian.
"Apakah tuak itu beracun?"
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala.
"Atau kau merasa ada kelainan di dirimu saat ini?"
Sepuluh Jari Kematian kembali gelengkan kepala meski saat itu sesungguhnya memang dia
merasakan ada satu kelainan yang tak dimengertinya.
Dewi Siluman tertawa mengekeh. Suara tertawa mengekeh yang sesungguhnya tak pantas
kalau keluar dari seorang gadis jelita macam dia. Dan suara kekehan ini bernada yang
mencurigakan bagi Sepuluh Jari Kematian. Hatinya mulai dirayapi kepastian bahwa Dewi Siluman
telah memasukkan racun jahat ke dalam minuman itu. Tapi yang mengherankannya Dewi Siluman
sendiri juga telah minum tuak itu, malah lebih dulu dari dia.
Dewi Siluman berpaling pada pengiring di samping kanannya dan berkata. "Tambahkan
tuak untuk tamu kita itu."
"Terima kasih Dewi. Kurasa satu seloki sudah cukup," jawab Sepuluh Jari Kematian. Saat
itu semakin terasa adanya kelainan dalam tubuhnya.
"Sepuluh Jari Kematian," berkata sang Dewi dengan nada mengandung ancaman.
"Pernahkah kau bercita-cita untuk merajai dunia persilatan?"
Sepuluh Jari Kematian memandang sebentar paras jelita di hadapannya. Setelah merenung
beberapa ketika lamanya lalu anggukkan kepala dan menjawab. "Memang pernah Dewi. Tapi itu bukan satu hal yang mudah. Di dunia ini penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti luar biasa. Kalau
sekarang aku belum dapat merajai dunia persilatan, tapi delapan penjuru angin telah mengetahui
siapa diriku. Dan itu merupakan hal lumayan."
"Tepat sekali ucapanmu bahwa untuk merajai dunia persilatan bukan satu hal yang mudah.
Tapi jika tahu caranya pasti dalam waktu yang singkat cita-cita itu bisa dilaksanakan!"
Sepuluh Jari Kematian berpikir-pikir, kira-kira apakah tujuan Dewi Siluman mengajaknya
bicara demikian. Dia juga memikirkan apa sebenarnya yang menjadi alasan gadis sakti itu tempo
hari mengundangnya untuk datang ke Pulau Madura. Dalam dia berpikir-pikir itu Dewi Siluman
berkata pula.
"Kau tentunya punya cara sendiri. Aku juga punya cara sendiri. Dan aku yakin caraku itu
akan lebih berhasil dari padamu."
Sang Dewi tertawa mengekeh.
"Ketahuilah Sepuluh Jari Kematian, mulai hari ini kau kuambil sebagai pembantuku dalam
melaksanakan cita-cita untuk merajai dunia persilatan...."
Sepuluh Jari Kematian kernyitkan kening.
"Pembantu macam manakah maksudmu, Dewi?" tanya tokoh silat ini.
"Kau harus tunduk padaku dan turut perintah!"
Berubahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Dia seorang tokoh silat terkenal dan ditakuti di
ujung timur Pulau Jawa kini disuruh tunduk dan ikut perintah. Benar-benar satu penghinaan besar
yang menusuk hati dan tiada memandang muka serta nama besarnya. Kalau saja bukan berhadapan
dengan Dewi Siluman, pastilah saat itu tokoh silat ini sudah melabrak gadis itu.
"Mungkin ini satu hal yang tidak enak bagimu," berkata lagi Dewi Siluman. "Tapi ini sudah
menjadi takdirmu, Sepuluh Jari Kematian! Kau musti tetap di sini bersama orang-orangku dan
menjalankan segala apa yang kuperintahkan! Kau dengar...?!"
Sepuluh Jari Kematian menggeram dalam hatinya.
"Terima kasih atas kepercayaanmu serta hormatmu padaku. Dewi Siluman. Namun kuharap
kau bisa maklum. Manusia macamku ini tidak suka terikat, ingin hidup bebas dan malang melintang
di delapan penjuru angin dunia persilatan. Kuharap kau tak usah gusar kalau aku terpaksa menolak
permintaanmu itu. Apalagi aku orang buruk yang sudah tua renta ini. Tak ada guna dan untungnya
mengambilku jadi pembantu...."
Dewi Siluman tertawa.
"Kau pandai sekali merendahkan diri," katanya. "Namun rupanya tak ada jalan lain bagimu.
Kau harus tetap di sini, dan jadi pembantuku. Tenagamu sangat kuperlukan!"
"Mohon maaf Dewi. Aku tak bisa menerimanya...."
Bola-bola mata Dewi Siluman menyorot.
"Kuharap kau tahu di mana kau berada saat ini, Sepuluh Jari Kematian!"
Ucapan ini benar-benar menandakan ancaman bagi Sepuluh Jari Kematian. Dan dia mulai
berpikir-pikir bahwa dalam waktu yang singkat akan terjadi perselisihan serta bentrokan antara dia
dan Dewi Siluman. Melihat kenyataan tadi bahwa Dewi Siluman memiliki tenaga dalam yang luar
biasa tingginya, Sepuluh Jari Kematian maklum bahwa bertempur dengan gadis itu sukar baginya
untuk menang, apalagi dia saat itu berada pula di sarangnya sang Dewi, di mana terdapat belasan
orang-orangnya Dewi Siluman yang berkepandaian tinggi yang kehebatan mereka telah
disaksikannya sendiri tadi.
"Kalau kau suka Dewi, aku bersedia carikan tokoh silat lain untukmu...."
"Aku bisa mencarinya sendiri!" sahut Dewi Siluman pula. "Yang kuperlukan sekarang
adalah kau!"
"Menyesal Dewi, aku...."
Kalimat Sepuluh Jari Kematian itu dipotong oleh ucapan keras Dewi Siluman seraya
menggebrak meja.
"Jadi kau berani membangkang terhadapku?!"
Sepuluh Jari Kematian coba tertawa. Jawabnya. "Sampai saat ini aku masih tetap mengingat
hubungan baik kita. Sebelum aku minta diri, aku ucapkan terima kasih atas jamuanmu ini. Di
samping itu kuharap pula kau suka membebaskan kawanku Sepasang Arit Hitam yang telah
ditawan oleh orang:-orangmu."
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya.
"Kau tetap berkeras kepala untuk menolak kemauanku?!'1
"Aku sama sekali tidak menolak, tapi belum bisa. Di lain hari mungkin baru aku bisa
memenuhi keinginanmu...."
Berubahlah paras Dewi Siluman. Perlahan-lahan dia berdiri dari kursinya. Mukanya
mengelam Senyumnya lebih tepat kalau dikatakan seringai bengis.
"Baik Sepuluh Jari Kematian, kau boleh pergi. Bahkan Sepasang Arit Hitam boleh kau bawa
serta. Tapi...." Dewi Siluman tak meneruskan kata-katanya. Dia memandang tepat-tepat pada tokoh
silat tua di hadapannya itu lalu pecahlah suara tertawanya di ruangan putih itu.
Sepuluh Jari Kematian merasa tak enak. Kemudian cepat-cepat dia membalik dan menuju ke
pintu. Sebelum pintu itu sempat dibukanya, di belakangnya didengarnya suara Dewi Siluman.
"Sebelum kau pergi masih ada satu hal yang rasanya perlu kuberitahukan, Sepuluh Jari
Kematian!"
Sambil memegang daun pintu, Sepuluh Jari Kematian palingkan kepala.
"Nyawamu cuma tinggal cuma satu minggu saja Sepuluh Jari Kematian!" Dan Dewi
Siluman tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
"Apa maksudmu?!" tanya Sepuluh Jari Kematian dengan muka membesi.
"Apakah kau tuli kalau kukatakan bahwa nyawamu tinggal cuma satu minggu lagi?! Lewat
satu minggu ususmu akan hancur, perutmu akan meloek dan seluruh isi perutmu akan berbusaian
akibat racun yang telah kau teguk bersama tuak tadi!"
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian.
"Tapi kau sendiri juga telah meminumnya" buka suara tokoh silat itu.
Dewi Siluman tertawa lagi. "Aku memang telah meminumnya. Tapi aku tak akan mampus
macam kau! Dalam seloki itu, pelayanku telah memasukkan sejenis bubuk yang mematikan racun
yang ada di dalam tuak!"
Maka marahlah Sepuluh Jari Kematian.
"Perempuan laknat!" teriaknya menggeledek. "Sebelum aku mampus, kau akan kubikin
minggat ke neraka lebih dulu!"
Dewi Siluman tertawa mengumandang.
"Tua bangka tak tahu diri! Kau andalkan apakah berani melawan kekuasaan Dewi
Siluman?!" bentak Dewi Siluman.
"Aku andalkan ini perempuan iblis!" sahut Sepuluh Jari Kematian. Dan serentak dengan itu
lima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka.