webnovel

Winona, Ibu Tiri Idaman, atau Janda Pujaan?

Atas nama kehormatan dan martabat, Winona terpaksa mengorbankan harga dirinya sebagai wanita! Ibu Tiri Winona memutuskan sepihak untuk menjodohkannya dengan putra kedua Keluarga Jusung. Lagipula, Winona bukanlah Monica si anak emas, Winona bisa dibuang dan dilupakan! Sialnya, Keluarga Jusung memiliki dua orang putra yang sama-sama bermasalah: sang kakak adalah ayah bagi anak yang tak jelas ibunya siapa, sang adik sakit keras yang membuatnya paranoid dan bengis. Winona tidak ada pilihan lain - akankah dia menjadi ibu tiri idaman bagi seorang anak tanpa ibu, atau justru menjadi istri seorang pria dingin yang umurnya sudah tidak lama lagi, dan menjadi Janda yang dipuja-puja para lelaki?

Engladion · วัยรุ่น
Not enough ratings
420 Chs

Dibebaskan dengan Jaminan

Malam itu, Winona mengira dia telah melukai perasaan Tito, tapi dia tidak tahu bagaimana cara meminta maaf padanya. Dia berguling-guling di tempat tidur sampai dia baru bisa tertidur larut malam.

Keesokan paginya, ketika Winona bangun, Tito sedang berdiri di halaman, mengutak-atik bunga dan tanaman. Dia melihat Winona pergi keluar, tapi dia hanya mengangguk. Dibandingkan dengan beberapa hari sebelumnya, sikapnya ini sedikit acuh tak acuh.

Winona menarik napas dalam-dalam. Setelah itu, dia memahami bahwa Tito benar-benar marah padanya. "Tito, selamat pagi." Winona tersenyum dan berjalan ke arahnya. Lalu, dia terkejut saat melihat ke bawah. "Bunga ini… di mana daunnya?"

"Oh, ini musim hujan, jadi daunnya hilang." Cakka berusaha mencari alasan. Tanaman itu jelas botak karena tangannya sendiri tadi malam.

Melihat sikap Tito, Winona sepertinya tidak mau tinggal terlalu lama di sana, jadi dia pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Pak Tono mengambil sangkar burung dan keluar pagi-pagi sekali. Ketika dia kembali, dia melihat meja makan dan tersenyum, "Apa ini adalah hari yang baik hingga kamu memasak makanan yang berlimpah?"

"Aku hanya ingin berbuat lebih banyak." Winona tersenyum sedih. Dia tidak dapat mengatakan bahwa itu untuk meminta maaf pada Tito.

Setelah makan, Winona dan Tito kembali ke halaman bersama. Winona berkata tanpa sadar, "Tito, maukah kamu pergi ke ruang kerjaku nanti? Matahari lebih cerah di sana."

"Apa aku tidak akan mengganggumu?" Suara Tito masih rendah dan lembut. Ekspresinya selalu dingin dan acuh tak acuh.

"Tidak apa-apa, datang saja ke sana."

Ketika Tito pergi ke ruang kerja, Winona sudah menyiapkan teh dan kue. Itu jelas untuk menyenangkan hati Tito. Sayangnya Tito hanya duduk di kursi dan mulai membaca. Dia tampaknya tidak berniat berbicara. Winona hanya bisa pergi ke mejanya sendiri dalam kesedihan.

Selain sesekali mendengar burung berkicau di depan, ruang kerja itu sangat sunyi.

"Apa yang kamu lakukan?" Tiba-tiba sebuah suara datang dari sampingnya. Winona kaget dan tangannya gemetar. Saat dia menoleh, entah kapan, Tito sudah berdiri di sampingnya. Dia sedang membungkuk, dagunya hampir menyentuh bahu Winona. Dia bisa merasakan napas lembut Tito.

"Menyesuaikan catnya." Winona menenangkan diri.

"Untuk apa ini?"

"Mewarnai bulu angsa." Winona menjelaskan. "Mula-mula kamu harus menggunakan kepingan emas dan perak sebagai alasnya, lalu menguraikan polanya dengan benang emas dan perak. Kemudian, kamu bisa menempelkan bulu angsa, tetapi mengambil bulu angsa yang masih hidup sangat kejam. Umumnya di zaman sekarang, mereka menggunakan bulu artifisial sebagai pengganti bulu angsa."

"Apa efeknya sama?" tanya Tito penasaran.

"Pasti ada perbedaan. Bulu angsa dapat menunjukkan warna yang berbeda pada sudut yang berbeda, tetapi bulu buatan pasti tidak akan bisa." Winona tersenyum.

Saat berbicara tentang pekerjaannya sendiri, Winona tampak berbinar. Jarak di antara mereka semakin dekat, seolah-olah mereka tidak menyadarinya. Baru setelah Winona merasakan napas hangat Tito yang menerpa wajahnya, dia berhenti berbicara dalam sekejap. "Sepertinya aku terlalu banyak bicara." Winona terbatuk.

"Tidak apa-apa, aku tidak mengerti ini, kebetulan aku mendapat pengetahuan darimu."

"Apakah kamu ingin mencoba ini?" Winona ingat bahwa dia perlu menyenangkan Tito. Melihat bahwa Tito tertarik pada apa yang dilakukannya, Winona secara alami mempersilakan dirinya mencoba.

"Aku belum pernah melakukannya." Tito ragu.

"Tidak apa-apa. Aku juga melakukannya untuk bersenang-senang. Cobalah." Winona bangkit dan membiarkan Tito duduk di kursinya.

Mewarnai bulu angsa adalah tugas yang sangat rumit, dan tidak dapat dimulai dengan mudah. ​​Winona ada di sisi Tito untuk membimbingnya. Tito memiliki tangan yang ceroboh. Tidak peduli seberapa hati-hati dia, dia tidak dapat menyelesaikan ini.

Winona melihat sekeliling untuk sementara waktu. "Jangan menekan tanganmu agar tetap stabil. Kamu masih bisa menyesuaikannya nanti." Dia akhirnya tidak bisa menahan diri untuk memberikan panduan pribadi. Tangan Winona sangat kecil sehingga dia tidak bisa menutupi tangan Tito sama sekali. Winona hanya memegang tangan Tito untuk membantunya stabil.

Saat menyentuh jari-jari Winona, ujung jari Tito terasa agak dingin. Rasanya seperti setetes air es yang jatuh ke dalam panci minyak panas, memercikkan cipratan air dalam sekejap. Itu membuat Tito gemetar.

"Sebenarnya, karena ini pertama kalinya kamu memulainya, ini sudah cukup bagus." Winona sepertinya tidak menyadari keanehan Tito, dan masih membimbing Tito dengan serius.

Tito menghela napas lega saat ponsel Winona berdering. Winona pun pergi untuk menjawab panggilan itu. Tito sangat pandai menangani berbagai hal. Dia dapat melihat bahwa sejak pagi, Winona telah menunjukkan hal-hal baik kepada Tito. Winona merasa bersalah padanya. Tito senang, tetapi dia tidak bisa terus melakukan ini. Tito memang mengambil inisiatif untuk mendekat pada Winona tadi, tetapi dia tidak mengharapkan ini. Dia tidak menyangka Winona akan membuatnya merasa tersiksa.

Winona menjawab telepon dengan punggung menghadap ke arah Tito. Tito meletakkan alat di tangannya dan menyeka dahi dengan punggung tangannya. Rasa dingin itu muncul saat Winona menyentuhnya. Sisa sentuhannya kini seolah membakar Tito.

Winona menjawab telepon kantor yang bertanya apakah dia ingin mengambil proyek drama itu. Segera setelah telepon ditutup, pintu ruang kerja diketuk. "Nona?" Suara Bu Maria.

"Masuklah." Ketika Bu Maria membuka pintu dan melihat Tito di sana, dia sedikit terkejut. Ini bukan hanya ruang kerja, tapi juga studio Winona. Ada berbagai macam pola yang tidak bisa dibiarkan sembarangan. Tidak ada yang diizinkan masuk ke sini.

"Apakah ada sesuatu?" tanya Winona.

"Itu…" Bu Maria terbatuk, "Nyonya dan Nona Monica ada di sini, di lobi."

Winona terkejut, dan mengangguk sebagai jawaban, "Aku akan segera ke sana."

Winona memiliki sedikit cat di tangannya, dan Tito juga meninggalkan ruang kerja untuk mencuci tangannya. Begitu dia keluar, dia melihat Ciko bersandar ke dinding. Ciko sedang menggoyangkan betisnya untuk berjemur di bawah sinar matahari. Tito sedikit mengernyit. Apa anak ini sedang berlibur?

Ciko juga melihat Tito dan langsung menyapanya, "Tuan, Nona Monica keluar dari kantor polisi satu jam yang lalu."

"Benarkah?"

"Dia dibebaskan karena masih harus dirawat di rumah sakit untuk perawatan medis. Dia dibebaskan dengan jaminan. Saya pikir dia akan dikurung selama beberapa hari, tapi ternyata tidak." Ciko tidak bisa memahami ini semua.

"Hanya dia yang dibebaskan dengan jaminan?"

"Ya."

Tito tiba-tiba tersenyum, "Lebih baik dikunci di dalam rumah."

"Apa maksudmu?"

"Dia pulang ke sini, dan Pak Tono tidak akan melepaskannya." Tito tidak terkejut dengan pembebasannya. "Mereka yang sudah ditangkap belum tahu siapa yang menelepon polisi, tapi mereka sendiri menderita karena dipukuli. Mereka berpikiran buruk, tapi mereka tidak berani menyelesaikan perkara dengan Winona. Menurutmu siapa yang akan bertanggung jawab?"

Winona? Ciko mengerutkan kening. Apakah bosnya dan Winona begitu dekat sekarang?

Tito melanjutkan, "Dan sekarang hanya dia yang dibebaskan. Menurutmu apakah orang-orang ini dan anggota keluarganya tidak tahu? Ketika mereka dibebaskan, Monica tidak akan memiliki kehidupan yang baik."

Ciko terbelalak, "Jadi malam itu, Monica tidak bergerak untuk menunggu ini?"

"Dia ada di sana tadi malam. Dia ingin Winona menjemputnya. Dia pasti berencana melakukan sesuatu yang buruk pada Winona." Tito berkata dengan santai. Ciko tidak menyangka Monica sangat tidak tahu malu.

Sedangkan, Monica sebenarnya tadi malam berada di kantor polisi sepanjang malam, dan dia sangat takut sehingga dia tidak tahu apakah ini nyata atau hanya mimpi buruk yang baru saja dimulai.