webnovel

06.

Devlin sedang mempelajari sebuah laporan kriminal yang baru masuk ke mejanya hari ini ketika ponselnya bergetar. Sambungan itu bukan telepon biasa, melainkan sebuah video call. Ditatapnya layar sentuh yang menampilkan sebuah nama yang sangat akrab dengannya dulu.

Spike?

Satu alisnya naik, diiringi seringai yang terbentuk otomatis, ketika membayangkan rekan lamanya yang tinggal di Jakarta. Tanpa perlu menunggu, jarinya segera menggeser lambang telepon, dan wajah Spike seketika muncul memenuhi layar.

"Halo Bro, what's up?"

"Spike! Oh my God, Man, Sudah berapa lama kita gak kontak? Tumben pakai video call, seperti orang pacaran aja," balas Devlin setelah sambungan di angkat.

Kemudian gelaknya semakin keras, ketika satu per satu wajah rekan lamanya di Jakarta bermunculan memenuhi layar. Saking senang, air mata sampai menggenang di kedua sudut mata Devlin.

Seringai miringnya mengembang ketika mempelajari wajah sahabatnya satu per satu. Hampir tidak ada yang berubah, sepertinya para istri telah melakukan tugas yang sangat baik dalam menjaga suami-suami mereka.

“Congratulation, ya, Bro! Pagi ini, aku langsung mengumpulkan anak-anak begitu namamu diumumkan di forum. Buset! Belum genap dua tahun, kau sudah jadi inspektur di Surabaya!" Spike berdecak kagum.

Devlin tertawa. Sebagai orang yang selalu menghindari publikasi, dia tidak menyangka berita pengangkatannya menjadi inspektur sampai ke telinga sahabatnya di Jakarta. Namun tidak ditampiknya perasaan senang yang mendalam. Karena pengumuman ini, dia dan rekan-rekannya jadi terhubung lagi.

“Terima kasih, Bro. Apa yang harus kukatakan? Beginner’s luck, mungkin.”

"Halah, basa-basi. Gimana rasanya jadi inspektur?" goda Bram, seringainya tak kalah lebar dari Spike.

"Rasanya ya? Hmmm ... selain berlebih dari segi finansial, aku juga merasa lebih gagah dan lebih ganteng dari kalian." Tawa mereka pecah diikuti sumpah serapah yang kasar sebagai latar. “Jadi, gimana keadaan Jakarta? Kudengar sedang tidak aman akhir-akhir ini.”

Satu per satu sahabatnya mulai bertukar kabar mengenai beberapa kasus yang terjadi dan sempat jadi headline di media. Mereka mengakui kondisi Jakarta yang belum kondusif pasca peledakan lalu. Prediksi mengatakan bahwa tinggal menunggu waktu, gelombang teror dari ibu kota akan merambat ke Surabaya, sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.

“Berhati-hatilah, Dev. Mereka mulai membuat jaringan kasat mata yang sangat berbahaya,” ujar Bram yang dijawab Devlin dengan anggukan.

Spike mengumumkan jika sedang mencalonkan diri menjadi inspektur untuk area Jakarta. Namun, persaingan ketat dari calon kepolisian lain se-provinsi dan proses yang panjang membuat kepercayaan dirinya turun.

"Jangan begitu, Spike. Aku pernah bekerja sama denganmu dan menurutku kau adalah salah satu yang terbaik. Kalau nanti mereka meminta rekomendasi dari Surabaya, aku akan meletakkan pilihanku padamu. No worries, Bro!" ujar Devlin memberi semangat.

Joe dan Tony memiliki kehidupan yang stabil, sehingga tak banyak yang bisa diceritakan. Di lain pihak, istri Bram sedang hamil anak ke tiga. Devlin tidak menyangka pasangan itu begitu subur, padahal terkhir mereka bertemu anak pertama Bram baru berumur beberapa bulan.

Devlin baru membuka mulutnya untuk berkomentar, tapi Bram buru-buru mengangkat tangannya dan segera memotong, "Maaf, tapi kau dilarang berkomentar, Bro. Kalau nanti kau sudah menikah, barulah komentarmu akan kuhargai.” Wajah Bram yang merah menyeringai padanya. Mendengar itu, Devlin tidak jadi merespon dengan kata-kata. Sambil tertawa, dia menggeleng dan berdecak.

Menatap wajah-wajah rekan lamanya, membuat Devlin terlempar kembali ke masa lalu. Masa di mana seluruh inderanya hidup hanya untuk seorang wanita. Dia tidak akan bisa lupa pada Jean yang selalu menjadi bagian dari masa lalunya—yang pahit dan manis.

Devlin sudah memberi kode halus untuk memancing rekan-rekannya bercerita mengenai Jean. Namun, sepertinya mereka terlalu senang sehingga tidak memahami isyarat yang dia berikan. Atau, jangan-jangan … mereka berusaha mengelak dari topik mengenai Jean? Jantungnya berdegup keras memikirkan apa yang mungkin terjadi dengan Jean.

Setelah menunggu beberapa saat, Devlin mulai gelisah ketika pembicaraan itu tidak kunjung mengarah pada Jean. Dengan terpaksa, dia memotong candaan yang tengah berlangsung. "Bagaimana kabar istri kalian?"

Riuh canda dalam layar, tiba-tiba berhenti, tergantikan oleh keheningan yang terasa ganjil.

"Apa maksudmu, Dev?" Kening Bram berkerut dalam seperti sprei kusut. "Kalau yang kau maksud istriku, akan kutonjok hidungmu."

Devlin mengangkat kedua tangannya di udara, pertanda damai.

"Bukan itu maksud Devlin, Bram." Spike dengan bijak menengahi. "Kau tidak perlu baper gitu. Devlin bukan tipe sepertimu yang ngomong to the point dan gak pakai pendahuluan."

"Yeah, Man. Devlin mungkin bermaksud menanyakan kabar Jean. Benar kan, Dev? Masa gitu aja gak tahu, Bram?" Joe menimpali sambil menonjok lengan Bram.

Wajah Bram lagi-lagi memerah dengan rasa malu karena telah menuduh sahabatnya yang bukan-bukan. Tangannya bergerak menggaruk kening yang tidak gatal sambil berkata, “Sorry, Bro.”

Keheningan yang janggal di seberang sambungan membuat Devlin curiga. Melalui layar sentuh, dia memperhatikan rekan-rekannya yang bergerak gelisah dan mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah terjadi?

Devlin menggigit pipi bagian dalamnya, kemudian memutuskan untuk mengemukakan pertanyaannya secara langsung. "Yeah, Bram, maksudku Jean. Sekadar ingin tahu, apa kabar dia? Maksudku, err … apakah dia sudah menikah lagi atau apalah. Kau mengerti?"

Setelah pertanyaan sesungguhnya dilontarkan Devlin, suasana bukannya mencair, malah menjadi lebih canggung. Dari layar sentuh, terlihat rekan-rekannya saling menatap penuh arti satu dan lainnya, seolah mereka sedang bermain dadu di seberang sana, di mana yang nilainya paling kecil harus bercerita.

Tony—rekan yang berasal dari suku Ambon—akhirnya membuka suara, "Dev, kau yakin gak tau apa-apa? Karena ... aku bingung bagaimana menyampaikannya padamu.” Ada jeda sebentar, ketika Tony menggaruk tengkuknya yang dapat dipastikan tidak gatal.

Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada kelanjutan dari Tony, Joe yang berdiri di sampingnya menghardik dengan tidak sabar. “Kalau ngomong tuh sampai tuntas, kenapa?”

“Kalau gitu kau saja yang bilang!” balas Tony galak.

Joe terkekeh malu. “Eh, hmmm … kau saja kalau gitu. Silakan dilanjut.”

“Sial!” kutuk Tony. Lelaki berkulit gelap itu berdeham sebelum melanjutkan, “Sebenarnya aku juga tahu ini dari Anindya … Jean tidak di Jakarta lagi. Kalau tidak salah, dua atau tiga minggu setelah pemakaman Mike, dia pergi."

Devlin mengerjapkan matanya, keningnya membuat kerutan yang dalam ketika mendengar informasi dari Tony. "Pergi? Pergi ke mana dia? Jean tidak punya keluarga di sini, selain bibinya di Tangerang. Apakah Anindya mengatakan ke mana? Mengapa kau tidak tanyakan secara detil pada Anindya mengenai Jean? Apa ada informasi lainnya mengenai Jean? "

Berondongan pertanyaan mengalir begitu saja dari otaknya dan meluncur keluar dari bibirnya dengan lancar. Dia tidak perduli jika pertanyaan terdengar janggal di telinga sahabatnya. Dia juga tidak peduli jika saat ini sahabatnya menatapnya dengan aneh melalui layar kecil. Yang ada dalam pikirannya hanyalah keselamatan Jean.

"Tunggu, Dev. Kalau kau yang hilang, aku akan mencarimu kemana pun. Tapi, Jean? Kalau aku mencarinya, nasibku akan lebih buruk dari Mike jika sampai istriku tahu. Jadi, aku tidak menanyakan lebih lanjut padanya,” ujar Tony membela diri.

“Yang kutahu, sebelum pergi, Jean hang out dengan istri-istri kita. Aku sempat menanyakan kemana dia pergi, tapi Debby tidak menjawab. Kabar terakhir yang kudapat, Jean sudah resign dari pekerjaannya. Jadi … kurasa, dia tidak berencana untuk kembali.” tambah Joe.

"Same here, Diana juga tutup mulut. " Spike menimpali sebelum melanjutkan, "Mungkin istri-istri kita harus membentuk intel wanita, ya, karena mereka sangat kompak." Spike terkekeh ketika kepalanya dijitak Tony dari belakang.

Setelah bercanda dan berbincang ringan, tiga puluh menit kemudian sambungan telepon selesai. Devlin merebahkan punggung ke kursinya yang bersandaran tinggi, pikirannya sibuk mereka-reka seribu satu kemungkinan di mana Jean berada.

Orang tua Jean sudah lama meninggal dan saudara kandungnya menetap di luar negeri. Wanita itu hanya memiliki seorang bibi, yang dulu sempat dihubunginya untuk mengabari mengenai kondisi Jean yang dirawat. Devlin cukup yakin Jean tidak akan pindah dan menetap dengan bibinya, karena wanita itu tidak pernah mau merepotkan siapa pun.

Devlin tidak pernah berpikir bahwa Jean akan pergi dari lingkungannya. Selain karena pekerjaan yang stabil, istri teman-teman Mike juga menjaganya seperti keluarga, paling tidak Jean aman bersama mereka. Namun, mengapa wanita itu tiba-tiba pergi? Kepergiannya yang misterius membuat Devlin semakin penasaran.

Oh Jean … di mana kau berada?

Dimajukan tubuh dan menenggelamkan wajah dalam telapak tangannya, Devlin bertanya-tanya, apakah dia memiliki kesempatan untuk bertemu Jean lagi?