webnovel

Apakah ini cinta?

Gadis berambut panjang yang selalu terikat rapi itu menutup wajahnya menggunakan nampan.

"Kenapa kamu, Rin?"

Nina teman satu shiftnya menegur, melihat gelagat temannya yang berbeda dari biasanya.

"Boleh pinjem muka, nggak? Asli aku malu banget."

Airin menggeleng, memasang ekspresi nelangsa.

"Kenapa, sih? Aneh banget. Kamu abis ngelakuin apa, emangnya?"

Keduanya tengah duduk di kursi yang disediakan untuk para pelayan di samping pantry.

Ryan yang sedang melayani pengunjung, sesekali menengok ke arah di mana Airin dan Nina berada. Penasaran dengan apa yang tengah mereka bicarakan.

Jam menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit, jam jam dimana para karyawan masih bisa duduk santai sambil meluruskan kaki, sebelum beberapa menit kemudian akan digeruduk tamu tamu yang mulai berdatangan. Ramai hingga tengah malam.

"Aku tadi ketemu cowok, aku ngomong nggak sopan sama dia, karena aku pikir dia tuh kayak cowok cowok lain yang suka ngemodusin. Tapi ternyata, dia itu..."

Airin enggan melanjutkan cerita, terlalu mengenaskan.

"Dia itu siapa? Ayo, dilanjutin, dong," seru Nina antusias.

"Dia itu tamunya pak Banyu! Aduh! Aku nggak tahu dia itu temennya atau mungkin saudara, atau, kolega. Aduh! Yang jelas, kalau cowok itu bilang yang enggak enggak sama Pak Banyu tentang aku, bisa kena masalah aku, Nin."

Bukannya simpati, Nina justru tertawa.

"Makanya, lain kali itu over pede mu dikurangi. Biar nggak bikin malu mulu."

"Ish, apaan sih, Nin. Aku tuh cuma nurutin apa kata Ibuk. Kalau kita, harus hati hati dan waspada sama makhluk yang namanya cowok. Apalagi di Ibukota yang bebas ini, cowok cewek nggak punya batasan. Huh, harus ektra jaga diri."

"Ya iya, paham. Tapi ya, nggak harus curiga sama semua orang, kan? Nggak semua cowok itu brengsek, tahu."

Airin hendak menanggapi, namun lonceng yang bertengger di atas pintu berbunyi, tanda seseorang baru saja membukanya.

"Ada tamu. Aku pergi dulu, ya. Sebelum Pak Banyu liat aku males malesan, nanti malah tambah buruk citra aku di depan dia."

Sambil berjalan menuju meja yang baru saja diisi tamu, Airin mencoba menata hati.

Hari ini akan berjalan seperti biasanya. Semoga.

***

"Kamu yakin mau masuk ke dalam kehidupan Airin?"

Banyu memerhatikan salah satu karyawannya yang sedang melayani tamu dari balik pintu kaca ruang kerjanya.

Sementara Devan masih duduk santai, menyeruput kopi nikmat yang masih mengepulkan asap.

"Sudah lama aku menantikan momen ini. Dan sekarang, setelah semuanya sudah di depan mata, aku nggak mungkin bisa melepasnya begitu saja."

"Tapi dendam tidak akan mengobati sakit hatimu, Van. Orang tua Airin mungkin telah salah karena telah membuang mu, menyerahkan mu pada orang lain. Tapi Airin sama sekali nggak bersalah atas takdir yang menimpamu. Apakah adil, jika dia yang harus menanggung rasa sakit atas kesalahan yang nggak pernah dia perbuat?"

Devan beranjak dari kursinya, menghampiri sang sahabat.

"Terima kasih karena kamu udah bantu aku kasih akses buat kenal Airin, Nyu. Tapi cukup sampai di sini kamu nggak perlu ikut campur lagi. Masalah dendamku dengan keluarga Airin, itu biar jadi urusanku. Aku nggak perlu saran dari kamu lagi."

Setelah mengatakan itu, Devan pergi meninggalkan Banyu yang masih terpaku.

Seketika rasa iba menyentuh sanubari nya. Apakah adil, bagi Airin jika dia harus menanggung rasa sakit untuk sesuatu yang dia sendiri tak pernah tahu?

Sejak saat itu, entah untuk alasan apa Banyu bertekad untuk menjaga dan melindungi Airin dari dendam sahabatnya sendiri.

Sementara di luar, Devan menabrak gadis itu. Membuatnya menjatuhkan ponsel yang ada dalam genggaman.

"Aduh! Gimana sih, mbak? Kok nggak hati hati gini sih, jalannya!" sentak Devan, marah.

"Maaf, Pak. Saya nggak sengaja." Airin hanya bisa tertunduk. Sudah jelas yang memarahinya adalah lelaki yang tadi dia permalukan ketika di halaman depan.

Sayangnya hatinya tidak cukup kuat untuk menahan malu, di bentak di tengah orang ramai bukan sesuatu yang bisa dia terima dengan lapang dada.

"Lain kali, jalan pakai mata!"

"Iya, Pak. Maaf, salah ku."

"Kenapa nunduk? Bukannya tadi kamu pede banget menatap ke arah saya?" Sekali lagi Devan mempermalukan Airin. Membuat genangan yang sedari tadi berusaha ia tahan, akhirnya meleleh juga.

"Saya nggak mau tahu, ya. Kamu ganti ponsel saya yang jatuh dan rusak itu dengan yang baru!"

Devan mengacungkan telunjuknya tepat di depan muka Airin.

Membuat keduanya saling beradu pandang untuk beberapa detik.

Jika bukan dalam kondisi seperti ini, Airin mungkin akan gagal fokus dengan ke elokan paras Devan yang begitu menawan. Rahangnya keras, ditambah alis tebal yang mempertegas keindahan yang coba Tuhan tuangkan pada sesosok manusia bernama Devan.

Seperti yang Nina rasakan, gadis itu justru mengagumi sosok yang membentak teman kerjanya sendiri.

Banyu yang tidak tahan melihat tatapan penuh kebencian dari Devan pada Airin, akhirnya keluar. Melerai keduanya.

"Karyawan saya tidak sengaja. Mohon dimaklumi. Saya akan mengganti ponsel anda yang rusak."

Banyu tahu Devan sengaja melakukan itu, untuk mempermalukan Airin di depan umum.

Itulah kenapa akhirnya dia memutuskan untuk membantu Airin. Kasihan gadis itu, cuma bisa menunduk menahan malu.

"Kamu nggak perlu ikut campur! Urusanku sama dia. Jadi, tolong, berhenti jadi sok pahlawan di sini. Aku akan kembali untuk meminta ganti rugi."

Kemudian lelaki angkuh itu beranjak pergi, namun kembali membalikkan badan dan berucap, "Jangan coba-coba kabur dariku, atau kamu akan menyesal!" Ancaman itu terdengar tak main-main.

Banyu segera menarik lengan Airin menuju ruangannya selepas kepergian Devan.

Diserahkannya ke arah Airin, selembar tisu.

"Hapus air matamu. Aku benci melihat perempuan menangis."

Bukannya berhenti, tangis Airin justru semakin pecah.

"Eh, berhenti, dong! Kok malah kenceng sih, nangisnya?"

"Aku malu, Pak," aku Airin disela tangisannya.

"Udah nggak apa-apa. Saya tahu kok kamu nggak sengaja. Lupain aja." Banyu berusaha menenangkan.

"Maaf ya, Pak. Aku udah buat tamu Bapak kesal."

"Nggak apa-apa. Devan memang begitu orangnya. Agak emosional, harap dimaklumi, ya. Nggak perlu dimasukin ke hati."

Airin mengangguk.

Kemudian menatap sosok boss di hadapannya.

Banyu benar benar tipe lelaki idaman. Perangainya begitu lembut pada wanita.

Seketika wajah Airin memerah, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya saat matanya beradu pandang dengan Banyu.

Apakah ini yang namanya cinta?