Kedua tangan mereka berdua mengepal, berdiri tegak seolah siap beradu. Sorot mata tajam pun saling tercurah satu sama lain, menandakan bahwa masing-masing beranggap memenangkan pertarungan ini yang sebenarnya hal itu semata-mata adalah ego mereka.
Tony berencana untuk mencuri langkah dari Damian, menyerangnya terlebih dahulu. Namun dering handphone di sakunya berhasil menghalangi niat tersebut.
"Sial, siapa sih yang menelponku?! Mengganggu saja!" batin Tony mengumpat.
Perlahan Tony mengambil handphone itu dari sakunya sembari mengacungkan telunjuk di hadapan Damian sebagai isyarat "tunggu sebentar".
"Halo?"
"Tony, dimana kau sekarang?" tanya Vanesha dalam telepon.
"Jangan sekarang, Vanesha." jawab Tony yang masih tajam menatap Damian.
"Serius, Tony! Dimana kalian berdua?!" tanya Vanesha sekali lagi dengan tegas.
"Itu pertanyaanmu? Atau pertanyaan orang tuaku?"
"Tony, please, kita semua mekhawatirkan kalian, pulanglah, Tony. Sekarang katakan dimana kalian? Biar aku yang menjemput kalian."
"Tidak perlu repot-repot, disini sudah ada pria brengsek yang berniat menjemputku, tapi terpaksa aku harus menolaknya dengan cara kasar." ujar Tony yang sengaja membuat Damian terancam.
"Tony, dengarkan aku, jangan lakukan hal bodoh. Sekarang pulanglah, biar aku yang membantu menjelaskan pada orang tuamu soal Anastasia,"
Balas Vanesha dengan suaranya yang terdengar gemetar seolah ketakutan, karena ia lah yang lebih mengenal Tony dari siapapun termasuk kedua orang tuanya. Siapapun yang mengganggu atau menghalangi jalannya maka terpaksa kekerasan fisik yang harus ia lakukan. Tergantung siapa dulu yang memicunya.
Tony tak menghiraukan kekhawatiran Vanesha terhadapnya, ia masih tetap mematung dengan pandangan mata yang masih saja tertuju pada lawannya, si Damian.
"Tony!" seru Vanesha yang awalnya Tony mengira sudah menutup teleponnya.
"Tolong kali ini saja dengarkan aku, demi Anastasia," lanjut Vanesha.
"Tony? Siapa orang itu?" tanya Anastasia yang datang dari belakangnya.
Lalu ia merasa tidak nyaman dengan suasana mereka yang terlihat seperti telah melewati pertarungan sengit meskipun sebenarnya masih belum terjadi.
"Aku akan menghubungimu lagi, Vanesha." lalu menutup teleponnya.
"Tony? Ada apa sebenarnya?" tanya Anastasia mulai ketakutan, lalu menggenggam erat tangan Tony yang tengah dingin mengepal itu.
"Tunggulah di kamarmu, nanti aku akan menyusulmu, Ana." jawab Tony datar.
Anastasia menggelengkan kepala sebagai jawabannya.
"Ada anak kecil yang harus istirahat. Lagipula ini sudah hampir larut malam. Kau masih ingin bersikeras, Damian?!" gertak Tony.
"Saya disini hanya melakukan pekerjaan saya, Tuan." jawab Damian.
"Saya mohon, Tuan, jangan membuat hal ini semakin sulit." tegasnya, namun masih saja ia ucapkan dengan nada datar.
Sementara Anastasia hanya bisa bersembunyi di belakang Tony dari suasana mencekam yang mereka ciptakan.
***
Akhirnya, Tony pun terpaksa untuk mengalah. Ia mengikuti semua saran terbaik dari Vanesha. Ia kembali pulang bersama Anastasia dengan mobilnya. Sementara Damian mengikuti mereka dari belakang, untuk memastikan agar tetap dalam pandangannya sampai ke tujuan.
Sesampai di rumah, Vanesha segera membujuk dan membawa Anastasia ke kamar sejenak selagi Tony berbicara serius dengan kedua orang tuanya yang akhirnya menghembuskan nafas lega atas kembalinya Tony.
Namun suasana cerah itu hanya sesaat, seketika berubah menjadi kelabu setelah semuanya duduk di sofa ruang keluarga.
"Baiklah, ayo kita bicara." Sahut Tony seolah menggugah mereka semua yang saling diam dan saling tatap.
"Baik, Tony. Sebelumnya maafkan aku. Jika ada kata-kataku yang meyinggungmu. Aku tahu, kematian Cassie itu bukan kesalahanmu, tapi kesalahan ayah dan ibu, yang tidak pernah ada waktu untuk kalian hingga saat ini." Jelas Oliver.
"Tapi, teruntuk anak itu, Aku mohon maaf. Aku tidak bisa menerima anak itu dalam keluarga ini." Lanjut Oliver yang membuat Tony sangat terpukul dan mendengus kesal.
Kemudian Thea mencoba untuk menenangkan putra tercintanya itu.
"Tony, percayalah pada kami, ini adalah jalan terbaik untuknya. Kita akan bawa Anastasia ke panti asuhan..."
"Tidak! Aku tidak setuju jika Anastasia dibawa kesana!" tiba-tiba saja Tony memotong kalimat sang ibunda.
Namun kali ini wajahnya tidak lagi menakutkan seperti sebelumnya saat berhadapan dengan Damian, tampak sedih meski ia mencoba menegaskannya. Linang air mata yang jelas terlihat tersembunyi di belakang kelopak matanya.
Ratapan kesedihan Tony itu kemudian tertuju pada ayahnya yang tampak sangat serius dengan perkataannya itu.
"Ayah, aku mohon, jangan bawa dia kesana,"
"Tenanglah, Tony, anak itu akan kami bawa ke panti asuhan terbaik di kota ini, kau tidak oerlu mengkhawatirkannya lagi."
Tony sampai bersujud di hadapan ayahnya semata-mata agar sang ayah dapat merubah keputusan itu. Tapi nyatanya tidak, keputusan itu sudah mutlak tak terbantahkan.
"Dia bukan darah daging dari keluarga ini, Tony. Sadarlah akan hal itu!" gertak Oliver.
"Ayah, aku mohon, jangan lakukan ini padanya, kasihan dia," Tony masih memeluk kaki Oliver dengan linang air mata yang sudah tak sanggup ia tahan lagi dari bendungan kelopak matanya.
"Tony, sudahlah nak," mencoba memisahkan cengkeraman tangannya dari kaki Oliver.
"Bu, tolonglah, bantu aku. Jangan lakukan ini padanya, aku sanggup merawatnya, bu, aku sanggup merawatnya," ujar Tony tetap memaksa dan tak bisa menerimanya.
"Aku akan memberimu dua pilihan. Bawa Anastasia ke panti asuhan lalu segera menikahlah dengan Vanesha. Atau, kau merawat anak itu, namun kau harus keluar dari silsilah keluarga ini." tegas Oliver.
"Karena hanya kau, Tony. Hanya kau lah yang kami punya sekarang. Hanya kau yang akan melanjutkan perusahaan ayah nantinya." lanjut Oliver.
Perlahan Tony memandang ke arah Oliver dengan sangat kecewa.
"Oh, jadi-ini hanya masalah perusahaan? Benar begitu?" perlahan menghampirinya dengan tangan mengepal.
"Cukup, Tony!" Sela Vanesha yang keluar dari kamar Anastasia.
Ia menghampiri Tony untuk melerai pertikaian antara dia dan ayahnya.
"Aku sudah bicara pada Anastasia."
"Bicara apa, Vanesha?" tanya Tony dengan suaranya yang berat.
"Tony?" perlahan Anastasia juga menghampirinya.
"Ana," kedua mata yang berkaca-kaca itu kini berbinar saat melihatnya, kemudian Tony menyamakan tingginya dengan Anastasia.
"Tidak apa-apa, Tony. Aku akan baik-baik saja." membenamkan tubuh kecilnya itu ke dada Tony.
"Ada apa, Ana? Apa yang kau bicarakan?" tanya Tony dengan perasaan gugup.
Perlahan nan lembut gadis kecil itu mengusap kedua pipi Tony. Sementara Tony tahu ia mencoba menahan rasa sedihnya yang sama sekali tidak ia ketahui.
"Biarkan Ayah dan Ibu Tony membawaku kesana, aku akan baik-baik saja..."
"Tidak, tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kau tetap bersamaku disini, aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Ungkap Tony yang masih tidak terima kenyataan.
Air mata gadis kecil itu mulai menetes, namun raut wajahnya masih terlihat kuat. Tony memeluknya dengan erat karena tak tega melihatnya seperti itu.
"Aku mohon, jangan pisahkan kami." bisik Tony seolah menahan semua kepedihan itu.
"Aku mohon," Tony kembali menatap Ibu dan Ayahnya mengharapkan rasa iba padanya.
Sementara Vanesha tak kuasa melihat momen terpedih yang di alami oleh calon suaminya itu. Rupanya ia tidak bisa membantu Tony menghadapi sikap keras kepala dari kedua orang tua Tony itu. Mau tidak mau ia harus menuruti segala perintah mereka seperti Tony sendiri.
Tony masih tetap memeluk erat tubuh Anastasia. Meski ia tahu, gadis kesayangannya itu akan terlepas dari pelukannya karena ultimatum dari pihak orang tua yang tak terbantahkan itu.