webnovel

12. David Klingston

Suara senjata api terdengar memekikan telinga mereka. "Sial, beraninya dia menggunakan senjata api." Sarkas Erick yang sedang bersembunyi di balik pohon. Untung saja Erick cepat menyadari pergerakan musuhnya sebelum muntahan pistol itu mengenai tubuhnya, kalau tidak pasti saat ini dia sudah tergeletak karena hujaman peluru tersebut. Sejenak Erick berfikir, apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia mengedarkan pandangannya ke arah sekitar, mungkin saja ada yang bisa ia gunakan untuk melawan mereka kemudian ekor matanya tanpa sengaja menemukan pisau lipat yang sempat di gunakan oleh mereka untuk melawannya tadi. Kakinya bergerak dengan perlahan menyeret pisau itu agar lebih dekat dengan dirinya. 

Siizsh, di sepersekian detik Erick melemparkan pisau tersebut dengan cepat sebelum pria tersebut memiliki kesempatan untuk menembak lagi. Jleeb, pisau itu tepat menancap di tangan pria besar yang sedang menodongkan pistol ke arahnya.

"Aaarrgh." Pria itu mengerang dan melepaskan pintol yang berada di tangannya saat pisau itu menancap di sana. Pria itu merintih dan bersimpuh memengangi tangannya yang tertancap pisau dan berlumuran darah. 

"Boss." Ketiga pria yang tadi menyerang Erick, berlari menghampiri ketua mereka yang terluka. 

Sementara para musuhnya tengah sibuk mengurusi ketua mereka yang terluka, Erick melirik pistol yang tergeletak begitu saja di tanah. Dia tidak membuang-buang waktu, dia segera berlari dan berguling untuk menyambar pistol tersebut.

Klek, "Pilihan kalian hanya dua." Erick menodongkan pistol tersebut ke arah mereka, lebih tepatnya ke arah bos mereka yang tengah terluka. "Menyerah lalu melepaskan laki-laki itu atau kalian mati detik ini juga." Dia menunjuk pria bertubuh kurus itu dengan dagunya, entah sejak kapan tapi pria itu kini tengah pingsan dan tergeletak di tanah. 

"Cih, itu tidak akan pernah terjadi." Pria itu berdecih, meski dia sudah berlumuran darah namun pria itu masih terlihat sangat angkuh dan tidak mau menyerah.

"Aaarrrgh." Pria itu kembali histeris saat Erick menginjak pisau yang masih menacap di tangannya hingga kini pisau itu menancap lebih dalam lagi. 

"Sepertinya kau tidak menyayangi tanganmu ini.." Erick tersenyum melihat cucuran darah mengalir dari tangan pria tersebut. Entah kenapa dia memiliki kepuasan tersendiri saat kekesalannya berhasil ia lampiaskan kepada mereka. 

 

"Bos, sebaiknya kita lepaskan saja bocah tengik itu. Yang terpenting sekarang adalah keselamatanmu bos." ucap salah satu anak buahnya.  

"Aaarggh." Erick kembali menginjak pisau itu hingga kini hanya terlihat gagangnya saja. 

"Baiklah baiklah untuk kali ini kami akan melepaskan bocah tengik itu. Tapi ingat, suatu saat nanti kami akan kembali untuk merebutnya kembali." Sarkas salah satu anak buah pria itu. Mereka bergegas menopang tubuh bosnya yang sudah tidak sadarkan diri lalu pergi dari sana.

"Tentu, aku akan menunggu hingga hari itu tiba." Erick tersenyum devil pada mareka lalu bejalan mendekati pria kurus yang sedang tak sadarkan diri itu. Dia membopongnya dan membawanya masuk kedalam mobilnya. "Menyusahkan." gerutunya, saat dia kesusahan memasukkan tubuh pemuda itu kedalam mobil. 

 

**

Semburat jingga kini memancarkan sinarnya memenuhi ke segala arah, termasuk mobil Erick yang sedang melaju membelah jalanan yang terlihat mulai senggang. Setelah 1 jam perjalanan kini dia sudah sampai di sebuah manson mewah yang baru saja dia beli beberapa minggu yang lalu. 

Tin. Tin.

Erick membunyikan klakson mobilnya. Seorang pengawal memeriksa cctv untuk memastikan siapa yang datang dan beberapa saat kemudian pintu gerbang berukuran raksasa itu terbuka, tentu saja itu karena seorang pengawal yang menekan tombol otomatis yang mengendalikan pintu gerbang tersebut.

Keempat orang yang bertugas untuk menjaga gerbang kemudian membungkukkan badannya sesaat mobil Erick memasuki pelataran mansion. "Selamat datang Tuan." Ucap mereka pada Erick secara bersamaan, memberikan hormat kepada Tuannya.

"Apa Joe disini?" Tanyanya kepada keempat orang anak buahnya.

"Tuan Joe sedang menunggu anda di dalam tuan." tanpa bergerak dari posisinya keempat anak buahnya menjawab dengan posisi badan masih membungkuk. 

Erick yang mendengar hal itu tanpa bertanya lagi, ia langsung melajukan mobilnya memasuki pelataran manson mewahnya. Ya, setelah Erick berhasil membeli mansion ini, Joe segera melengkapi isi mansion ini agar bisa segera di tempati, bahkan Joe juga mempekerjakan beberapa pengawal serta pelayan dan tentu saja hal itu atas permintaan Erick.

"Kau datang Er." Joe memberi hormat seperti keempat anak buahnya yang berjaga di pintu gerbang. 

"Cih, kau terlalu formal padaku." Ketus Erick. Meski status Joe di sini sebagai bawahannya, namun Erick melarangnya untuk bersikap terlalu formal padanya. 

"Bawa dia masuk." Perintahnya lagi dengan menunjuk seseorang yang sedang tak sadarkan diri di dalam mobilnya dengan ekor matanya. 

"Siapa dia Er?" Joe terkejut saat mendapati seorang pria muda yang bertubuh kurus, tergeletak tak sadarkan diri di dalam mobil Erick, terlebih lagi kondisinya saat ini yang terlihat sangat memprihatinkan. 

Erick enggan menjawab dan hanya mengidikkan bahu. Sebenarnya bukan enggan, lebih tepatnya Erick juga tidak tahu siapa pria itu.

"Aah, kenapa pria ini berat sekali. Sepertinya dia terlalu banyak mengemban dosa."Joe menggerutu saat dia juga kesusahan memapah pria itu. Bugh, Joe melemparkan pria kurus itu dengan keras ke atas sofa, hingga pria muda itu terkejut dan tersadar dari pingsannya. 

" Aash.." Pria itu meringis dan memegangi kepalanya yang terasa berat. "si-siapa kamu?" Tanyanya ketakutan, dia mengira Joe adalah salah satu komplotan pria besar yang menyerangnya tadi. 

"Kau sudah sadar." Dengan santai Erick mendudukan bokongnya di sofa bersebelahan denganya.

"T-tuan. Apa kau yang menolongku?" Wajahnya berbinar saat melihat pria yang hampir saja menabraknya. 

"Baguslah, jika kau sudah ingat jadi kau bisa segera pergi dari tempat ini." Sarkas Erick dingin. 

"T-tidak. Aku tidak mau pergi dari sini. Bolehkah aku tinggal di sini Tuan? Mereka pasti akan menangkapku lagi tuan. Mungkin aku bisa bekerja untukmu Tuan. Aku akan melakukan apa saja yang Tuan perintahkan." Ucapnya memohon, dia bahkan mencoba merayu dengan wajah yang dipasang sesedih mungkin. 

"Tidak. Aku tidak mau mempekerjakan pria lemah sepertimu." Ucap Erick degan wajah datarnya. 

"T-tapi jika kau melatihku, aku pasti bisa menjadi pria kuat sepertimu tuan." Imbuhnya lagi kepada Erick. 

"Ck, kau pikir aku punya banyak waktu untuk melatihmu!" Erick menatap tajam ke arah pria itu. 

"Aku mohon tuan, ijinkan aku bekerja denganmu." Pria kurus itu bangun dari duduknya dan bersimpuh di hadapan Erick. "Aku mohon tuan, aku tidak ingin mereka menangkapku lagi."

"Memang apa yang kau lakukan. Kenapa mereka ingin sekali menangkapmu?" Erick mengrutkan keningnya menatap pria itu. 

"Aku tidak sengaja merusak milik mereka." jawabnya sambil terkekeh. 

"Memang apa yg kau rusak?" 

"Aku hanya sedikit merusak sistem pertahanan komputer mereka saja dan menjual data mereka pada orang lain." ucapnya bangga. 

"Kau bisa meretas?" Kini Erick merubah posisi duduknya, dia mendadak menjadi antusias akan pria yang tak dikenalnya ini. 

"Hmmm, tuan bisa memakai otakku dan aku bisa tinggal dan berlindung disini. " Serunya dengan penuh percaya diri. 

"Ck, memang siapa yang mengijinkanmu tiggal disini." Erick beranjak dari duduknya dan meninggalkan pria itu yang masih dalam keadaan bersimpuh dan hal itu membuat pria bertubuh kurus itu tertunduk sedih. 

"Tak bisakah tuan memberiku kesempatan satu kali saja, aku juga siap untuk mempertaruhkan nyawaku untuk tuan." Serunya lirih.

 

Erick menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah pria itu. "Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi saja kehadapan mereka untuk mengantar nyawamu." Hardiknya.

"Tidak. Mereka bahkan tidak mengangapku sebagai manusia. Dalam hidupku tidak pernah ada sekalipun orang yang peduli denganku, mereka hanya menerimaku jika mereka butuh dan akan kembali membuangku saat aku sudah tidak dibutuhkan. Hanya tuan, hanya tuan orang pertama yang peduli kepadaku bahkan tuan rela membahayakan nyawa tuan untuk molongku, jadi sejak saat ini suka tidak suka, aku sudah memutuskan untuk mengabdikan seluruh hidupku pada tuan." 

"Kemana keluargamu?" Selidik Erick. 

"Aku sebatang kara tuan." Kini wajahnya semakin tertunduk mengingat keluarganya yang tak pernah ia kenal. 

"Joe, siapkan kamar untuknya. Satu lagi, aku bukan tuanmu. Jadi berhenti memanggilku tuan! Ah ya, siapa namamu?" ucap Erick

"Namaku David, David klingston. kau bisa memanggilku David bos! Bos, boleh aku memanggilmu begitu, sudah lama aku ingin sekali memiliki seorang bos." Tanya David dengan begitu antusias. 

Pria ini, aku melarangnya memanggilku tuan tapi sekarang malah ingin memanggilku bos, batinya. "Terserah kau saja." Erick memutar malas kedua bola matanya. 

"Tenang saja bos, kau tidak perlu menggajiku. Cukup kau memberiku makan dan mengijinkanku tinggal di sini itu sedah cukup." Teriak David saat Erick sudah menjauh dari hadapannya dan Erick memilih untuk tidak menggubrisnya, dia hanya menggelengkan kepalanya saja.

"Hei, berhenti berteriak! Di sini bukan hutan." Sarkas Joe menatap tajam David. 

"Hihihi, maaf bos sepertinya aku terlalu bersemangat." Cicit David sambil terkekeh. 

"Aku bukan bosmu." Sarkas Joe dingin meninggalkan David di ruang tamu.

"Tapi aku suka memanggil kalian bos." David berlari mengimbangi langkah Joe meski dengan langkah kaki yang pincang karena siksaan tadi. "Kau tahu bos, kau tak kalah dingin dengan bos besar." Cicitnya lagi. 

"Bos besar?" Joe mengerutkan keningnya, siapa bos besar itu menurutnya. 

"Tentu saja dia adalah bos besar, bos dari segala bos dan aku akan mempertaruhkan seluruh hidupku untuknya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku ada orang yang menganggapku sebagai seorang manusia, apalagi dia sudah menyelamatkan hidupku dari para pria jahat itu." Kelakar David dengan mata yang berbinar. 

"Dia memang seperti itu. Kau tidak harus mengorbankan hidupmu untuknya, cukup kau tidak menghkianatinya saja itu sudah cukup karena dia sangat benci pengkhianatan." Ucap Joe menepuk pelan bahu David. "Istirahatlah.." Titahnya lagi sesaat setelah ia sampai di sebuah kamar yang betukuran cukup besar.