webnovel

Psycho?

Sang surya mulai menampakkan dirinya secara perlahan, kehangatan perlahan menyeruak menyapa bumi yang telah larut dalam dinginnya pekat angin sang malam.

Sayup-sayup semilir udara pagi menyelinap masuk lewat celah-celah kecil jendela. Membangunkan Caca perlahan bersama merdunya kicauan burung di pohon mangga yang berdiri kokoh tak jauh dari jendela kamar Caca.

"Hooaammm ...." Caca yang baru saja bangun, memposisikan dirinya untuk duduk dan melakukan sedikit gerakan peregangan tubuh.

Kretek, kretek!

Seperti itulah kiranya bunyi beberapa tulang Caca saat melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya sudah melakukan protes dengan menunjukkan gejala demam dan lelah. Namun, Caca mengacuhkannya.

Setelah kedua matanya terbuka lebar, dan otaknya telah kembali pada tempatnya. Caca perlahan turun dari ranjang kayu yang berukuran 120x100 itu.

Pandangan Caca mengedar, mencari keberadaan ibunya. "Bu?" seru Caca untuk mengecek keberadaan ibunya ada di ruangan mana. Tapi hingga beberapa detik berikutnya tak ada sahutan yang terdengar.

"Hm ...." Caca menghela napas dengan kasar. "Pasti ibu ga pulang lagi malam tadi," gumam Caca yang sudah hapal dengan kelakuan ibunya jika hutangnya sudah lunas. Berfoya-foya di club malam, menyewa berondong tampan untuk bermalam dengannya hingga pagi. Nanti setelah hutangnya menumpuk, baru Suci akan memaksa dirinya untuk melunasi hutang-hutangnya.

Caca segera mandi dan mempersiapkan dirinya dengan baik. Hari ini adalah hari pertama ia memulai sebuah perjanjian dengan seseorang. Entah nanti ia harus bekerja dulu di kantor seperti biasa, atau akan langsung bertugas menjadi wanita keduanya. Caca hanya bisa pasrah. Ingin rasanya Caca mengumpat dengan ketidakadilan ini, uang 500 juta itu bahkan ia tak menggunakan untuk dirinya sendiri sepeserpun. Tapi jika Caca kembali teringat dengan Suci, satu-satunya keluarga yang ia punya di dunia ini. Rasa belas kasih itu meluber begitu saja.

Perkiraan Caca ternyata benar, selang beberapa menit dari ia membereskan pakaian-pakaiannya. Suara mobil berhenti di depan rumahnya, dari balik tirai Caca mengintip untuk memastikan. Dan benar saja, mobil yang baru saja parkir dengan warna sangat mengkilat itu milik bosnya.

Caca bergegas mengambil tasnya dan berjalan kedepan menghampiri mobil. Hal itu Caca lakukan untuk mempersingkat waktu di rumah ini, sebelum nantinya Suci datang dan akan mempertanyakan perihal kepergiannya ini itu yang tentu saja tak akan bisa ia jawab dengan sebuah kejujuran.

"Nona Caca sudah siap?" tanya Dika yang baru saja keluar dari mobil. Sosok Dika sebenarnya cukup dibilang tampan. Namun, jika dibandingkan dengan Bosnya. Sudah pasti bos angkuh dan resek itu jauh lebih tampan.

"Sudah, pak Dika. Mmm ... sekretaris Dika."

"Panggil saya Dika aja Nona. Biar lebih simpel."

"Baiklah, Dika. Kak Dika."

"Terserah Nona sajalah."

20 menit berlalu, Caca baru paham. Jika perjalanan yang ia tempuh bukan menuju ke kantor.

"Loh, kita berarti ga ke kantor ini?"

"Ya kali nona ke kantor bawa baju satu tas? Kita menuju mansion tuan Sky, nona Caca."

"Ma—mansion?"

"Iya, tenang saja. Tempatnya bagus kok, saya jamin anda akan betah tinggal di sana."

Caca hanya diam tak berani menanggapi, ia tak ingin berekspektasi terlalu jauh untuk hidupnya.

Sepuluh menit berlalu dari berakhirnya percakapan mereka. Mobil mewah ini berhenti di depan aula rumah yang terlihat begitu luas dan megah.

"Akh– kalo begini modelnya sih bukan rumah namanya, tapi istana," gumam Caca di dalam hatinya. Bahkan mulutnya beberapa kali ternganga saat begitu khusyuknya menikmati kemewahan dan kemegahan setiap sudut yang disuguhkan oleh mansion ini. Balutan warna putih dan gold begitu mendominasi setiap sisinya.

Beberapa deret patung dengan menonjolkan sisi-sisi aestetiknya menambah kesan mewah pada dominasi tiap sisi mansion ini.

Perlahan melangkah, Caca sudah melihat tuan Sky tengah duduk di sofa yang hanya dengan memandangnya saja sudah mampu menebak bagaimana empuk dan nyamannya ketika duduk di sana.

"Selamat pagi tuan Sky," sapa Dika dengan ramah dan membungkukkan sedikit tubuhnya kehadapan Sky.

Caca dengan gugup mengikuti tingkah laku Dika. "Lebih baik aku cari aman saja," gumam Caca di dalam hati. Sebenarnya ia tak nyaman berperilaku seperti ini, tetapi apalah daya. Uang 500 juta sudah ia gunakan untuk melunasi hutang ibu, tak ada pilihan lain selain menjalani perintah-perintah dari CEO aneh dan angkuh yang ada di hadapannya ini.

"Kenapa kamu hanya diam saja di sana? Kemari!" titah Sky dengan intonasi yang tidak tinggi, tapi sudah terdengar begitu menyeramkan.

Caca segera mendekat ke arah Sky, ia dengan polosnya duduk di sofa berjarak satu meter dari tubuh Sky.

"Siapa yang menyuruh kamu duduk di situ? Duduk di sini." Sky menunjuk ke arah kedua kakinya yang berada di lantai. "Dan kamu Dika, kamu sudah boleh pergi dari sini. Katakan pada yang lain, jangan ganggu aku dulu hari ini. Dan pastikan tidak ada masalah selama aku tak diganggu."

"Baik tuan."

Tanpa perlu banyak bertanya, Dika sudah paham apa yang di maksud masalah oleh tuan Sky. Siapa lagi jika bukan istri pertama tuan yang bernama Vivian, wanita manja dan egois itu memang kerap kali membuat masalah di luar. Yang terkadang sering menyeret nama Sky untuk menyelesaikannya.

Di sisi lain, Caca menatap penuh dengan keheranan pada setiap bentuk tubuh Sky. Tuan Sky yang sedang berada di hadapannya kini hanya memakai kaos v-neck putih dan celana pendek pres body burungnya. Sehingga dengan jelas Caca bisa melihat setiap bekas goresan bekas luka di bagian tangan dan kaki Sky. Tak hanya itu, beberapa tatto dengan gambar yang menyeramkan juga ada di beberapa titik tubuh Sky.

Sebenarnya siapakah tuan Sky ini? Batin Caca bertanya-tanya dan menerka yang tidak-tidak. Apakah tuannya itu mantan kriminal? Pecandu? Ataukah masih sebagai kriminal terselubung?

"Tamatlah sudah riwayat hidupku sekarang." Caca menggerutu di benaknya.

"Kenapa kamu masih diam saja?"

"Tuan belum memberi saya perintah, lalu saya harus melakukan apa?" Dengan gagah beraninya Caca menimpali Sky seperti itu.

Sret!

"Aakk," teriak Caca segera.

Rambutnya ditarik paksa oleh Sky, "Sekali lagi kamu berani menjawab perintahku dengan nada yang tinggi seperti tadi. Akan ku pastikan lidahmu itu berkurang 2 centimeter."

Ancaman Sky begitu menyeramkan. Caca tak menyangka, jika CEO di hadapannya ini sepertinya adalah seorang phsyco.

"Ma–maafkan aku tuan Sky." Tak terasa, satu bulir air mata luruh begitu saja.

"Bukan seperti itu caranya meminta maaf dengan benar."

Caca perlahan memberanikan diri mendongakkan wajahnya ke hadapan Sky.

"Lalu bagaimana cara meminta maaf pada tuan dengan benar?" tanya Caca masih dengan posisi bersimpuh di hadapan kaki Sky.

"Cium kedua kakiku sekarang, begitulah cara meminta maaf yang baik dan benar."

"Ci–cium? Kaki?" Rasa syok membuat Caca dengan bodohnya mengulang pertanyaan konyol itu sambil menelan air liurnya yang mendadak terasa sangat sulit untuk ditelan.

Bersambung ...