webnovel

Awan Dirgantara?

Pagi yang cerah, mentari yang hangat dan hari yang baru. Rain Tirtamaya, gadis manis nan pendiam itu sedang berjalan di koridor sekolah dengan sedikit tergesa. Bukan karena telat, hanya saja ia tidak terlalu gmenyukai tepat ramai ditambah lagi orang di sekitar menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh Rain.

Sesekali Rain merespon sapaan siswa dengan canggung. Ia terus berjalan hingga tak terasa sudah sampai dikelasnya-X IPA 1. Ia meletakkan tasnya di bangku yang biasa ia tempati-bangku depan meja guru.

Biasanya setelah Rain meletakkan tas, ia akan duduk di bangkunya hingga ia lelah. Tetapi sepertinya ia tak pernah lelah duduk setiap hari di dalam kelas.

Bel tanda masuk berdenting bersamaan dengan guru fisika yang masuk kelas X IPA 1. Suasana di kelas tersebut cukup hening atau bahkan sangat hening. Seperti ada bom yang akan meledak jika ada yang membuat kegaduhan di dalam kelas itu. Bagaimana tidak, jika guru yang mengajar adalah Bu Tika. Guru muda nan cantik itu terkenal akan kegarangannya. Apa lagi kalau sudah marah tak akan ada satu murid pun yang berani menjawab ucapanya jangankan menjawab melihat ekspresinya saja sudah membuat senam jantung.

* * * *

"Rain, tolong bawakan buku ini ke meja saya!" suruh Bu Tika ketika pergantian jam pelajaran.

"Baik bu," ujar Rain lirih sembari mengangkat tumpukan buku itu dan berjalan keluar kelas, mengekor Bu Tika keluar kelas. Hingga tak terasa ia telah sampai di ruang guru.

"Kamu bisa kembali ke kelas," ujar Bu Tika setelah Rain meletakkan tumpukan buku yang ia bawa di meja Bu Tika, kemudian dengan sopannya keluar dari ruang guru tersebut.

Rain berjalan menunduk hingga suara seseorang membuatnya mengakat kepalanya.

"Eh lo berhenti!" Rain membalikkan badannya, dilihatnya seorang perempuan dengan tumpukan kertas di tangannya.

"Sa-saya?" ujar Rain terbata, sembari menunjuk dirinya sendiri

"Iya lo. Sini!" suruh perempuan yang di yakini Rain adalah kakak kelasnya.

"A-ada apa kak?" tanya Rain terbata. Ia merasa tidak pernah berbuat ulah pada kakak kelas, jangankan kakak kelas teman seangkatannya saja belum pernah, tetapi mengapa ia di panggil oleh kakak ini.

"Eh, tolong bawain ini ke kelas XI IPS 3, gue mau ke kamar mandi. Kebelet!" ujar perempuan itu sembari menyodorkan tumpukan kertas itu. Rain diam tanpa berniat menerima tumpukan kertas itu.

"Lo mau bantuin gue enggak k sih? Gue udah kebelet nih, kalau gak mau gu-" ujar perempuan itu terpotong.

"I ... ya kak, saya bawakan," ujar Rain langsung menerima kertas itu, setelah Rain menerima kertas itu, kakak kelas Rain langsung berlari menuju ke toilet, sedangkan Rain segera melangkahkan kakinya menuju kekas XI IPS 3. Ia berjalan menunduk seperti biasanya. Ia melewati lorong-lorong kelas yang cukup sepi di karenakan masih jam pelajaran. Rain sangat bersyukur, karena lorong kelas XI masih sepi, jadi tidak akan ada yang menatap aneh pada Rain.

Bruk...

Rain terduduk di lantai setelah menabrak seseorang yang tidak ia ketahui. Ia masih menunduk sembari membereskan kertas yang jatuh tak beraturan. Kemudian ia berdiri, tetapi kepalanya masih menunduk, kemudian ia berujar, "Ma'af Kak," ujar Rain merasa bersalah.

Tidak ada sahutan dari orang yang Rain tabrak, bahkan Rain berfikir jika yang ia tabrak bukanlah orang melainkan tembok. Karena lama menunggu respon dari orang itu Rain meberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya. Dapat dilihatnya seorang lelaki dengan tinggi yang menjulang. Cukup lama Rain menatap lelaki itu, hingga ia tersadar dari lamunannya

Rain meneguk salivanya dengan susah payah, ketika mata tajam lelaki itu menusuk dalam mata Rain.

"Ma-ma'af kak, Sa-saya tidak sengaja," ujar Rain mencoba meminta ma'af pada lelaki itu, sembari menundukkan kepalanya.

Rain berharap ada respon dari lelaki itu dan Rain dapat cepat sampai ke tempat tujuannya, tetapi lelaki itu hanya diam dan menatap tajam Rain. Rain kembali mendongakkan kepalanya, tanpa ia sadari seklebat ingatan muncul di otaknya. "Kakak ini seperti...," pikir Rain mengingat.

Lelaki di depannya itu berdeham pelan, kemudian berjalan meninggalkan Rain. Entah disengaja atau tidak lengan lelaki itu menyenggol bahu Rain. Rain tidak tahu, harus senang atau sedih? Senang karena lelaki itu pergi dan Rain dapat segera pergi seperti tujuan awalnya, atau sedih karena permintaan ma'afnya tidak direspon.

Rain mengenyahkan pikirannya itu, kemudian berjalan menuju kelas XI IPS 3. Setelah sampai di kelas yang ia tuju, ia langsung mengetuk pintu kelas tersebut.

"Apa?" tanya seorang gadis ketus, sembari melipat tanganya di depan dada.

"Sa-saya tadi di suruh untuk memabawakan kertas ini ke kelas XI IPS 3," ujar Rain gugup. Semua pasang mata yang ada di dalam kelas itu menatap ke arah Rain.

"Taruh disana," ujar gadis itu, sambil menunjuk meja guru dengan dagunya. Sedangkan Rain hanya mengangguk kemudian dengan ragu ia masuk ke kelas tersebut dan meletakkan tumpukan kertas itu atas di meja guru.

"Anak kelas sepuluh ya?" tanya seorang lelaki tiba-tiba.

"I... ya kak," ujar Rain.

"Fan, lo bikin anak orang takut," teriak salah satu siswa, yang langsung mendapat pelototan maut dari lelaki yang di panggil 'Fan' itu.

"Sepuluh apa?" tanya lelaki itulagi.

"X IPA 1 Kak," ujar Rain gugup. Rain benar-benar ingin segera keluar dari kelas ini, ia sangat tidak menyukai suasana di kelas ini.

"Ooo.... Oh ya, kenalin nama gue Toufan Setyawan. Lo bisa panggil gue Toufan," ujar lelaki bernama Toufan itu sembari mengulurkan tanganya.

"Modus lo Fan," teriak salah satu teman Toufan, yang sama sekali tidak digubris oleh Toufan.

"Rain. Rain Tirtamaya." Rain menggapai uluran tangan Toufan.

"Saya permisi kak," ujar Rain setelah melepas jabatan tangan Toufan, yang di angguki Toufan, lalu pergi meninggalkan kelas itu sembari menunduk. Belum ia keluar kelas ia sudah menabrak seseorang, untung saja ia dapat menyeimbangkan badannya sehingga ia tidak jatuh.

"Ma'af Kak," ujar Rain, tetapi orang yang ia tabrak malah mengabaikannya. dan berlalu dari hadapan Rain.

Rain menengok ke belakang--menatap puggung orang yang ia tabrak sebentar. Tanpa ingin berlama-lama di kelas itu ia kembali melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti.

Rain masih menerka-nerka, siapa lelaki yang ia tabrak tadi? Rain yakin ia pernah melihat orang itu, tapi entah di mana, yang pasti bukan di sekolahan.

"Kakak tadi itu siapa ya? Sepertinya tidak asing di mata ku?" Gumam Rain sembari mengingat-ingat siapa lelaki itu? Mengapa terasa tidak asing di ingatannya? Tetapi percuma saja ia tidak mengingat lelaki itu.

Setelah sampai di depan kelasnya, Raina segera masuk kedalam kelas tidak lupa mengetuk pintu terlebih dahulu, walau kelasnya tengah jam kosong. Menurutnya itu adalah salah satu sopan-santun yang harus ditegakkan.

Rain berjalan kemudian duduk di bangkunya. Pikirannya masih melayang pada kakak kelas yang ia tabrak tadi.

"Rain? Lo dari mana aja kok lama banget?" tanya teman sebangkunya, yang jarang Rain ajak bicara.

"Aku tidak dari mana-mana kok," ujar Rain sembari mengalihkan padanganya pada Embun-teman sebangku Rain.

"Ck, udah berapa kali sih gue bilang. Gue bukan guru lo atau orang tua lo, sampai lo harus pakai kata-kata sesopan itu. Kita ini seumuran jadi, lo bicaranya gak usah sesopan itu," ujar Embun panjang lebar. Sudah beberapa kali Embun mengingatkan itu, tetapi tetap saja Rain menggunakan kata-kata yang menurut seorang Embun terlalu dopan, tetapi tidak dengan Rain.

"Iya, ma'af," ujar Rain, kemudian bungkam seribu bahasa.

"Hm," guman Embun.

"Ck, pasti hujan lagi hari ini," ujar Embun kesal sembari menatap langit yang diselimuti kelabu dari cendela.

Rain yang mendengar gerutuan teman sebangkunya itu, kini ikut menatap langit yang mendung. Awan putih yang tadinya menggumpal indah bak kapas, kini berubah menjadi berwarna kelabu.

Rain tersenyum menatap langit dan awan yang menggantung, kemudian senyumnya perlahan pudar lalu berujar, "Awan? Kakak itu?" Dahi Rain mengeryit seakan ia teringat sesuatu.

"Awan Dirgantara," ujar Rain tanpa sadar.