Sedih masih membelenggu, merasa galau Sayyida di rumah membaca kisah Abu Nawas untuk menghibur diri.
"Ya Allah semoga luka hati ini bisa sedikit berkurang. Dan semoga aku bisa mencintai suamiku. Aamiin. Pada suatu hari, hakim pengadilan dibuat bingung oleh dua orang ibu yang merebutkan seorang bayi. Karena sama-sama mempunyai bukti yang kuat, hakim tidak tahu bagaimana caranya untuk menentukan siapa ibu kandung dari bayi itu.
Akhirnya, dia pergi menghadap Raja Harun Al Rasyid untuk meminta bantuan supaya kasus tersebut tidak berlarut-larut.
Raja kemudian turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, dia malah dibuat putus asa karenanya. Kedua wanita itu sama-sama keras kepala dan tetap menginginkan bayi itu.
Kemudian, Raja memanggil Abu Nawas ke istana. Setelah mengetahui duduk permasalahannya, dia mencari cara agar nasib bayi itu tidak terlunta-lunta dan bisa bersama lagi dengan ibu kandungnya.
Keesokan harinya, Abu Nawas pergi ke pengadilan dengan membawa serta seorang algojo. Abu menyuruh meletakkan bayi yang diperebutkan itu di atas sebuah meja.
"Apa yang akan kalau lakukan pada bayi itu?" tanya kedua ibu yang saling berebut itu bersamaan.
"Sebelum menjawab pertanyaan kalian, saya akan bertanya sekali lagi. Adakah di antara kalian berdua yang bersedia menyerahkan bayi itu kepada ibunya yang asli?" kata Abu Nawas.
"Tapi, bayi ini adalah anakku," jawab kedua ibu itu serentak.
"Baiklah kalau begitu. Karena kalian berdua sama-sama menginginkan bayi ini, dengan terpaksa saya akan membelah bayi ini menjadi dua," jawab Abu Nawas.
Mendengar jawaban tersebut, perempuan pertama sangat bahagia dan langsung menyetujui usulan tersebut. Sementara itu, perempuan yang kedua menangis histeris dan memohon agar Abu Nawas tidak melakukan hal tersebut.
"Tolong jangan belah bayi itu, serahkan saja dia pada wanita itu. Aku rela asalkan dia tetap hidup," isaknya.
Puaslah Abu Nawas ketika mendengar jawaban itu. Akhirnya, dia tahu siapa ibu dari bayi itu yang sebenarnya. Lalu, dia menyerahkan sang bayi pada perempuan kedua yang merupakan ibu kandungnya.
Setelah itu, Abu Nawas meminta agar pengadilan menghukum wanita yang pertama sesuai dengan kejahatannya.
Hal ini dikarenakan tidak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya dibunuh, apalagi di hadapannya sendiri. Akhirnya, masalah pun selesai dan si bayi akhirnya dapat bersatu kembali dengan ibu kandungnya.
"Unik sekali cara penyelesaiannya. SubhanaAllah. Pada suatu hari, Raja Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini Raja ingin menguji kecerdikan Abu Nawas.
Sesampainya di hadapan Raja, Abu Nawas pun menyembah. Dan Raja bertitah, "Hai Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu."
"Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku," jawab Abu Nawas.
Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, "Mampuslah kau Abu Nawas!"
Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Raja. Seharian ia tidak ke luar rumah, sehingga membuat tetangga heran.
Ia baru ke luar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Raja kepadanya.
Ia segera menuju kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, "Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?"
Orang-orang yang menjawab benar, akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar.
Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, "Begitu saja kok nggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Raja Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya."
Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot. Sampai di depan Raja Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat.
Lalu, Raja berkata, "Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?"
Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, "Inilah mereka, tuanku Syah Alam."
"Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?"
"Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang," jawab Abu Nawas.
Ketika Raja bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, "Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku."
Raja heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka Raja pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas."
Sayyida tertawa tapi air matanya kembali berlinang. Sayyida membalik buku.
"Menarik ini. Istana Raja Hancur Karena Lalat. Pada suatu hari Abu Nawas terlihat murung. ia hanya tertunduk lesu mendengarkan penuturan istrinya yang mengatakan kalau beberapa pekerja kerajaan atas titah Raja Harun membongkar rumahnya. Raja berdalih bahwa itu dilakukan karena bermimpi kalau di bawah rumahnya terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya.
Namun. setelah mereka terus menerus menggali, ternyata emas dan permata tidak Juga ditemukan. Parahnya, sang Raja juga tidak mau meminta maaf dan mengganti rugi sedikitpun kepada Abu Nawas. Karena Itulah Abu Nawas sakit hati dan memendam rasa dendam kepada perusak rumahnya. Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum Juga ia menemukan muslihat untuk membalas perbuatan baginda. Makanan yang dihidangkan istrinya pun tidak dimakan karena nafsu makannya telah lenyap. Keesokan harinya Abu Nawas melihat banyak Ialat-Ialat mulai menyerbu makanannya yang sudah mulai basi.
Begitu melihat lalat-Ialat itu berterbangan. Abu Nawas tiba-tiba saja tertawa riang seolah mendapatkan ide. "Tolong amblikan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi," kataAbu Nawas kepada istrinya. Dengan wajah berseri-seri, Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana, Abu Nawas membungkuk memberi hormat kepada Raja Harun. Raja Harun terkejut atas kedatangan Abu Nawas Di hadapan para menterinya, Raja Harun mempersilahkan Abu Nawas untuk menghadap.
"Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan periakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa izin dan berani memakan makanan hamba," ujar Abu Nawas.
"Siapakah tamu-tamu tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" ujar Baginda dengan bijaksana.
"Lalat-Ialat ini Tuanku," kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya.
"Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Paduka junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil Ini," ujar Abu Nawas sekali lagi.
"Lalu, keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dan ku?" tanya Raja Harun penasaran.
"Hamba hanya menginginkan izin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan ieluasa menghukum lalat-lalat yang nakal itu," jawab Abu Nawas memulai muslihatnya.
Akhirnya Raja Harun dengan terpaksa membuat surat izin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul Ialat-lalat itu dimanapun mereka hinggap. Setelah mendapat izin tertulis itu Abu Nawas mulai mengusir laiat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan menggunakan tongkat besi yang dibawa dari rumah, Abu Nawas mengejar dan memukurl lalatlaiat itu. Ketika hinggap di kaca, Abu Nawas dengan tenang dan leluasa memukul kaca itu hingga pecah. Kemudian vas bunga nan indah milik sang Raja juga ikut terkena pukul dan pecah. Akhirnya hanya dalam beberapa menit saja seluruh perabot istana hancur berkeping-keping. Raja Harun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruannya yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya
Setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Raja Harun banyak yang hancur. Bukan cuma itu saja raja juga menanggung rasa malu. Kini dia sadar betapa kelirunya; telah berbuat semena-mena kepada Abu Nawas."
Sayyida tertawa. Dia kembali tertunduk. 'Ya Allah sesungguhnya aku merasa sangat egois,' batin Sayyida yang menyesal.