“Mera, kau terlambat?” tanyaku heran. Ya walaupun bisa dibilang dia anak yang bandel, tetapi masalah waktu dia selalu tepat.
“Ela? Kau telat juga? Zeta? Kenapa kalian bisa telat?”
Yaa, Mera memang lebih suka memanggilku Ela, katanya lebih cocok. Sementara Zeta hanya diam, aku menjawab pertanyaan Mera.
“Ya, aku telat karena bangun kesiangan, kalau Zeta, dia karena emm.. menawariku tumpangan, ya bisa dibilang begitu.”
“Telat bangun? Kau? Sejak kapan Ela jadi anak yang telat bangun?”
“Eh kalian bertiga, ayo masuk!” satpam itu memotong pembicaraan kami, kini wajah Zeta sudah terlihat lebih tenang.
Saat kami melangkahkan kaki ke dalam sekolah, ada guru disana yang siap mencatat perbuatan kami.
“Kau, namamu siapa?” kini guru BK sudah mengambil alih tugas pak satpam, beliau Pak Joko yang terkenal tegas.
“Saya pak? Nama saya Elana Tiara”
“Lalu kau, sebelah Elana, siapa namamu?” kini Pak Joko menunjuk Zeta, sebelah kananku.
“Zetana Zunaira pak, dari kelas XI A4.” jawabnya.
“Ah iya kelas, Elana dari kelas XI A2 benar, kan?” Pak Joko beralih kembali bertanya padaku.
“Benar Pak”
“Kamu sudah terlambat berapa kali Elana?”
“Eh, saya baru dua kali ini pak, saya tidak sering terlambat”
Bukannya menanggapi jawabanku, kini Pak Joko malah melirik pada Mera.
“Namamu Omera kan? Kamu yang suka buat keributan di lab kimia itu kan? Kau sudah terlambat berapa kali hah!?”
“Eh pak, saya ini anak yang disiplin pak, baru pertama kali ini saya terlambat pak, benar. Itupun karena ban sepeda saya bocor di tengah jalan pak, kalau bapak tidak percaya, tanyakan saja itu pak pada tukang tambal ban depan toko roti pinggir jalan, ah siapa dia namanya—"
“Sudah-sudah, iya bapak percaya kamu anak yang tepat waktu. Kalau Elana, kamu kenapa? Zetana juga?”
Ternyata cerewetnya Mera kadang berguna juga ya.
“Jam weker saya rusak pak, jadi saya telat bangun, dan tadi saya sempat mampir ke toko reparasi jam dulu”
“Kalau saya tadi emm.. sepeda saya pak.” aku tidak tega melihatnya menjadi gugup kembali seperti ini, ditambah terlambatnya dia pun juga karena ulahku kan.
“ Maaf pak, itu salah saya, tadi saya membonceng, jadi berat, lalu kami jadi terlambat.” jawabku yang sejujurnya pada Pak joko. Zeta menolehkan wajahya padaku, dia tersenyum.
15 menit setelahnya kami dihukum untuk menghormati bendera, untungnya ini hari Selasa bukan Senin, kalau Senin bisa jadi kami diminta melaksanakan upacara mandiri, seperti waktu itu kulihat tiga orang siswa terlambat dan melaksanakan upacara mandiri. Sungguh mengerikan.
“Huft, sebenarnya hukuman ini kapan selesainya?!” Mera disampingku sudah mengeluh ingin segera selesai, sementara Zeta, dia hanya menghela napas.
“15 menit lagi, Mer”
Aku yang mengenakan jam tangan menjawabnya datar.
“Astaga lama sekali!”
“Sudah hukuman kalian menghormati bendera saja!” Pak Joko tiba-tiba datang dari arah belakang dan berkata begitu. Bukannya kami ini sudah sedari tadi menghormati bendera?
“Pak, kami sudah dari tadi menghormati bendera, apa bapak tidak lihat? Kami sudah rajin sekali mengerjakan hukumannya pak.”
Lihatlah Mera disampingku sudah langsung menjawab ucapan Pak Joko tanpa memalingkan wajahnya ke belakang.
“Mera! Diamlah!” kataku setengah berbisik geram, hampir bersamaan dengan Zeta, bedanya Zeta mengatakannya lebih lembut.
“Saya tidak bicara denganmu Mera, tapi dengan mereka berdua ini.”
Setelah beberapa detik lengang, Pak Joko kembali buka suara, kulihat Zeta ingin berbicara, tetapi kuberinya kode agar tidak melakukannya. Menghela napas lagi. Sepertinya suasana hatinya semakin buruk.
“Pak pakai hukuman lainnya saja ya pak, tolong.” pinta lelaki di belakang kami, memohon untuk mengganti hukumannya.
“Tidak bisa, kau dan Agam sudah ribut tiga kali di ruang kelas, terakhir sampai mengganggu pelajaran kelas lain, tidak bisa saya tolerir.”
Rupanya ada yang membuat keributan pagi-pagi. Aku yakin kini suasana hati Pak Joko yang senang untuk berkeliling sekolah sudah habis, terserap oleh dua anak itu.
“Pak, kami bisa menulis permintaan maaf 100 kali atau membuat suatu karangan tentang pentingnya menjaga sikap, atau lainnya pak. Yang penting bukan hormat kepada bendera pak, tolong.”
Sejak tadi aku yang mendengarkan suaranya seperti sudah mengenalnya, sering aku mendengarnya. Di mimbar, saat lomba, di aula.
Ahh, dia wakil ketua OSIS, Rian namanya.
“Tidak, menulis itu sudah basi bagi kalian berdua, hormat adalah hukuman terbaik!”
“Tapi pak.” Rian tetap bersikukuh meminta hukumannya diganti, sementara temannya, Agam sejak dua menit yang lalu sudah berdiri di sampingku dan hormat, membiarkan Rian membuat tambahan masalah dengan Pak Joko.
“Kalau kamu tetap ribut ingin diganti, akan bapak tambahkan waktu hukumannya menjadi satu jam, kamu mau?”
“Eh, kok jadi.. Baik pak, saya laksanakan.” sambil berjalan gontai ke arah sebelah Agam ia akhirnya mengalah.
“Nah, untuk kalian bertiga, yang telat, kalian bisa meninggalkan lapangan, hukumannya sudah selesai, silakan ke kelas kalian masing-masing.” kata Pak Joko.
“Benarkah pak!? Saya kira masih lima— aw!”
Mera memang tepat waktu, tapi untuk urusan begini, astaga. Kuinjak kakinya, sebelum dia mengoceh tentang waktu.
“Baik pak, terima kasih.” potongku sebeum Mera melanjutkan bicaranya.
“Terima kasih pak.” jawab Zeta.
“Ya, kalian silakan pergi, jangan diulangi lagi.” tambah Pak Joko.
“Siap pak.” jawab Mera.
Saat aku melangkahkan kaki untuk melewati Pak Joko, aku merasa ada yang menatapku, sungguh hawanya sesak, sepertinya itu tatapan dua murid ribut itu.
Setelah mengambil tas di pos satpam, aku berjalan ke kelas. Sendirian. Mera dan Zeta beda kelas denganku, mereka A4 sedang aku A2. Aku lihat di dalam kelas ada Bu Megan. Sekarang pelajaran Bahasa Indonesia, teman lain sedang mencatat. Ini jam pelajaran kedua.
“Permisi bu, izin masuk kelas.” di luar kelas aku mengetuk pintu, menunggu dipersilakan.
“Elana? Kau terlambat nak? Mari masuk.” Bu Megan memang terkenal baik, tetapi tidak pernah ada yang berani untuk bersikap tidak sopan pada beliau, mungkin karena wibawanya.
“Iya bu, maaf saya terlambat, tadi pagi jam weker saya rusak jadi bangun kesiangan.” jawabku sesopan mungkin.
“Alasan saja dia bu, memang bangun kesiangan kan?” Itu si Andra, dia memang suka melakukan hal itu, kita semua tahu kalau dia suka meledek bercanda.
“Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada pak penjaga toko itu.” kataku membalas celotehannya.
Sudah bersiap dia ingin menanyakanku hal lain, tetapi Bu Megan meminta kami berhenti, dan memintaku untuk duduk di bangku milikku. Lebih tepatnya bangku milik sekolah. Aku menuruti perintah beliau, berjalan dan menggoda Andra karena tidak jadi meledekku. Lalu duduk di sebelah Anya. Kini Bu Megan melanjutkan pelajaran, dan aku mencoba fokus dengan pelajaran beliau, yang sudah tertinggal beberapa menit dari yang lain.
-*#*-
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu, tetapi aku, maksudku kami berlima malah berada di ruang BK. Membuat surat penyataan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi.
Tetapi belum ada Pak Joko di ruangan, kami berlima diam menunggu Pak Joko datang, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar.
Dingin. Aku tepat berada di bawah pendingin ruangan itu.
“Kalian kenapa dihukum?” Mera membuka suara, menanyakan pada dua lelaki yang sepertinya sedang ada selisih paham.
“Tidak apa.” Jawab Rian.
“Sejak kapan orang tanya kenapa dijawab tidak apa, dari zaman nenek moyang pun saat ditanya kenapa jawabannya pasti karena, bukan tidak apa. Huh! Bahkan anak kecil pun tahu itu.” Mera menganggapi.
“Sama lah dengan kalian, kalau ditanya kenapa jawabannya tidak apa juga kan.”
Kini Rian mulai meninggikan suaranya, menyaingi suara Mera.
“Tentu saja beda.” jawab Mera tidak melanjutkan celotehannya.
“Kalian membuat masalah di kelas bukan? Aku mendengarnya tadi saat kalian akan dihukum.” Zeta membuka suara, menjawab sekaligus bertanya memastikan.
“Iya benar.” kini Rian menjawab dengan ketus.
“Kemana si Pak Joko, aku harus mengambil jam wekerku.” kataku setelah teringat akan jam yang aku titipkan pada pak reparasi jam.
“Kalian sudah ada semua ya?” tiba-tiba saja Pak Joko datang, beliau terlihat sibuk sekali, membawa banyak berkas dan berjalan dengan cepat..
“Bapak minta maaf, bapak tidak bisa meladeni kalian sore ini, mungkin besok baru bisa, ada beberapa pekerjaan yang lebih penting dibandingkan mengurus anak bandel.”
Mata kami berlima tertuju pada Pak Joko yang sedang mencari berkas. Entah berkas apa.
“Eh jangan begitu pak, ka—” ingin menanggapi Pak Joko, akhirnya Mera diam setelah dipelototi oleh Pak Joko, lucu juga melihatnya.
“Kalian silakan boleh pulang, besok sore kalian datang lagi. Urus surat pernyataan itu besok saja!”
“Huh! Buang waktu saja!”
Itu Mera tentu saja.
“Sudahlah Mera, ayo!” kataku sambil menggandengnya keluar.
“Oh iya pak, ada sesuatu yang ingin, loh, Pak Joko? Pak?”
Rian yang berjalan dibelakangku dan Mera tiba-tiba saja memanggil Pak Joko, tetapi kenapa tiba-tiba jadi memanggil mencarinya. Kami semua membalikkan badan. Tunggu, Pak Joko kemana?!
“Mungkin dibawah meja, Rian.” kata Mera lebih seperti menyerah berdebat. Lalu Rian pergi ke belakang meja Pak Joko.
“Tidak ada, Pak? Pak Joko?” Rian kembali memanggil setelah melihat ke bawah meja.
"Mungkin disamping lemari itu” kata Zeta.
“Tidak ada” kini Agam yang coba melihatnya.
“Pak Joko pasti masih ada di dalam sini, ini ruangan 4 x 4 meter yang hanya ada satu pintu untuk keluar masuk, tidak mungkin hilang begitu saja.” kataku mulai cemas.
“Coba cari pintu lain, mungkin ada pintu yang tidak kita tahu.” kata Zeta. Kini kami mulai berpencar mencari Pak Joko yang secara tiba-tiba menghilang.
“Disini tidak ada” Mera dan Rian secara bersamaan mengatakannya, sambil setelahnya berpandangan sinis.
“Disini juga.” kataku.
“Tidak ada.” kata Zeta setelah melihat ke belakang vas bunga besar.
“Nihil.” ucap Agam singkat.
“Astaga! Apakah Pak Joko diambil alien?!” kata Mera meracau.
“Atau Pak Joko yang tadi itu sebenarnya hantu?!” kini Rian yang meracau tidak jelas.
“Tidak mungkin Rian, aku tadi melihatnya dari atas sampai bawah, seperti manusia pada umumnya” Kini Agam yang menjawab.
Aku yang terus mencari sambil berpikir logis tiba-tiba berhenti dan melihat ada buku yang terasa aneh untuk berdiri di rak. Buku lainnya hampir miring, sedangkan buku ini bisa tegak berdiri, memang rak itu penuh, tetapi ini tetap terasa ganjil. Lalu aku coba untuk mengambilnya. Siapa tahu seperti di buku-buku cerita atau film-film, buku itu mengarah ke tempat rahasia.
“Teman-teman, kemarilah, sepertinya aku menemukan sesuatu.”
Aku mengatakan itu tanpa menoleh pada mereka, tetap memandangi buku itu, kalau saja nanti, tiba-tiba menghilang, bisa dikata bodoh aku.
“Apa Ela? Pak Joko ketemu? Kau temukan pintu rahasia? Atau kau—”
“Diam kau!” Rian membungkan Mera dengan tangannya.
“Mphm, ah, lepaskan!” Akhirnya Rian melepaskannya.
“Kenapa El?” kini Agam yang bertanya, tapi tunggu. ‘El?’
“Ah ini aku mencoba melihat rak buku, lalu kutemukan buku ini, aku coba menariknya lalu tadi aku mendengar suara.”
“Kau tidak bohong kan? Itu seperti di dalam film atau buku cerita Ara, ayo coba buka lagi!” kata Zeta yang mulai cemas tapi bersemangat.
‘Klik-klik’ Suara itu lagi.
“Eh, kenapa dilepas, kau seharusnya menariknya lagi” kini Mera maju dan mencoba menariknya lagi.
‘Gleek’ Astaga kencang sekali.
“Hei, kau ini, itu terlalu kencang!” Kataku.
‘Bruk!’
Suara apa itu, lima detik kemudian tidak terjadi apa-apa.
‘Brak!’
Lantai yang kami pijak terbuka dan kami terjatuh ke bawah tanah.
“Aaa!!”
‘Bruk!’ Kami terjatuh saling menindih.
“Ah, punggungku, sakit sekali.” Rian yang jatuh terjungkal mengeluh kesakitan.
Zeta yang berada di ujung, jatuh terduduk. Aku jatuh tertindih Mera. Sakit sekali rasanya. Dan Agam jatuh terlungkup.
“Awas Mera, kau ini berat sekali!” aku mendorong Mera untuk membantunya bangun.
“Aw, sakit sekali, padahal jaraknya tidak jauh.” Zeta meringis kesakitan. Ia kini sudah berdiri dan sekarang sedang menepuk rok nya serta mengecek lengannya.
“Apanya yang sakit? Ish kalian ini, dasar lemah, mari kubantu kau berdiri.” dasar Mera, tidak disituasi baik maupun buruk tetap saja. Aku hanya bisa menatapnya kesal, dan mulai membersihkan pakaianku.
“Kalian semua baik-baik saja kan?” tanya Agam.
“Ya, tidak terluka.” jawab Mera.
“Tidak apa, Gam.” jawab Rian.
“Disini pengap sekali,” kata Zeta.
“Dan gelap.” tambahnya sambil melihat sekeliling ruangan..
“Pak Joko, bapak ada dimana?” aku memanggil Pak Joko lagi, teringat tadi kami sedang mencari Pak Joko.
‘Gruduk gruduk gruduk’
Suara dari atap, lubang yang membawa kami jatuh ke dalam sini, lubang itu menutup.
Gelap. Senyap.
Kini kami sudah saling melingkar membelakangi, takut tiba-tiba saja ada yang akan mengancam kami. Menyerang kami secara tiba-tiba dalam gelap. Tidak ada suara lain selain deru napas kami yang semakin kencang karena suasana ‘Klik’
Seperti suara saklar lampu dinyalakan. Lampu mulai remang-remang menyala dalam gelap.
“Tidak salah aku mengira kalian berlima, ayo masuk semua”
Itu Pak Joko, sambil membalikkan badan beliau berbicara seperti itu, kami berlima hanya menatapnya bingung, bungkam. Bahkan Mera sekalipun.
Pak Joko membalikkan badannya ke arah kami lagi.
“Tunggu apalagi, ayo!” sekali lagi kami terdiam, tidak bergerak.
“Apa yang kalian tunggu nak? Ayo, masuk!”
“Pak Joko, b-bagaimana bisa b-bisa ada disini?” tanya Mera terbata memecah heningnya kami.
“Makannya ayo masuk dulu, nanti bapak jelaskan kepada kalian. Ayo!”
Akhirnya kami memutuskan melangkahkan kaki kami untuk mengikuti Pak Joko.
“Itu Pak Joko beneran, kan, bukan hantu atau sejenisnya?” tanya Mera berbisik. Tapi, wah, dia bukan bertanya ke arahku, melainkan Rian di samping kirinya. Rian yang kaget hanya mengangguk dan membenarkannya. Dan entahlah Mera tiba-tiba saja tersentak, kaget menyadari yang menjawab bukan aku, melainkan Rian. Wajahnya kini memerah karena malu.