webnovel

Kejutan

"Balas budi ayah sangatlah berkesan sepertinya" hingga membuat bunda tenggelam dalam jurang kenestapaan hingga akhir hidupnya. Suami yang kejam.

"Ayah tak menyuruhnya untuk mencintai ayah" aku hanya bisa tertawa miris mendengar jawaban ayah, masih pantaskah dia kupanggil ayah.

"Baiklah... sudah cukup basa basinya ayah, yang sebenarnya ingin tifa bicarakan adalah permintaan terakhir bunda, bunda minta tifa melanjutkan mengurus perusahaan yang bunda rintis, Jadi mulai hari ini Ayah tidak perlu lagi kekantor" Tanpa menunggu tanggapan ayah kutinggalkan ruangan yang sekarang terasa pengap menghimpit dada ini.

***

Hari pertama bekerja ternyata semua sangat berantakan, entah apa yang dilakukan ayah selama membantu bunda semenjak sakit. Bukannya membaik malah banyak kemunduran, banyak rekan bisnis yang tidak puas dan memilih memutuskan kerja sama. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil membuat mereka kembali.

Tak kupedulikan lagi tiga orang yang ada dirumah, mereka mau menyindir atau melakukan apapun aku sudah tidak peduli, yang kupedulikan sekarang adalah memajukan perusahaan yang ditinggalkan bunda. Untung saja bunda mempunyai staf yang handal salah satunya Sebastian Nugroho yang menjabat sebagai manager perencana. Dan selama aku memulihkan keadaan perusahaan dialah yang banyak membantu dan menyemangatiku. Perhatian kecilnya dan kedekatan kita selama ini menimbulkan perasaan yang asing untukku. Entahlah aku sendiri juga tidak begitu mengerti, yang aku mengerti hanya aku berterima kasih untuk semua yang dia lakukan untukku. Karena hal itulah saat ini aku tak bisa menolak permintaannya untuk mengajakku makan malam.

Aku sedang menikmati makananku saat lampu disekitar sudut restoran menyoroti Tian yang perlahan menuju kearahku sambil membawa bunga di tangan kiri dan entah benda apa lagi ditangan kanannya.

"Tifa..selama ini aku sangat menikmati kebersamaan kita, aku sadar bahwa kamu mencintaiku.."

"Eh...?" tanpa sadar aku menyelanya, karena aku merasa tidak merasakan apa yang dia katakan, atau rasa nyaman ini sebenarnya adalah cinta?. Tian mengangkat tangan kanannya, sebagai tanda untukku agar tidak menyelanya.

"Baiklah..., lanjutkan" katakku

"Dan akupun juga mencintaimu, jadi maukah kamu menikah denganku?" Suara tepuk tangan disekitarku menyadarkan lamunanku, sorakan dari mereka agar aku mengiyakan ajakkannya makin terdengar nyaring, dan Tian?, dia masih berdiri didepanku sambil membuka tangan kanannya, "Oh ternyata kotak cincin yang dia bawa, dapat kepercayaan dari mana dia bakalan kuterima?" aku hanya bisa mendesah dalam hati sambil memijat pelan keningku.

"Tifa jawablah, walaupun aku tau jawabanmu iya tapi aku tetap ingin mendengarnya langsung" jawabnya penuh percaya diri.

"Baiklah, aku bersedia" jawabku akhirnya, toh aku merasa tidak akan pernah jatuh cinta setelah apa yang dialami bunda. Tian juga tidak memalukan, dia tinggi dan putih, juga lumayan ganteng buktinya banyak staff wanita yang menyukainya secara diam-diam. Karena aku merasa akan menguntungkan juga untukku jika aku menikahinya, jadi aku terima saja.

Semakin lama waktu berlalu, tak terasa hari H pernikahanku semakin dekat. Hari ini karena aku merasa kelelahan dan agak pusing, aku meminta Nency sekretarisku untuk menggantikanku menghadiri perjamuan dengan rekan bisnis. Aku memutuskan untuk beristirahat saja diruangan kecil dalam kantorku, dan sebagai catatan hanya aku yang tau jika ada ruangan ini dan karena hal itu jadi aku sendiri yang harus membersihkannya.

Sayup kudengar suara-suara dalam kantorku, suara inilah yang mengganggu istirahatku barusan. "Siapa sih?" batinku jengkel. Semakin lama kudengarkan ini seperti suara orang yang sedang bercinta, perlahan kubuka pintu yang dari kantorku hanya terlihat seperti dinding kayu ini. Dan yang kulihat itu memang orang yang sedang bercinta, dengan penuh gairah, tapi yang membuatku sangat kaget bukan itu tapi mereka adalah Tian dan Dewi, ya benar yang sedang bercinta diruangan kantorku adalah tunangan dan saudari tiriku sendiri. Tapi sepertinya mereka tidak menyadari jika ada orang ketiga yang menyaksikan aksi mereka, hal itu membuatku sangat jijik.

"Apa kalian tak punya uang untuk menyewa hotel?" kataku sinis, bukannya malu mereka tetap melanjutkan olah tubuh itu. Apa aku sakit hati? Tidak. Tapi lebih karena mereka melakukan hal laknat itu disofa ruang kerjaku, sepertinya aku harus mengganti semua furniture ku segera, dan tentunya pengeluaran yang tidak direncanakan tapi jika tidak diganti aku tak mungkin lagi bisa bekerja disini.

Yang pertama sadar adalah Tian, karena posisinya dia duduk pas menghadapku dan Dewi sedang olah badan dipangkuannya.

"Ti...tifa, bagaimana kau ada disini?" aku memutar mataku, pertanyaan yang konyol.

"Kenapa aku tidak bisa disini? Sekedar info, ini masih kantorku, jika kau lupa".

"Maksudku bagaimana kau ada disini, bukannya kamu harusnya ada pertemuan diluar?" Dan apakah kalian tau Dewi tetap melanjutkan olah tubuhnya, berpacu menuju puncak yang dia inginkan tanpa memperdulikan apapun. Kurasa dia mendapatkan puncak itu, tapi terserahlah, siapa yang peduli?

"Kurasa pernikahan kita tak bisa dilanjutkan lagi Tian" jawabku santai.

Dewi dan Tian merapikan baju mereka yang berantakan, untungnya mereka tidak bugil kalau iya sudah kutimpuk dengan benda apapun yang ada didekatku tentunya.

"Tifa jangan marah, aku bisa jelaskan" Tian mencoba memegang tanganku tapi kukibaskan.

"Aku tidak marah"

"Jadi rencana pernikahan kita tetap dilanjutkan kan?"

"Apa kepalamu terbentur sesuatu? Tentu saja tidak" gila apa aku mau melanjutkan pernikahan dengan lelaki model kamu ini, sahutku dalam hati.

"Tapi aku sangat mencintaimu Tifa" dengan wajah memelasnya. Tapi maaf itu tidak mempan lagi untukku.

"Memangnya kelakuanmu ini terlihat seperti kamu mencintaiku?" kataku mencibirnya.

"Ini semua gara-gara kamu, jika lamu mau kuajak bercinta, pasti aku tidak akan mencari wanita lain" Jadi menurutnya, kelemahannya yang tidak bisa menjaga nafsunya itu salahku? super sekali cara berfikirnya.

"Jangan samakan aku dengan jalang yang duduk disana, yang akan selalu siap membuka kaki untuk lelaki yang menginginkan tubuhnya" kulirik Dewi hanya tersenyum miring, duduk manis, satu jari memilin rambut sambil memperhatikan perdebatan kami tanpa memberi sanggahan mengenai ucapanku. Yah tidak heran Dewi memang terkenal sebagai pelacur disekolah dulu.

"Setidaknya Dewi mau melayaniku tidak sepertimu" Untungnya hal ini kuketahui sebelum menikah kalau sudah menikah betapa akan malu dan tertekannya aku. Walau aku tak mencintainya tapi aku menghargai reputasiku.

"Sejak kapan kalian berhubungan?"

"Sejak kuliah, Dewi adik tingkatku"

"Dan kamu bilang kamu mencintaiku, brengsek kamu Tian, tidak aku tak mau melanjutkan pernikahan kita, aku yang akan mengurus pembatalannya dan silahkan kalian pergi dari ruanganku" sepertinya aku tidak betah disini lagi, jijik sekali, aku harus mengganti semua ini sebelum aku bisa bekerja lagi jadi kuputuskan untuk pulang saja.

Sebelumnya aku sudah memberi pesan ke Nency untuk menghubungiku segera setelah dia kembali dari acara. Aku menyuruhnya membatalkan semua hal yang berhubungan dengan rencana pernikahanku dan yang kedua mengganti semua furniture yang ada didalam ruanganku, hanya kuminta meninggalkan meja kerjaku, karena itu salah satu kenangan dari bunda, bunda sendiri yang mencari dan memilih meja kerja itu. Aku tak sanggup rasanya jika berpisah darinya.