webnovel

Chapter 51

Kiyoyasu mundur ke samping kanan. Merasakan pedangnya bergetar sangat kuat. Energi kegelapan menyertainya. Dia mencengkram gagang pedang Odachi. Tepat pada Yoriaki Nagasaki yang dirasuki oleh The Blind Angel Snake.

"Katakan padaku. Bagaimana bisa kau terbebas dari sini? Apa kau punya trik?"

"Trik? Trik katamu bilang? Kau pikir aku menggunakan ini untuk melawanmu. Tidak, tidak, tidak! Aku tidak menggunakan trik sama sekali. Aku melakukan perjanjian dengan orang itu!"

Orang itu katamu bilang? Gumam Kiyoyasu dalam hati. Sebuah pedang Odachi diayunkan secara horizontal, mengerahkan segala kemampuannya disertai sebuah hentakan kaki. The Blind Angel Snake menyemburkan racunnya. Kiyoyasu berguling ke arah kanan. Pedang Odachi dicengkram kuat, kedua kakinya merapat. Sorot kedua matanya tertuju pada The Blind Angel Snake. Kiyoyasu mengayunkan sembari berlari. Dia meyakini, makhluk seperti The Blind Angel Snake tidak suka dikendalikan. Tetapi, dia utarakan dalam hati. Semburan beracun dari makhluk itu, nyaris mengenai Kiyoyasu. Tetapi, dia melontarkan sebuah tali pada The Blind Angel Snake. Besi yang sangat tajam, berubah meleleh. Yoriaki berteriak lantang, menyebut nama Kiyoyasu berulang lagi. Sadar bahwa orang itu telah dikendalikan. The Blind Angel Snake. Dia teringat saat dirinya berhadapan dengan makhluk itu. Rupanya, Kiyoyasu kalah telak. Muramasa yang hendak membantunya, merebut kembali senjata yang dipegang olehnya. Walau demikian, dia memberikan kesempatan kedua pada Kiyoyasu untuk melatih diri.

Sejak itulah, Kiyoyasu berkelana untuk berlatih kemampuan serta mencari sebuah portal Unknown Origin Dungeon. Selain itu, Kiyoyasu menerima permintaan quest dari Dark Guild dengan nickname 'Kuro no Yami' beserta menerima quest dengan nama asli. Kiyoyasu terus berburu, membunuh hingga menerima tawaran untuk melindungi klien. Sampai dirinya mendapatkan sebuah quest. Lebih tepatnya, quest untuk menyelamatkan para siswa di sekolah akademi Daponia. Kebetulan, lokasinya cukup dekat. Sehingga hanya membutuhkan setengah jam untuk berlari. Quest yang dipilih adalah Astraldi, makhluk astral yang sudah membunuh penyihir berjubah merah. Dia mengambil kertas tersebut, memberikannya pada guild perihal misi tersebut.

"Kau pasti Kiyoyasu bukan?"

Sebuah respon dari Kiyoyasu berupa anggukan. Dia disuruh oleh ketua guild cabang untuk masuk ke dalam. Ketika masuk ke dalam, seorang pria dengan dua pengawalnya sedang meminum secangkir teh. Menikmati aroma yang dihidangkan. Mengenakan jubah emas dengan laki-laki berkumis. Rambut pendek dan hanya memiliki telinga satu. Tepat di sebelah kanan. Kiyoyasu tidak berkomentar soal cacatnya telinganya. Sebisanya untuk mengalihkan perhatiannya. Dia menunjukkan sebuah monster berukuran mini. Menyerupai seekor kelelawar dengan sayap ukuran kecil. Selain itu, bola matanya hanya memiliki satu buah di bagian tengah. Mengibas-kibas sambil menunggu perintah dari beliau. Memperlihatkan sosok transparan baru-baru ini. Kiyoyasu mendengarkan dengan seksama.

"Kau mungkin bertanya-tanya soal keberadaan mereka bukan?"

"Y-ya."

"Baguslah. Kalau begitu, kupersingkat saja," ucapnya menaburkan sihir padanya.

Di saat hendak mengakhiri hidup, suara sonar berbunyi. Makhluk astral yang mencekik Tiecia, dipaksa untuk melepaskan kedua lengannya. Gadis berambut pirang terbatuk-batuk. Mengeluarkan dahaknya sembari menghirup udara sebanyak-banyaknya. Termasuk bernapas melalui diafragma dan perut secara bergantian. Tangan kanan mengambil tongkatnya. Merapalkan sebuah mantra disertai berupa sambaran petir, mengarah kepada mereka. Paha sebelah kanan darinya bergerak cepat. Berlari sekuat tenaga tanpa menoleh ke belakang. Sesaat menjumpai siswa yang baru keluar, Tiecia berteriak dengan lantang. "Pergilah dari sini!"

Ada seorang guru berjubah merah, datang untuk menyelamatkan para siswanya. Berambut panjang acak-acakan. Poninya turut memanjang sampai menutupi bagian kedua bola matanya. Tudung kepala dari jubah dibuka. Hidungnya mancung dan ada bekas bibir di bagian bawah pojok kanan. Leher sebelah kanan, terdapat tato berlambang burung elang yang mengepakkan sayapnya. Sedang menggenggam tongkat berukuran panjang dan perisai bundar dengan corak warna antara kuning dan coklat tua.

Tiecia melirik ke samping kanan. Jalan tengah yang dimaksud itu malah menghilang. Gadis berambut pirang keheranan dengan hilangnya tempat tersebut.

"Kau baik-baik saja?" tanya salah satu siswi bersamanya.

"Ya."

"Wahai monster yang berbahaya, segera enyahlah dari tempat ini! Jika tidak, akan kukutuk kau—"

Belum selesai bicara, sebuah cengkraman dari makhluk astral mencekik guru berjubah merah. Rahang giginya menggeram. Lengan kirinya diayunkan dari arah serupa. Tetapi, dia kalah cepat. Kedua telapak tangan dari makhluk astral mencekiknya lebih kuat hingga bersuara keras. Kepalanya mendongak tanpa jiwa. Tubuhnya terbujur kaku. Saat menyerbu lagi, ada suara sonar kembali menerpa para makhluk astral. Mereka pun berbalik arah menuju sebuah dinding koridor. Langkah kakinya berjalan sangat lambat. Gadis berambut pirang melotot tajam pada punggung para makhluk astral. Kedipan mata sembari mengangkat tongkat dengan hati-hati. Memastikan mereka tidak berbalik arah dan menyerang ketiganya. Tangan kirinya membuka pengerat untuk perisai. Di saat dirinya menyentuh tongkat, sebuah elemen api merasuki ke tubuh Tiecia. Kedua gadis berambut pirang terbelalak, dan para siswi yang selamat menghampiri salah satu guru berjubah merah. Disusul oleh Tiecia yang mengawasi para makhluk astral menembus dinding tersebut. Para siswi mengecek urat nadi di pergelangan tangan kanan. Tetapi, beliau telah menghembuskan napas terakhir. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi, salah satu dari mereka telah berteriak meminta tolong pada siapa pun yang lewat. Tiecia berharap, mimpi buruk itu akan segera berakhir.

Nyatanya tidak seperti itu. Para guru yang tidak bertugas, berlari cepat menghampiri peristiwa itu. Menanyakan para saksi yang menyaksikan kejadian tersebut satu persatu. Termasuk Tiecia yang tidak lepas dari pengawasan mereka.

Gadis berambut pirang memejamkan kedua bola matanya. Dirinya telah dibuli oleh Sapphire dan kawan-kawan. Merasa bahwa Tiecia mengalami kutukan yang membuat orang lain terbunuh. Kepalan kedua tangan tidak kuasa menahan emosi. Merasa gadis berambut pirang sangatlah lemah. Suaranya menggeram hingga terdengar oleh salah satu guru di belakangnya. Beliau berdeham dan menyunggingkan senyum.

"Apa anda baik-baik saja dengan kejadian itu?"

"Bohong kalau saya tidak apa-apa," ujar Tiecia membalas berupa senyuman paksa.

Wanita berusia 40an, berambut keriting mengenakan jubah lengkap dengan topi berwarna hitam. Wajahnya berbentuk segi empat, bermata coklat muda dan menatap pada salah satu guru berjubah merah dan para siswi. Sedangkan siswa lainnya berbondong-bondong memeluk atau mengecek kondisi mental para siswa yang melihat makhluk astral. Sadar bahwa mereka dapat menarik perhatian sekitarnya, gadis berambut pirang berancang-ancang untuk pergi.

"Seandainya ibu bertanya lagi, bisa langsung ke kamar asrama saya bu. Nanti saya akan jelaskan. Mau tenangin diri sejenak," gumamnya terburu-buru.

"Tunggu …"

Namun Tiecia tidak menoleh sedikit pun ke belakang. Tahu bahwa ada geng Sapphire menghampiri siswa di belakangnya. Aku tidak ingin dekat-dekat dengan mereka. Bisa-bisa, mereka menyalahkanku atas kematian di sekitarku. Aku harus bersembunyi, gumamnya dalam hati. Hingga Tiecia melihat dua pemuda sedang keluar dari batang kayu berukuran besar. Tepatnya di tengah-tengah koridor. Anehnya, orang-orang tidak menyadari kehadiran mereka. Tiecia mengekspresikan keheranannya sekaligus bingung melihat situasi semacam ini.

"Apa kau tahu maksudnya bukan?"

"Ya. Aku disuruh untuk basmi mereka bukan?"

"Betul sekali. Aku akan—"

Tanpa basa-basi, Kiyoyasu beranjak dari kursinya. Salah satu ksatria menggeram dengan sikap pria itu.

"Duduk! Atau akan kuhabisi—"

Sayangnya, sorot matanya terbelalak tajam. Celananya merembes sampai kucur ke tanah. Menimbulkan bau yang menyengat. Dari sudut pandang ksatria, aura intimidasinya menunjukkan bahwa kemampuannya tidaklah menumpul. Sebaliknya, pria itu tidak segan-segan menghabisinya tanpa keraguan sedikit pun. Ketua Guild cabang yang melihatnya, terdiam sembari mengusap keringatnya. Kiyoyasu pun pergi, membuka knop pintu tanpa keluar dari mulutnya setelah itu. Pintu didobrak dari dalam. Berjalan dengan santai. Aura yang terpancar dari anggota badannya, membuat para pemburu tidak bisa mendekatinya. Itu semua teknik yang diajarkan dalam klan Ogasawara.