webnovel

Chapter 48

"Terus sayang, jangan berhenti."

Desahan demi desahan di antara kedua insan. Keduanya bermadu kasih di sebuah gereja. Tanpa ada suara kecuali mereka berdua. Semua patung Dewa Ila ditutupi oleh kain putih. Salib dan buku disembunyikan. Seorang pria tua menggoyangkan tubuhnya, maju ke depan dan mundur ke belakang berulang kali hingga suara mendesah dari gadis cantik berambut hitam. Telapak tangan dicengkram kuat. Ditarik ke belakang hingga mengerang dalam kenikmatan tiada tara. Serasa dunia ini hanya milik mereka berdua saja. Jubah yang dikenakan keduanya dilepaskan. Menanggalkan pakaian tanpa sehelai benang pun.

"Aku akan keluar …"

Keduanya mengerang kenikmatan. Mencapai tingkat paling atas disaat mendesah secara bersamaan. Pria tua itu melepaskan diri dari pergelutan birahi. Keluarlah cairan putih dari alat vitalnya. Keduanya menarik napas dalam-dalam. Perempuan yang baru saja mabuk cinta, membersihkan selaput kulitnya sampai bersih.

"Tidak kusangka kita berani juga melakukan hal ini di depan Dewa."

"Tentu saja. Lagipula, aku senang bisa mendapatkan apa yang kuharapkan dari hasil sumbangan para warga."

Segopoh koin emas di atas kursi. Tepat sejumlah 100 keping emas pada gadis itu. Keduanya mengenakan jubah pendeta maupun biarawati. Mereka mengelap dan membersihkan cairan putih sampai tidak tersisa.

"Aku adalah pemuka agama tertinggi sekaligus utusan paling tua di antara pemuka agama maupun pendeta lainnya."

"Kenapa kau tidak menyebutkan dirimu sebagai ahli agama ketimbang pendeta?"

Tiba-tiba, dia meludahkan air liurnya ke lantai. Mengenai kursi gereja. Menatap tajam disertai rahang gigi menggertak. Wanita biarawati mengangkat kedua tangannya.

"Maaf. Aku tidak akan bertanya seperti itu lagi."

"Menjadi pemuka agama itu memuakkan tahu! Apalagi, seorang pendeta maupun pemuka agama yang dikenal oleh masyarakat. Rasanya menjijikkan bertemu mereka!"

Tepat sebelum bertemu dengan Desa Mogena, kereta kuda dinaiki oleh Pemuka agama saat itu. Dengkuran cukup keras, mengganggu orang-orang yang berjaga di luar. Dimulai dari para ksatria gereja sampai asisten pemuka agama. Tetapi, tidak ada seorang pun yang protes akan sikap beliau. Suara ringkikan kuda menyembur di mana-mana. Dia tetap tidak peduli. Di matanya, uang adalah sumber mata pencaharian yang diharuskan. Tepat setelah mereka menyumbangkan kepingan uang ke dalam gereja walau sebenarnya jatuh ke dalam kantong pribadinya. Tidak ada seorang pun yang menyadarinya.

Dua ekor kuda telah sampai di tujuan. Tepat saat Kepala Desa Mogena dan Ilmuwan sedang bersujud di hadapan pemuka agama. Terlihat beliau merapikan pakaiannya. Berjalan menginjakkan badan saat melintas. Tidak ada seorang pun yang protes. Membawa sebuah buku tebal dengan tatapan dingin.

Ilmuwan tua memutar ke kanan pada persendian roda gerigi. Suara gerigi saling bergesekan. Tidak menimbulkan bisingan yang tidak perlu. Tabib menaburkan setiap pohon yang terancam punah. Berharap tidak terjadinya layu di depan mata.

Tiba-tiba, dua pria membawa seorang wanita dalam keadaan lusuh dan terluka cukup parah. Rambutnya putih memanjang. Wajahnya babak belur. Darah bercucuran dari keningnya. Indera penglihatannya mengabur lantaran terkena di bagian kedua bola matanya. Serta di sekujur tubuhnya dipenuhi luka hasil cambukan oleh seseorang. Mulutnya dibuka lebar oleh seorang penjagal. Dia hanya mengenakan celana karung berwarna coklat. Menutupi wajahnya kecuali mata. Menggenggam kapak besar disertai menjambak rambutnya. Erangan kesakitan kembali bersuara. Tidak ada seorang pun yang menolongnya atau mendekati wanita tersebut.

Muncullah seorang pria yang berasal dari salah satu petinggi agama terkemuka. Wajah tua dengan penuh keriput. Hidung dan matanya mengalami kerutan maupun komedo. Tiap jarinya, terdapat cincin berukuran besar dari batu mineral yang ada. Rambut beruban, tertutupi oleh topi runcing dengan simbol menandakan pemuka agama terkenal dari ibukota. Telapak tangan kiri menggenggam sebuah tongkat berlambang agama. Jubah berwarna hitam dominan dan emas keputih-putihan. Telapak tangan kanan menggenggam sebuah kitab suci berjudul The Worship Of Ila. Sampul bukunya berwarna hijau kecoklatan. Dengan lambang segi empat disertai tarikan dua garis berlawanan. Garis pertama berupa garis lurus tebal. Sedangkan garis kedua berupa melengkung ke samping kiri. Di dalam segi empat, terdapat simbol mata yang melotot tajam.

"Tuan-tuan dan nyonya-nyonya!" teriaknya. "Dewa Ila selaku pencipta alam semesta, telah memberkati kita berupa panjang umur dan sehat secara jasmani dan rohani. Bahkan memberikan kehidupan yang layak ditinggali untuk kita semua. Kebaikan yang Dewa Ila berikan, tidak boleh disia-siakan begitu saja! Sayangnya, orang-orang terkutuk telah memanfaatkan pemberian Dewa untuk berbuat kejahatan! Seakan-akan Dewa lah yang salah atas dilahirkan di muka bumi ini! Apalagi telah menghancurkan apa yang kita sayangi seperti yang dilakukan oleh wanita biadab ini!"

Penjagal tersebut menjambak rambutnya. Mendorongnya ke depan. Dua penjagal lainnya membuka kayu yang sudah dikunci rapat. Di sampingnya, terdapat dua rantai dari sisi berlawanan. Wanita itu diseret dan dipukul oleh pemuka agama. Tongkat yang dibawanya, diberikan kepada tabib. Wajahnya mengeras, tidak berkeinginan untuk menyaksikan adegan mengerikan tersebut. Tetapi, beliau tidak memiliki pilihan kecuali mengikuti prosedur yang ada. Kedua bola matanya terpejam sejenak. Kedua lengannya menggenggam erat hasil temuannya. Berniat untuk tidak memberikannya kepada Pemuka agama.

"Kumohon lepaskan saya! Aku bukanlah jelmaan iblis! Namaku Jenna! Dan aku tidak ingin mati!"

"Pembohong!" teriak salah satu warga paling belakang.

Sebuah lemparan batu mengarah pada wajah Jenna. Disusul oleh para warga yang melakukannya. Setiap kali dilemparkan, wajah dia berlumuran darah lagi. Pemuka agama menyunggingkan senyuman bibir miring. Membiarkan orang-orang bodoh menyerukan penghinaan terhadap Jenna. Wanita itu meronta-ronta. Memohon ampunan karena dituduh melakukan yang sepatutnya tidak dilakukan oleh manusia lainnya.

"Apa kalian tahu? Ratusan orang di Desa Megona telah mengalami wabah kematian yang disebut Famine selama berbulan-bulan! Apa kalian tega, keluarga kalian mengalami kelaparan yang berkepanjangan hanya karena kemunculan wanita berwajah iblis itu?" sembur pemuka agama.

Semakin dia bersuara, semakin orang-orang tidak bisa menyembunyikan rasa frustasi dan ketakutan mendalam pada Jenna. Berharap wabah iblis segera pergi dari Desa Megona.

Issac yang mendengarnya meski tidak mampu melihat secara jelas, hanya bisa pasrah. Menghela napas setiap kali mendengar suara pria menuduh wanita yang tidak tahu apa pun tentang iblis. Issac yang dipenuhi darah di sekelilingnya, tidak mampu menahan rasa frustasi yang dia alami. Berharap dirinya akan mengalami perlakuan yang serupa. Kepalan kedua tangannya. Begitu lemah. Tidak berdaya menghadapi takdir yang kejam dan menyakitkan. Dalam lubuk hatinya, Issac menginginkan kebebasan. Terbebas dari tuduhan orang-orang yang mengaku dirinya iblis. Termasuk wanita yang bernama Jenna.

"Iblis! Kuperintahkan kau! Untuk menghentikan salju segera! Jika tidak, kami sebagai pengikut setia Dewa Ila akan mengirimkanmu ke neraka paling terdalam! Dan jiwamu akan membusuk sampai abadi!" bentak pemuka agama mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita yang malang.

"Kumohon! Jangan lakukan ini kepadaku! Aku punya keluarga! Dan mereka sangat membutuhkanku!"

Tiba-tiba, sebuah lemparan yang keras mengenai kening samping kanan. Jenna terkejut dengan lemparan semacam itu. Melirik ke asal lemparan tersebut. Betapa kagetnya, yang ternyata lempari itu adalah kedua anak Jenna beserta suami tercinta. Kedua anak mereka berusia delapan dan enam tahun. Suaminya, terus melemparinya tanpa henti. Menangis terisak-isak penuh sesal. Serta tangisan pecah dari anak-anaknya. Jenna pun terkhianati. Tidak percaya bahwa dia mengasuhnya dan inilah balasan yang didapat. Deraian air mata membasahi pipinya. Tertunduk lemas serta pasrah terhadap nasib yang menimpanya.

Sementara itu, Issac menarik napas dalam-dalam. Hembusan napasnya begitu berat. Kedua kakinya sulit untuk berjalan. Apalagi berdiri sebentar. Tangan kanan mengusap keringat. Tidak mendengarkan sisa ceramah mengenai eksekusi terhadap Jenna. Dia sudah menebak selanjutnya. Beberapa detik berselang, suara para warga menarik napas. Issac tidak bisa menyalahkan warga sekitarnya.

Setelah Jenna dieksekusi, pemuka agama itu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sampai Kepala Desa menghampiri beliau, bersujud di hadapan beliau lagi. Putranya memberikan dua kantung keping emas sebagai memanggil jasa pemuka agama. Beliau mengambilnya dengan hidung mendengus.

"Sesuai janjiku. Aku ingin mencari seorang gadis yang berpotensi menjadi pesuruhku. Bila perlu, mendeklarasikan dia sebagai tunangan pangeran."

"Tunangan anda bilang?" ucap Kepala Desa Mogena gemetar.

"Ya. Aku menginginkan pion untuk menjadikan seseorang sebagai tunangan Pangeran."

Mereka pun bergidik mendengarnya. Tatapan yang tajam disertai hawa dingin di sekitarnya, tidak kuasa menghentikan pria pemuka agama itu. Suara langkah kakinya begitu terasa dan berat. Sampai tidak ada seorang pun yang mencegahnya kembali. Takut mereka akan dijadikan sebagai budak atau semacamnya. Para ksatria gereja yang menunggunya, memberikan penghormatan pada pria pemuka agama itu. Beliau melambaikan kedua tangan pada mereka dengan datar. Salah satu pengawal yang bersamanya membisikkan sesuatu di telinganya.

"Apakah anda tidak masalah?"

Namun tidak ada reaksi apa pun darinya. Kemudian, dia menaiki kereta kuda, menaruh kepala di luar. Menatap sekilas disertai berbisik ke telinganya.

"Orang itu masih segar, muda dan penuh ambisius. Jangan sampai aku memungut gadis yang lemah."

Kereta kuda dipacu dari kecepatan rendah pada umumnya. Tanpa menetap lama-lama di sana.

Mengingatnya saja membuat pemuka agama itu membetulkan pakaian yang sempat kotor. Tiba-tiba, tanah bergetar di sekelilingnya. Pendeta dari kuil Dewa Ila berlari kencang, berjalan keluar dari gereja dengan panik. Dia mendongak pada cuaca langit yang berubah secara mengerikan. Petir menggelegar berulang kali. Panik dari orang-orang berlalu lalang, menuju gereja. Pria tua mengenakan jubah langsung berkumandang.

"Ini adalah hukuman dari Dewa Ila terhadap orang-orang yang menentang-Nya! Seperti yang kalian lihat, cuaca berubah menjadi mendung! Petir menggelegar sangat banyak! Angin sepoi-sepoi yang berhembus kencang. Menghancurkan pohon yang ada di sekelilingnya. Jika kalian bertobat kepada-Nya, Dewa Ila akan memaafkan kalian semua. Dan dosa-dosa kalian semua akan—"

Para ksatria dari gereja berlutut di hadapan pendeta kuil. Totalnya mencapai ratusan orang. Siap untuk melindungi rakyatnya. Pendeta berdeham. Membetulkan pita suara karena kesal diganggu ceramahnya. Tetapi, beliau sadar akan hal itu.

"Para Utusan Tuhan, cari tahu penyebabnya dan habisi tanpa sisa sedikit pun atas nama Dewa Ila!"

Suara bergemuruh dari luar kuil gereja. Para ksatria bangkit setelah berlutut di hadapan beliau. Berbalik arah sambil melangkahkan kedua kakinya.

~o0o~

Pria tua berambut mendengar suara petir menggelegar. Melihat siutasi yang ada di luar. Hidungnya mancung, mengaku syok melihat baru pertama kali sosok bayangan itu muncul. Mulutnya ternganga, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Berharap ini bukanlah mimpi belaka. Kedua langkahnya mundur ke belakang.

"Kenapa … kenapa makhluk The Blind Angel Snake muncul kembali? Sebenarnya apa yang terjadi?"

Di saat pria itu tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, seorang wanita biarawati sedang mendongak dari dalam jendela gereja. Tatapan jelas tertuju pada sebuah buku yang beliau pegang. Mirip dengan salinan buku yang dipinjam dari sebuah ruangan misterius. Dia juga mendengar dari luar, seorang pemuka agama sedang berkhotbah kala bencana berlangsung.