webnovel

Chapter 37

Ketiga orang terus berlari. Reruntuhan dari atap ruangan menimpa mereka. Baik Reynold, Issac maupun Tiecia terus menghindar. Baju zirah yang dikenakan Issac memancarkan aura menghitam. Tombak dan perisainya dibuat menghilang dan ditaruh dekat punggungnya. Termasuk Reynold. Kedua laki-laki itu mengeluarkan tongkat sihirnya, mendongak pada batu-batuan yang mau menimpanya. Reynold mengayunkan tongkatnya. Menggeser ke sisi lain. Sedangkan Issac hanya menghancurkannya.

"Kenapa kau menghancurkannya?" tanya Reynold.

"Hanya sihir ini yang terlintas dalam pikiranmu," jawab Issac sekenanya.

"Kau ini—"

"Bisa tidak kalian berhenti bicara dan prioritaskan keselamatan diri kalian sendiri?"

"Bagi kami sudah biasa kok."

Gadis berambut pirang tidak mengerti dengan ucapan mereka berdua. Dengan tenang, mereka terus berlari dan menghindar. Laki-laki berambut perak melihat ada jalan yang belum terkena reruntuhan batu. Dia langsung berbelok ke kiri. Tiecia dan Reynold mengikutinya dari belakang.

"Kenapa ambil—begitu rupanya."

Reynold paham tindakan Issac. Dia melihat jalan itu masih mulus. Suara getaran silih berganti dari atap. Telapak tangan Tiecia memindahkan batu-batuan ke arah berbeda. Dengan tatapan mengerikan, gadis berambut pirang telah berhasil melakukannya. Sampai mereka keluar melalui menaiki anak tangga, getarannya tidak kunjung berhenti. Reruntuhan juga telah menghancurkan rak berisikan ragam macam buku. Akan tetapi, Tiecia, Reynold dan Issac menyelamatkan buku yang mereka bisa bawa. Setelah itu pergi berlari sambil menggenggam masing-masing empat buah buku. Saat itulah, luar ruangan turun ke dalam permukaan tanah. Menutupinya secara otomatis.

Tidak ada seorang pun yang membahas mengenai ruangan tersebut. Sampai detik ini, mereka bertiga menatap jejak ruangan yang menghilang secara otomatis.

"Kalau aku simpulkan, kau sengaja menghancurkan ruangan itu supaya tidak ketahuan oleh orang lain bukan?" tebak Reynold.

"Ap—"

"Kau sudah tahu rupanya. Aku tidak terkejut."

"Tentu saja. Ada alasannya kenapa kau berniat menghancurkan tempat ini tanpa memikirkan rencana dengan matang. Dengan kata lain, itu semacam egoisme yang sudah tidak tertahankan," ucap Reynold. Kemudian, dia menambahkan lagi, "bagaimana dengan dia?"

"Kurasa baik-baik saja. Tapi—"

"Tapi?"

"Entah apa yang terjadi dengan gadis itu. Tiba-tiba, jantungnya berdetak cepat tidak seperti biasanya," ujar Issac.

Pemuda berambut perak itu mengetahui saat dirinya tidak sengaja menyentuh urat nadi dari lengannya. Serta merasakan jantung memompa sangat cepat. Sedangkan Tiecia menyentuh bagian luar kulit di antara dua bukit dadanya. Memejamkan kedua bola matanya, merasakan pompa jantungnya baik-baik saja. Gadis berambut pirang tidak mengerti lantaran sebelumnya sempat mengalami tekanan yang sangat kuat. Sampai-sampai, gadis itu merasakan energi kegelapan serta ada yang memberontak dalam dirinya.

Meski keduanya baru kenal, Issac tidak menyangka Reynold bisa menebak pemikirannya. Sangat berbahaya jika diijadikan sebagai musuh. Sementara itu, Tiecia menggenggam empat buah buku. Sampulnya tidak mengenakkan, yaitu tentang penggunaan sihir, ilmu hitam dan dua buku tanpa judul. Saat hendak dibuka, Reynold mencegahnya berupa mencengkram lengan kanan. Menukarnya dengan buku lain.

"Lebih baik hentikan, Tiecia. Kami tidak ingin kau mengalami kerasukan."

"Kerasukan?" tanya Tiecia pada Reynold.

"Seperti itu," tunjuk Issac pada sosok monster bayangan yang terhisap ke dalam sebuah portal Unknown Origin Dungeon.

Makhluk itu berhasil memasuki ke dalam portal dekat pohon taman yang sudah usang. Saat berlari, Kiyoyasu muncul di tengah jalan. Lengkap dengan pedang katana dan baju zirahnya.

"Hentikan sekarang juga."

"Tuan Kiyoyasu, jika kita tidak hentikan sekarang, maka—"

"Untuk saat ini tidak apa-apa. Makhluk itu akan manifestasi dengan sebuah wadah lama ke baru. Lebih tepatnya—"

"Unknown Origin Dungeon. Itukah yang kau maksud?"

"Betul sekali," jawab Kiyoyasu dari tebakan Issac.

"Tunggu, jika memang benar, makhluk itu—"

Issac berhenti bicara. Telapak tangan kiri menutup bibirnya. Memperhatikan area sekelilingnya. Sorot kedua bola matanya tertuju pada pemikirannya sendiri. Jari telunjuk mengetuk dagu sebelah kiri.

"Reynold, kita akan masuk ke sana sekarang juga."

"Apa kau sudah memikirkan rencananya?"

"Aku tidak tahu. Tapi jika benar, tempat selanjutnya, adalah sebuah kastil dekat lautan. Wulworth Castle."

Issac tahu nama Wulworth Castle dari buku yang dibaca saat berada di dalam ruangan misterius. Ada sebuah halaman yang bertuliskan: 'Wulworth Castle' dilingkari. Beruntung, dia menyimpan buku dari empat buah yang disimpan. Entah kenapa, Reynold merasakan getaran telapak tangan dari Kiyoyasu. Tatapan lama tertuju pada tangannya. Berharap pria yang mengenakan baju zirah bercerita. Kini, yang dia lihat adalah seorang yang mengenakan pakaian tempur, lengkap dengan balutan hitam dilindungi oleh zirah yang tebal.

"Wulworth Castle. Kastil itu bukannya sudah hancur akibat perang melawan The Blind Angel Snake ya?"

"Itu benar. Kemungkinan besar, portal itu menghisap beberapa tempat yang sudah tidak layak dipakai, menggunakannya untuk menyatu dengan The Blind Angel Snake."

"Bagus," gerutu Reynold menggaruk-garuk kepalanya.

Reynold tidak percaya harus menghadapi makhluk terkuat semacam The Blind Angel Snake. Hal itu di luar dugaannya. Saat hendak berjalan, Kiyoyasu mencengkram lengannya. Menggelengkan kepalanya. Pria itu mendongak sekilas pada sorotan mata ke kepala sekolah Clay. Rupanya, beliau berusaha mengejar Kiyoyasu saat dirinya berada di dalam ruangan. Tidak menyangka bahwa pria berbaju zirah dikejar oleh orang yang notabene umur abadi. Tetapi Kiyoyasu tidak mengatakan tersebut di depan ketiga muridnya. Itu adalah rahasia yang dia simpan sendiri.

"Kau mau ke mana, Kiyoyasu Ogasawara?" tuntut Clay.

"Itu bukan urusanmu!" bentak Kiyoyasu.

"Jika kau bawa para muridku ke sana, aku tidak akan—"

Tiba-tiba, Clay merasakan energi sihir dahsyat ada di belakang. Energi tersisa berasal dari The Blind Angel Snake. Tepat satu kilometer dari sekolah akademi, mengeluarkan energi berwarna hitam. Kiyoyasu, Tiecia, Reynold dan Issac melihat itu kesempatan bagus. Mereka langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Clay terlambat bereaksi, ternganga melihatnya.

"Perintah anda, Tuan Clay?"

"Kita biarkan saja mereka pergi," jawab Clay merespon berupa tersenyum.

"Tapi Tuan—"

Sepertinya, aku meremehkan Kiyoyasu. Dia masih menaruh dendam terhadapku karena sudah menunjukkan ingatan yang menyedihkan, gumam Clay dalam hati. Berharap dunia kembali tenang setelah kepergian The Blind Angel Snake sebenarnya.

~o0o~

Sebuah portal terbuka lebar. Tiecia, Issac, Reynold dan Kiyoyasu mengamati sebuah portal setelah mereka berempat sampai di lokasi kejadian. Tidak ada seorang pun yang mendekatinya.

Pada mulanya, warna portal tersebut antara putih dan abu-abu. Akan tetapi, melihat ada varian yang berbeda setiap kali melangkah, tidak ada salahnya untuk mencoba ke dalam. Bentuk spiral dengan memutar berwarna terang. Menampakkan sesuatu yang di luar dugaannya. Bentuknya lingkaran, menyatu dengan garis tepi spiral. Menandakan bahwa lokasinya akan berbeda dari sebelumnya. Itulah hasil pengamatan dari laki-laki berambut perak.

Dua langkah kaki Issac menuju portal. Melotot tajam di dalamnya. Dagunya dielus-elus. Memutuskan untuk masuk ke dalamnya tanpa persiapan terlebih dahulu. Telapak tangannya menyentuh sekilas. Terdorong masuk ke dalam.

"Tunggu Issac!" ucap Reynold.

Disusul Kiyoyasu dan Tiecia mengikutinya dari belakang. Mereka berempat telah sampai di sebuah halaman luas. Dengan jurang terpanjang dan lebar. Mendengar suara burung mengepakkan sayapnya. Membentang di udara dengan puluhan ekor menyebar ke segala penjuru arah. Istana megah dengan nuansa corak Salib abu-abu. Suara lonceng berbunyi akibat tiupan angin yang sangat kencang beserta dinding di bagian menaranya rentan jatuh. Halaman tanpa rerumputan hijau, dengan batang kayu tanpa daun-daunan. Membuat pemandangan tersebut menjadi mencekam. Petir menggelegar sekali lagi. Awan hitam mengelilingi menara Salib tersebut.

Kiyoyasu, Reynold dan Issac saling menganggukkan kepala. Bersiap untuk melakukan pengecekan senjata. Di samping itu, Tiecia nampaknya kebingungan dengan mereka bertiga. Dia menoleh sekitarnya. Disertai petir menggelegar.

"Di mana ini? Di mana ini?"

"Kita berada di Unknown Origin Dungeon. Selamat datang di dungeon penuh misteri."

Tiba-tiba, burung berukuran besar melihat ada mangsa hidup di bawah sana. Memekikkan suara menggema. Membalas respon makhluk burung itu berupa mengangkat senjata masing-masing. Termasuk Reynold yang memegang gagang pedang gergaji dan shotgun miliknya. Kiyoyasu mencengkram gagang dengan kedua telapak tangannya. Menarik napas dalam-dalam untuk berpikir tenang. Sedangkan Issac memasang posisi menyerang. Telapak tangan kanan menggenggam tombak energi berwarna hitam. Menyatu dengan perisainya. Tiecia mengeluarkan tongkat sihirnya.

"Percuma saja kau menggunakan senjata itu," ujar Reynold.

"Kenapa? Apa lebih kuat dibandingkan tongkat sihir?"

"Secara terus terang, yang disampaikan Reynold ada benarnya. Perhatikan teknik serangan kami."

Kiyoyasu berlari sekencang-kencangnya. Telapak tangan kanan mengaktifkan tali pengait ke bagian kakinya. Melingkar hingga membentuk spiral sebanyak tiga pola. Kiyoyasu terdorong sampai ke langit. Senyuman tipis dari bibirnya, menekan tuas tali pengait. Alat tersebut ditarik secara otomatis sembari membelah isi perutnya. Cipratan darah di mana-mana. Menyeringai dengan mata terbelalak. Melompat secara akrobatik, memosisikan diri untuk berpijak pada badannya. Kemudian, Kiyoyasu menekan tuas kembali. Akan tetapi, talinya tidak sampai. Dia mendorongnya kembali. Burung berukuran besar itu mulai terjatuh. Kiyoyasu melontarkan talinya secara manual. Berhasil mengaitkan ke salah satu burungnya. Dia melakukan teknik serupa, mengayunkan kembai pedang katana dari samping kanan. Cipratan darah nyaris mengenai Kiyoyasu. Melompati ke setiap burung yang melintas. Tiba-tiba, mulut dari seekor burung terbuka lebar. Kiyoyasu melompat ke samping. Melepaskan tali pengait, mencoba mengenai burung tersebut. Tetapi, makhluk itu sangatlah pintar.

"Bahaya jika diteruskan begini."

"Aku setuju. Apa kau bisa menggunakan kekuatanmu itu Reynold?"

"Sebenarnya aku bisa saja menggunakannya. Tapi—"

Reynold menatap wajah gadis berambut pirang dengan mengerrnyitkan dahinya. Serta mengedikkan bahu dan bibir sedikit dibuka. Issac menyadari maksud reaksi yang ditimbulkan. Terutama baru pertama kali Tiecia melihat Reynold menggunakan kekuatannya.

"Tiecia, apa kau berjanji tidak akan memberitahukan hal ini kepada siapapun?"

"Aku berjanji."

"Dan bersumpah atas nama Dewa Ila supaya menyimpan informasi berharga supaya tidak jatuh ke tangan musuh?"

"Aku bersedia!"

Kebulatan tekad dari bola mata Tiecia, menyadarkan ingatan dulu dari memori kelam Issac. Laki-laki berambut perak menganggukkan kepala. Topi koboi yang dikenakan Reynold terhempas di udara. Bersiap untuk mengaktifkan kutukan dari kedua lengannya. Sorot matanya berubah. Rahang giginya bergetar. Laba-laba berukuran kecil keluar dari lengan sebelah kiri. Telapak tangan kiri menarik pelatuk pada shotgun. Suara tembakan menggelegar di telinga Tiecia. Kiyoyasu melompat ke atas. Burung berukuran besar terkena serangannya. Meski demikian, efek yang ditimbulkan terlalu kecil di mata makhluk itu.

Kedua lengan Reynold membentang bentuk silang. Dia berjalan cepat. Melemparkan pelontar ledakan sangat jauh. Serta menarik pelatuknya kembali. Dua butir peluru mengenai botol tersebut. Ledakan besar terjadi. Sayangnya, burung besar itu dapat menghindarnya dengan mudah. Kiyoyasu menikam ke bagian punggungnya. Bunyi besi logam terpental ke belakang. Kiyoyasu menduga kulit burung besar itu sangatlah besar. Apa sebaiknya kugunakan 'itu' saat bertarung? Gumam Kiyoyasu dalam hati. Dia tidak memiliki waktu untuk berpikir mengenai selanjutnya. Kedua telapak tangannya bergetar saat mencengkram gagang pedang katana. Lalu diayunkan dengan mengeluarkan energi sihir dalam wujud Odachi. Memotong burung berukuran besar jadi dua bagian. Darah bercucuran membasahi atap istana. Serangan barusan telah mendeklarasikan perang terhadap sekumpulan burung besar yang sempat menjauh. Bagi Issac, itu situasi yang merepotkan.