webnovel

Chapter 27

Kiyoyasu, Issac dan Reynold. sedang berdiskusi sesuatu. Tiecia kebingungan dengan arah pembicaran mereka. Gadis berambut pirang hanya berdiam diri mematung. Tidak mampu mengeluarkan suara dari kerongkongan. Serasa ada sesuatu yang menahannya. Langkah kakinya bergerak menuju pintu keluar dengan cepat. Tidak tahan mengenai arah pembicaraan itu. Kedua tangannya mendobrak ke sana. Sekilas, wajahnya pucat pasi. Issac memperhatikan gerak gerik Tiecia dengan menaruh curiga. Akan tetapi, laki-laki berambut perak mengelus dagunya. Senyum-senyum sendiri seraya tidak sadar diperhatikan oleh Reynold dan Kiyoyasu. Pria berpakaian ninja berbisik ke telinga Reynold.

"Ada apa dengannya?"

"Jangan tanya kepadaku," jawab Reynold mengangkat kedua bahunya.

Issac pun menarik napas dalam-dalam. Berjalan mendekati Profesor Read dan Profesor Tristan. Langkah kakinya melewati para pasien. Menurut Suster Pond, beliau diperintahkan oleh Kepala Sekolah Clay untuk mengutamakan orang-orang yang mengalami luka. Beruntung, para pengajar dengan sigap berhasil melindungi para siswa. Akan tetapi, mereka mengerang kesakitan. Dari kakinya akibat reruntuhan batu besar, terkena sengatan sihir yang menakutkan. Hingga harus melindungi orang-orang yang dicintai. Kiyoyasu tidak dapat mengembalikan apa yang sudah dipanggil oleh Dewa ke langit. Di balik topeng tengu miliknya, Kiyoyasu memejamkan kedua matanya. Tidak ada gunanya meratapi kesalahan yang sudah ada.

"Bagaimana ini? Apa kita harus melaporkan ini kepada Kepala Sekolah Clay?"

"Laporkan sebisa kalian. Tapi jangan beritahu soal Unknown Origin Dungeon. Anggap aja, monster itu muncul karena ulah dari Kerajaan."

"Ap—"

Tiba-tiba, Profesor Tristan berbalik badan, mencekik leher Kiyoyasu dengan tatapan dinginnya. Tongkat sihirnya diacungkan ke pelipis sebelah kanan. Reaksi Kiyoyasu berupa tanpa kedipan dari dalam topengnya.

"Kau tahu aku tidak bisa melakukan hal itu bukan?"

"Memang tidak bisa. Tapi kau berniat melaporkan kepada Kepala Sekolah Clay karena berhutang budi bukan?" tebak Kiyoyasu.

"Tahu apa kau soal diriku!"

"Terlihat jelas di wajahmu," jawab Kiyoyasu.

Pria mengenakan ninja menyunggingkan senyum di balik topengnya. Kiyoyasu menyentuh ujung tongkat sihirnya. Menatapnya sambil menepuk pundak Profesor Tristan. Mencengkramnya dan berjalan mendekati pembunuh tersebut. Telapak tangan kanan menyentuh wajahnya. Terasa dingin dan pucat. Sorot kedua mata dari dalam topeng tengu.

"Rupanya mereka membungkamnya menggunakan sianida."

"Serius?"

Anggukan kepala dari Kiyoyasu. Dengan hati-hati, dia membuka rahang pembunuh tersebut. Dua jemarinya dimasukkan. Mencoba untuk mengambil sampel air ludahnya segera.

"Biasanya, sianida itu alkimia yang sangat berbahaya bagi orang yang mengonsumsinya. Obat itu dilarang diedarkan di pasar karena dosis racunnya lebih tinggi dibandingkan lainnya."

"Kalau saja ada Profesor Watts kemari, beliau sudah pasti akan membedah tubuhnya!" kata Profesor Read.

"Tenang saja. Cairan ini tidak sampai menghancurkan tubuh luarnya kok. Walau demikian, kita harus berhati-hati apabila tubuh kita kena racun. Sekali kau tenggak racun tersebut, nyawa kalian akan habis."

Kiyoyasu tidak menakut-nakuti kedua pengajar. Akan tetapi, sianida itu dikhususkan bagi para pembunuh seperti dirinya apabila terdesak. Memaksa seorang pengguna menutup mulutnya dengan meminum obat sianida. Profesor Tristan melirik sekitarnya. Dari arah samping kanan, terdapat tiang terbuat dari kayu berdiri tegap. Beliau mengeluarkan tongkatnya. Derapan langkah kaki menghampiri pojok bangunan. Telapak tangan mengambil sesuatu di sana. Sebuah bendera kecil dalam keadaan tersobek-sobek. Profesor Tristan menyatukan kembali melalui tongkat sihirnya. Secara otomatis, bendera itu menjadi satu bagian. Betapa terkejutnya Profesor Tristan ada lambang Kerajaan Azucec beserta secarik kertas yang sudah terpotong-potong. Jemari telapak tangan kanan menyentuh permukaan kertas tersebut. Kedua matanya terpejam sejenak. Kiyoyasu menepuk pundak kepada Issac dan Reynold. Pria berpakaian ninja mengintip celah dinding di sebelah kanan. Tertutup oleh kain gorden tipis. Karena penasaran, Kiyoyasu mengeluarkan pedang katana miliknya, menunjukkan aksinya sejenak di hadapan mereka. Selain itu, Suster Pond masih mengecek kondisi Andrew dilanda amnesia.

"Katakan siapa kalian sebenarnya? Sampai sekarang lho kalian tidak jawab pertanyaanku!" tuntut Andrew.

"Bagaiamana menjelaskannya Issac?"

"Jangan tanya kepadaku."

Issac menjawabnya mengangkat kedua bahunya. Pemuda berambut perak meninggalkan Reynold dan Suster Pond. Andrew celingak-celinguk sekitarnya. Nampaknya, dia masih kebingungan disertai menutupi tubuhnya dengan selimut. Gemetar, takut dan dilanda rasa panik berlebihan. Takut karena dirinya akan diancam lantaran merasakan aura tidak biasa di sekitar dia. Kedipan mata berulang kali dilakukan. Melihat bagian dalam selimut tebal putih.

Tiba-tiba, pemuda berambut perak membuka selimutnya. Menarik baju kerahnya sembari menatap kedua bola mata Andrew. Pancaran tatapan di antara keduanya begitu menguat. Tubuhnya mengalami kejang-kejang. Rahang giginya bergetar sangat cepat. Sampai-sampai, mereka yang ada di belakang Issac terkejut. Termasuk Suster Pond berusaha menengahinya.

"Hentikan Issac!"

"Maafkan saya, Suster. Saya hanya—"

"Seharusnya kau tidak boleh menyakiti orang yang baru saja mengalami lupa ingatan. Mentalnya masih belum stabil, kau tahu?" potong sekaligus sembur dari kata-kata Suster Pond.

Pemuda berambut perak tidak menampik perkataan dari beliau. Pada akhirnya, Issac mengalah. Mengambil segelas air yang ada di meja. Menenggaknya sampai tidak tersisa. Kemudian, Profesor Tristan dan Profesor Read telah selesai mengautopsi jasad pembunuh beserta hasil temuan yang didapat. Beliau menerangkan bahwa pembunuh tersebut mendapatkan sinyal bendera dari Kerajaan Azucec untuk membunuh Andrew. Sepertinya, ada pengkhianat di sekolah akademi Daponia. Profesor Tristan menunjukkan hasil investigasi selain di ruang kesehatan. Yaitu dari tubuh Astraldi yang terbujur kaku. Beliau mengambil sampel, membandingkan dengan hasil temuan barusan. Tetapi, Profesor Tristan belum cukup bukti untuk mendapatkannya.

"Apa kau tidak pernah mengecek bukti-bukti yang sudah ada? Entah kenapa, kau tidak memiliki benda fisik untuk menyangkal temuanmu," ujar Reynold.

"Ucapanmu tidaklah salah, Reynold. Tapi masalahnya, kau berbincang dengan dua pengajar."

Tangan kanan Reynold menutup mulutnya. Issac menepuk jidatnya sendiri. Tidak percaya, orang yang dia coba sindir, malah berbelok ke arahnya tanpa disadari. Sebuah pukulan mengenai bagian belakang kepala Reynold oleh Profesor Read. Mengerang kesakitan karena terkena pukulan tersebut. Dia mengelus-elus kepalanya. Kemudian, Issac juga menerima perlakuan serupa oleh Profesor Read.

"Kenapa aku juga kena pukulan?" gerutu Issac.

"Itu karena ucapanmu membuatku kesal."

Kiyoyasu melihat dari jarak jauh. Entah kenapa, suasananya mirip sekali saat dirinya saat masih muda. Penuh canda tawa meski memiliki gap terjauh antara guru dan murid. Di saat situasi menegang, sesekali Reynold melemparkan sedikit candaan supaya tidak tegang. Sedangkan Issac hanya bisa pasrah sekaligus menghentikan aksi konyolnya. Suster Pond duduk di kursi, memperhatikan Andrew yang linglung.

"Seperti yang kau lihat nak. Mereka itu orangnya baik-baik."

Namun sesungguhnya, baik Issac maupun Reynold tidak mengakui bahwa dirinya bukan orang baik. Sejatinya, Reynold dan Issac bukanlah orang tepat untuk dijadikan panutan. Terlihat wajah keras dari kedua laki-laki itu.

Sementara itu, Tiecia berlari kencang menghindari kerumunan banyak orang berlalu lalang. Gadis berambut pirang tidak ingin menatap pada siapapun. Termasuk Joddie dan gengnya. Mereka melirik ke arah Tiecia yang berlari ke arah berlawanan. Hentakan kaki cepatnya melesat, melewati para siswa lainnya. Senyuman bibir menyeringai dari Joddie.

[Aeckland Stronghold Arc Selesai]