webnovel

Chapter 19

Profesor Tristan menarik napas dalam-dalam. Dia berlari ke samping kiri. Berteriak sekencang-kencangnya sembari mengangkat kedua lengannya. Astraldi menghampiri Profesor Tristan. Sedangkan para golem diperintahkan oleh Profesor Read untuk membantu beliau, melalui mengulur waktu sebisa mereka. Astraldi terkena serangan. Wajahnya mengalami luka yang cukup serius. Dia mengelus-elus bagian pipi kanan. Makhluk tanpa kasat mata itu melancarkan serangan balasan. Di sisi lain, Profesor Tristan berencana untuk menyiapkan jebakan yang pas untuk mereka. Telapak tangan kiri menggenggam sebuah serbuk di dalam botol. Serbuk itu berwarna abu-abu. Sudah lama tidak menggunakan benda untuk melawan makhluk itu.

Benda yang dimaksud Profesor Tristan berbentuk botol kecil. Di dalamnya serbuk berwarna abu-abu bercampur warna kuning keemasan. Tristan ingin mencobanya tanpa seorang pun yang mengetahui benda itu. Tarikan pernapasan diafragma memanjang. Profesor Tristan langsung berlari kencang. Mengayunkan tongkat ke arah kanan, batu-batuan dari tanah dilemparkan pada Astraldi. Menyadarkan Profesor Read seraya masih kesulitan mengimbangi para makhluk tanpa kasat mata. Padahal beliau sudah memanggil para golem selagi membantu Profesor Tristan. Sinar laser berwarna merah diaktifkan olehnya. Menyengat ke salah satu makhluk Astraldi. Tubuhnya kejang-kejang.

Profesor Tristan membuka tutup botol kecilnya. Menaburkan sedikit pada bagian ujung tongkatnya. Seketika, efeknya mulai terasa. Serangan laser berwarna merah mengeluarkan pancaran gelombang yang sangat mematikan. Petir menggelegar di mana-mana. Langit pun ikut berubah. Mendukung para pengajar untuk melindungi diri beserta siswa yang ada di dalam. Sisi sebelah kiri gedung sekolah telah hancur. Para pengajar menadahkan kedua lengannya.

Para makhluk Astraldi menghampiri Profesor Read dan Tiecia yang mundur ke belakang. Mencengkram tongkat sihirnya. Tatapan sayu terpancar dari wajah gadis berambut pirang. Profesor Read melirik tajam pada salah satu golem yang tersisa, berupa melindungi Tiecia. Kedua lengannya mencengkram lengan Astraldi.

"Cepat pergi!" teriak Profesor Read.

Akhirnya, kekuatan dari kedua pihak tidaklah seimbang. Berkali-kali Profesor Read dipukul mundur, sambil mengintip aksi dari rekan sesama pengajar, Profesor Tristan. Kedua telapak tangannya digenggam keras. Memutar dari arah belakang. Lalu mengayunkan tongkat lagi dengan kekuatan penuh. Energi sihir dari tongkat yang dimilikinya sangat terasa. Dia meyakini bahwa ikut serta dalam menghadapi para Astraldi sudah tepat.

Selain itu, ada sesuatu yang mengganggu dari makhluk Astraldi itu. Serasa ada sedikit kemiripan dari aura yang terpancar.

Kedua kelopak matanya terbangun. Mendongak pada sihir penerangan. Menoleh ke samping kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tarikan napas cepat, dipompa melalui pernapasan diafragma. Dikeluarkan ke lubang hidung dan mulut. Kedua bola matanya mendelik. Kedua lengannya diborgol sekuat tenaga. Mencoba untuk melepaskan diri. Lengan kanan diangkat ke atas. Mengerang dengan sekuat tenaga.

"Di mana aku?" geram Tristan.

Pemuda itu melotot tajam pada sebuah pintu. Terlihat ahli penyihir dan penjaga yang baru saja dia kenal, Bernard. Tetapi, ekspresinya tertunduk lesu. Membuang muka karena tidak tahan akan siksaan nantinya. Kepalan kedua telapak tangan terasa kuat. Tubuh Bernard gemetaran.

"Bernard. Bisakah kau menjelaskan kepadaku apa yang terjadi? Kuharap ini bukan leluconmu bukan? Yang mana kau menaruh kadal ke dalam bajuku setiap kali berganti pakaian."

Namun tidak ada jawaban dari Bernard. Ahli penyihir itu tidak berbicara sedikit pun. Langkah alas kakinya berjalan ke kiri. Mengambil sebuah buku yang tergeletak dekat dinding. Tristan menoleh sekitarnya. Dindingnya sangat persis dengan ruang saat pertama kali melakukan eksperimen.

Diligent Prince Waldwin sama sekali tidak menginginkan dirinya. Tristan meronta-ronta meminta tolong. Memohon karena tidak sanggup melihat dirinya disiksa. Pecutan demi pecutan silih berganti. Sampai bagian depan penuh luka akibat cambuk. Teriakan keluar dari kerongkongannya. Matanya terbelalak syok sembari menjerit kesakitan.

"Tolong hentikan … aku tidak kuat lagi …"

Namun tidak ada jawaban serius darinya. Indera penglihatannya semakin mengabur. Mulai menyerukan dirinya untuk dibunuh. Satu persatu, impian yang diinginkan mulai hancur karena keserakahan Diligent Prince Waldwin yang menginginkan Unknown Origin Dungeon tanpa memprtimbangkan omongan orang lain. Tiba-tiba, salah satu ahli sihir membacakan sebuah mantra khusus yang tidak diketahui olehnya. Seekor ulat merayap ke dalam lubang telinga Tristan. Masuk mke dalam gendang telinga dan menyuntiknya. Rahang giginya menggeram. Kedua bola matanya mendelik dengan tatapan kesal dan jeritan. Teriakan kencang sampai terdengar dari dalam. Sangat kencang dan mengganggu orang-orang sekitarnya.

"Hentikan!" jerit Tristan bersuara cekokan dari kerongkongannya.

Indera penglihatan mulai mengabur secara cepat. Lalu kembali berubah gelap dan kedua telapak tangannya melemas seraya tidak kuat menahan sakit. Para ahli sihir yang hendak menemuinya, ketakutan saat bertemu dengan ahli sihir lainnya. Peneliti sampai detik ini tidak menunjukkan batang hidungnya.

"Hentikan sekarang juga!" jerit Bernard

"Kenapa kau mengganggu percobaan kami, Bernard?" ucap salah satu penjagal mengacungkan senjata ke leher.

Sosok Bernard tidak lagi takut terhadap benda yang diacungkan. Serta kedua matanya menatap tajam pada mereka. Keringat dingin bercucuran di sekitar wajahnya. Baik Tristan maupun Bernard. Kepalan tangan digenggam erat. Melancajrkan sebuah pukulan ke wajah salah satu peneliti dan penjagal. Tanpa basa-basi, Bernard langsung membuka ikatan pada kedua lengan dan kakinya. Setelah itu, Tristan dirangkul olehnya. Dia tidak ingin kehilangan seseorang yang masih muda dan mendedikasikan untuk terus belajar.

Bernard merangkul lengan Tristan dalam keadaan setengah sadar. Dia berlari sambil menghindari kejaran para ksatria maupun penjagal di sekelilingnya. Langkahnya terasa berat karena terlalu berat. Apalagi, tubuh Bernard mengalami kram pada bagian punggung, setelah sekian lama tidak melakukan pemanasan. Dia mendorong barel untuk memperlambat mereka. Serta cari jalan pintas sekaligus tempat persembunyian yang tepat.

"Maafkan aku, Tristan! Harusnya aku tahu bahwa tempat ini tidak layak untuk orang yang masih polos sepertimu."

"Aku … aku di mana …"

"Itu dia!" teriak salah satu penjaga mengacungkan jarinya.

"Sudah ketahuan kah?" gerutu Bernard.

Dia pun tidak punya pilihan lain kecuali berbelok kiri. Mengambil bahan peledak untuk mengalihkan perhatiannya. Bernard mendorong pintu sekuat tenaga. Mendapati sebuah ruangan dipenuhi banyaknya sampel yang tersusun rapi. Serta tulisan-tulisan yang berisikan organ dalam. Lirikan kedua bola mata tertuju pada botol berukuran besar. Isinya berupa serbuk berwarna abu-abu dengan kuning keemasan. Bernard mencari cara untuk bersembunyi. Sekaligus bertanya-tanya mengenai penutup kain di atas meja. Bau anyir menusuk ke lubang hidung Bernard. Tidak ada waktu untuk menahan bau dan mual. Sampai dia menemukan sebuah pintu di depan. Bernard tidak tahu ke arah mana tujuannya. Lirikan kedua matanya tertuju pada sebuah botol berisikan serbuk dan catatan kecil mengenai makhluk eksperimen oleh para ahli. Telapak tangan kanan diarahkan kepada dada bidang Tristan. Mengaktifkan rune sihir berbentuk lingkaran. Energi sihirnya dipindahkan kepadanya. Kedua bola matanya memancarkan sinar cahaya. Menyilaukan pandangan di sekitarnya.

"Dengarkan aku, Tristan. Mulai detik ini, kau harus memilih jalanmu sendiri. Tidak perlu melayani para bangsawan busuk, baik dengan Kerajaan atau Kekaisaran. Ambil jalanmu sendiri dan lupakanlah tempat ini kecuali nama Unknown Origin saja. Dan jangan pernah injakkan kaki di tempat ini, apapun alasannya!"

Telapak tangan kanan mengeluarkan banyak darah hingga sulit untuk digerakkan. Tetapi dengan begini, Bernard tidak menyesali dengan keputusan diambil. Matanya melirik pada sepasang sepatu. Menadahkan telapak tangan kiri ke sepatu tersebut. Berlari sekuat tenaga menuju portal. Tidak ketinggalan, buku dan beberapa bahan material selain serbuk telah dimasukkan ke dalam sihir ruangan. Hentakan kedua kakinya melesat ke sebuah pintu belakang. Tristan menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Bernard menyunggingkan senyum. Mengucapkan kata-kata yang susah dimengerti karena jaraknya sudah sangat jauh. Pintu langsung tertutup dengan sendirinya.

Penglihatan itu langsung terbuyarkan. Kekuatan energi sihir yang mengalir pada Astraldi telah membuka kenangan nostalgia. Dari awal yang manis sampai pahit. Tepat ketika seseorang tidak mampu melindungi bawahannya. Dia lah orang yang berhutang nyawa padanya. Kedua energi sihir saling berbenturan. Tongkatnya merespon berupa kehangatan energi sihir. Seketika, Profesor Tristan terperangah dengan reaksi tersebut. Mendongak pada sosok yang dikenalinya.

"Tidak mungkin … Bernard!"

~o0o~

"Tidak mungkin … Bernard!"

Profesor Read terkejut dengan perkataan Profesor Tristan. Kedua kakinya melangkah mundur. Wajahnya pucat pasi. Energi sihirnya melemah setelah mengetahui kebenarannya. Profesor Read menurunkan sihirnya perlahan-lahan.

"Tristan, Sadarlah! Mereka itu Astraldi!"

Namun tidak ada jawaban atau respon dari mulut Profesor Tristan. Kedua bola matanya melotot tajam disertai pupil bergerak tidak beraturan. Tubuhnya gemetaran. Berharap hanyalah mimpi belaka. Profesor Tristan menarik napas dalam-dalam. Beliau menekan sekuat tenaga. Mengakibatkan kedua kakinya ikut terdorong ke belakang. Tidak peduli sekuat apapun Profesor Tristan, beliau akan memprioritaskan yang ada di belakangnya. Tiecia hanya bisa menyaksikan pertarungan kedua pihak yang semakin berbahaya dan intens. Ditambah lagi, Profesor Read mulai kehabisan tenaga untuk mengendalikan para golem.

Sebuah pukulan uppercut mencoba mengenai Astraldi. Tetapi, makhluk itu menghindar. Tiecia mencengkram lengan kanan. Fokus memuttar lengan kanan sembari memegang tongkat sihir. Gadis berambut pirang mengeluarkan energi berwarna biru beserta kilatan petir. Mengaktifkan salah satu golem yang terdesak.

"Kydwelly, apa yang kau—"

Belum selesai bicara, tiba-tiba golem memancarkan sina berbeda dari biasanya. Profesor Read mulai melemas. Membiarkan satu golem dikendalikan oleh Tiecia. Sedangkan sisanya Profesor Read. Pukulan demi pukulan terus dilakukan. Tetapi lengannya menembus tubuh Astraldi. Energi dalam tubuh makhluk tanpa kasat mata memancarkan sengatan listrik yang mematikan. Tiecia pun melepaskan energi sihir tersebut. Menyerahkan semua pada golem tersebut. Walau demikian, situasinya tetap tidak berubah. Jika terus menerus dibiarkan, Profesor Read tidak akan sanggup menahan lebih lama. Beliau menoleh ke arah Tiecia, yang baru saja kehilangan keseimbangan akibat energi sihir miliknya.

"Kydwelly, tolong bantu sadarkan Profesor Tristan."

"Tapi—"

"Kumohon, Tiecia. Hanya kau satu-satunya yang bisa bantu."

Tiecia sebenarnya agak ragu dengan ucapan Profesor Read. Tetapi situasi tidak memungkinkan, gadis berambut pirang tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan yang baru saja diperintahkan. Golem yang lepas kendali mengalami retakan pada lengan kanan. Astraldi mencengkram kedua bahunya. Berusaha menekan sekuat tenaga. Golem tersebut melotot tajam pada makhluk tanpa kasat mata. Getaran antara mesin dengan cairan tubuh pada Astraldi begitu kentara. Hampir menyadari ada sesuatu yang salah. Tiecia memperhatikan bagian belakangnya. Cairan berwarna biru telah keluar, luka menganga tertera jelas. Tiecia berlari sekencang-kencangnya. Menghindari genggaman tangan para Astraldi. Wajahnya panik dan tidak berani menoleh ke belakang. Hentakan kaki golem dihancurkan. Terutama bagian engselnya. Suara keropos terdengar kencang. Lututnya tidak dapat berdiri lagi. di sisi lain, Tiecia berlari menemui Profesor Tristan yang terus gemetaran. Kedua lengannya menadah ke depan. Bola matanya terpejam sambil berharap beliau menangkapnya. Usaha yang dilakukan Tiecia berjalan dengan baik. Pelukannya diterima oleh Profesor Tristan.

Gerakan tangannya begitu cepat. Tongkat sihir yang baru saja terjatuh, langsung mengacungkan ujung tongkat ke salah satu Astraldi. Mengalirkan energi sihir ke tubuh makhluk tanpa kasat mata. Sengatan petir itu berantai satu ke lainnya. Tangan kanan menaburkan kembali berupa bubuk ke ujung tongkat. Tiecia pun turut membantu. Tetapi, tangan kanan mendorong ke belakang.

"Jangan menganggu! Aku tahu apa yang harus kulakukan!" bentak Profesor Tristan kepada Tiecia.

Gadis berambut pirang tertunduk lemas. Reaksinya melongo, melihat kemampuan Profesor Tristan yang tidak ada habisnya. Erangan dari bibirnya menunjukkan secercah harapan untuk bisa bertahan dari Astraldi.

Tiecia mendongak pada salah satu Astraldi. Menghampiri Profesor Tristan. Sebuah genggam yang nyaris meremukkan tubuh beliau. Sengatan itu juga mengenai sisanya. Bergetar hebat dan ketiganya langsung tersungkur ke tanah. Hentakan keras menandakan berakhirnya makhluk itu menyerang mereka. Kejang-kejang akibat mengalami sengatan khusus. Professor Tristan langsung duduk melemas. Kedua kakinya selonjoran. Merasa kelelahan akibat bertarung dengan ketiga makhluk tanpa kasat mata. Tiecia mengambil botol itu. Mendengus baunya. Baunya menyengat di hidung dan terasa menjijikkan.

"Itu serbuk dari daging manusia. Kelemahannya terletak pada buku terdiri dari amonia, daging yang sudah diperhalus hingga taburkan magnesium."

"Menjijikkan," komentar Tiecia menyipitkan kedua matanya.

Walau begitu, gadis berambut pirang tidak ingin bertanya lebih lanjut lagi proses amonia. Tiecia pun ikut-ikutan selonjorkan kaki. Melemaskan otot gerak pada kedua kakinya. Hingga mereka berdua melihat Issac dan Reynold sedang keluar dari sebuah portal. Entah bagaimana mereka bisa ada di sana, Profesor Read dan Profesor Tristan hendak menemui kedua siswa itu. Akan tetapi, ketiganya memprioritaskan keamanan para siswa. Sementara itu, keduanya tidak menunjukkan ekspresi aapapun. Berusaha bersikap dingin kala bertemu dengan para siswa yang keluar dari tempat persembunyian.