webnovel

Chapter 10

"Makhluk tanpa kasat mata kata anda?" ucap Kris terbelalak kaget.

Reynold mengelus dagunya beserta menatap tiang koridor kiri. Bibirnya tertutup rapat. Tidak mengatakan apapun. Menunggu Profesor Watts melanjutkan untuk bicara.

"Mungkinkah … Astraldi?" tebak Reynold.

"Astraldi? Saya baru pertama kali mendengarnya," ucap Profesor Watts.

"Ayah saya pernah bercerita mengenai eksistensi dia. Makhluk itu adalah roh-roh yang sudah mati, dibangkitkan kembali oleh seseorang untuk membalaskan dendam. Hanya saja, kasus ini jarang terjadi selama 150 tahun lamanya."

"Hingga dua orang tewas dibunuh ya? Sepertinya, saya harus bertanya kepada Profesor Tristan."

"Anda yakin? Bukankah beliau itu guru sejarah dan mistikologi ya?"

"Betul. Tapi beliau pernah terlibat dalam sebuah insiden. Lebih tepatnya, peristiwa berdarah bernama Edgeville Incident di Edgeville Prison."

Meski Profesor Watts mengatakan hal demikian, Reynold yakin ada koneksi antara Edgeville Prison dengan Aeckland Stronghold. Karena dua tempat itu saling keterkaitan satu sama lain. Terutama merupakan sarangnya monster 15 tahun silam. Tepat saat Ayah dan Ibu Reynold berpetualang. Serta dirinya masih belum lahir saat itu.

Reynold masih kepikiran perkataan yang terlontar dari mulutnya. Hati nurani pemuda itu mengatakan bahwa itu bukanlah diri dia sesungguhnya. Lidahnya berkelu, memfokuskan diri terhadap apa yang dia dapat. Genggaman telapak tangan kiri mengepal erat. Sorot kedua bola matanya tidak bisa fokus. Terpecah menjadi delapan bagian.

Sial! Lagi-lagi kutukan itu muncul kembali! Umpat Reynold dalam hati. Aku harus mencari cara untuk bisa kembali normal. Jika tidak, mereka akan mencurigaiku sebagai dalang di balik pembunuhan para monster, gumam Reynold dalam hati. Dia mengikuti Profesor Watts yang menganalisa sesuatu mengenai Astraldi. Tongkatnya diayunkan pelan. Memancarkan dua bola berupa artikel tentang makhluk astral tersebut. Karena penasaran, Reynold menatap punggung beliau. Tersenyum kecut sembari mencengkram telapak tangannya sendiri.

"Reynold, tolong ya."

Dia berbalik arah. Meninggalkan tempat kejadian perkara. Reynold berbelok kiri menuju ruangan Profesor Tristan. Sadar bahwa dirinya akan dicurigai jika terlalu lama di sana. Derapan langkah sepatu yang dikenakan. Bersembunyi di balik bayangan itu. Tangan kanan merogoh saku celana maupun baju yang dikenakan. Reynold menemukan pil yang dia cari. Berwarna merah dengan garis tepi mendalam. Dia menelannya sampai masuk ke dalam kerongkongan. Reynold mendongak ke atap langit. Mengedipkan kedua bola matanya. botolnya diambil. Diminumlah botol tersebut hingga menyisakan separuh. Menghela napas lega.

Reynold mengintip dari celah koridor. Melihat dari kejauhan sosok Profesor Watts. Memicingkan kedua matanya. Bersuara menggeram dari rahang giginya. Meneteskan air liurnya. Lalu banjir sampai tumpah di lantai. Menggeram sambil mencakar dinding tersebut. Tiba-tiba, kedua bola matanya berkunang-kunang. Merasakan kepala mulai pusing. Reynold pun merunduk. Kepalanya dicengkram sanga keras. Dia berjalan sempoyongan. Serasa kepala Reynold dipukul dengan palu besar. Rahangnya terbuka lebar, meneteskan air liurnya lagi. Dia terus berjalan. Memegang tembok. Tangannya dikepalkan dan menghantam keras dinding itu. Beberapa menit berselang, Reynold dapat berjalan secara normal.

Muncullah Issac yang berlari dari arah berlawanan. Menghampiri Reynold yang tubuhnya dekat dengan tembok. Kedua bola mata dia terpejam sejenak. Menarik napas sejenak sambil memasang wajah senyum lemas. Issac dari berjalan cepat menghentikan gerakan kedua kakinya.

"Ada apa denganmu?"

"Hanya lelah saja mengikuti dan disuruh oleh Profesor Watts. Apalagi harus temui Profesor Carr," ujar Reynold.

"Baiklah. Aku akan membawamu ke sana. Tapi sebelum itu. Dengarkan kisahku ketemu dengan Profesor Read. Kemungkinan kau akan suka."

~o0o~

"Dan kau tahu itu berdasarkan—"

"Orang tua saya," potong Issac berbohong berusaha menyembunyikan kebenaran mengenai Unknown Origin.

Pemuda berambut perak menunjukkan secarik kertas yang dia ingat beberapa waktu silam. Tepat saat dirinya berada di Aeckland Stronghold. Dari penggambaran yang detail, membuat Profesor Read bergumam panjang. Gigi bagian atas menggigit bibirnya. Memiringkan bibir ke kiri.

"Aku akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kau harus ingat. Tidak boleh memberitahukan ini kepada siapapun."

Respon dari Issac berupa anggukan. Pemuda berambut perak juga tidak berminat untuk memberitahukan kepada siapapun kecuali Reynold. Karena dia satu-satunya yang mengetahui Unkown Origin itu sendiri.

Sampai menjelaskan semuanya, Reynold mengangguk-angguk pelan. Dua jemarinya menyentuh dagunya. Secara garis besar, Reynold paham dengan situasi yang ada. Dia berpikir keras mengenai hubungan antara Edgeville Prison dengan Aeckland Stronghold. Sampai dia teringat sesuatu.

"Apa jangan-jangan ada sebuah pintu rahasia yang terhubung," gumam Reynold.

"Pintu rahasia katamu?"

"Ya. Ayahku pernah menceritakan mengenai eksistensi makhluk tanpa kasat mata. Makhluk itu bernama Astraldi. Bisa dibilang, mereka merupakan roh-roh yang sudah mati, dibangkitkan kembali oleh seorang Sage bernama Bronat Grakina untuk membalaskan dendam kepada dimensi The All Region karena mencampakkannya. Kasus ini jarang terjadi selama 150 tahun lamanya."

"Sampai ada seseorang yang membuka portal secara sengaja."

Anggukan suram dari Reynold. Issac menelan ludahnya. Pria bernama Bronat Grakina sudah meninggal. Tetapi warisannya telah merepotkan banyak orang. Termasuk kehidupan orang tidak bersalah.

"Tapi tidak perlu khawatir. Karena Sage itu sudah berhasil dikalahkan oleh empat pahlawan!" kata Reynold menyeringai.

"Empat pahlawan katamu bilang? Mencurigakan," sahut Issac.

"Menurutmu begitu?" cibir Reynold.

Kedua pemuda itu berjalan sampai ke ruangan Profesor Tristan. Saat berada di pintu, Issac melirik pada tiga pembuli sedang mengikutinya dari belakang. Reynold tidak menyadari hal itu. Pemuda berambut pendek tidak mempermasalahkan dirinya diikuti. Yang jadi masalahnya adalah pembuli bernama Andrew tidak sengaja menyentuh sebuah pintu ke dalam portal Unknown Origin. Mereka pun berteriak meminta tolong. Tetapi sudah terlambat. Mereka langsung terhisap dengan cepat. Issac membuka mulutnya. Terbelalak tidak percaya bahwa Unknown Origin telah dimasuki orang tidak dikenal. Reynold dan Issac saling menganggukkan kepala. Reynold melepaskan rangkulan barusan. Dia meminum obatnya dalam takaran maksimal dua butir. Itu sudah lebih dari cukup. Hembusan napas mulut membesar. Mereka pun menarik pergelangan lengan hingga melemaskan otot kakinya. Berlari kencang mengejar sebuah jalan menuju Unknown Origin.

"Meski dia membuli dirimu, kau tidak membalasnya?" tanya Reynolds.

"Untuk apa? Hanya buang-buang waktu meladeni mereka."

"Benar juga. Tapi kita tidak boleh membiarkan mengetahui tempat itu apapun terjadi!"

Issac mengangguk setuju dengan perkataan Reynolds. Terlebih, dia dapat memperkuat diri dengan melawan beragam monster di sana. Serta berencana mengungkapkan misteri sesungguhnya di balik Aeckland Stronghold.

Kedua pemuda itu berbelok, menyentuh knop pintu menuju Unknown Origin. Mereka langsung terhisap ke dalamnya. Di balik koridor, terdapat Triecia yang ternganga tidak percaya. Keringat bercucuran di sekitar wajahnya. Telapak tangan kanan membungkam mulut. Menarik napas dalam-dalam. Kedua bola matanya tidak percaya dengan apa yang barusan dia saksikan. Gadis berambut pirang berbalik arah. Berencana memberitahukan kejadian itu pada pengajar terdekat. Tetapi, nampaknya mereka sedang terburu-buru ke ruang kepala sekolah. Menaiki anak tangga. Memasuki sebuah pintu berbentuk lingkaran dengan menggelinding ke samping kanan. Tiecia tidak bisa mengandalkan orang dewasa untuk membantunya. Jantungnya berdegup kencang secara tiba-tiba. Kedua lengan dan kakinya gemetaran. Wajahnya pucat pasi. Kedipan kedua bola mata begitu kentara. Sampai dia celingak-celinguk tidak jelas.

"Aku tidak boleh takut. Aku tidak boleh takut. Aku tidak boleh takut. Aku tidak boleh takut!" ucap Tiecia sepanjang melangkahkan kedua kakinya.

Tiecia berusaha untuk berjalan ke pintu tersebut. Mencoba melawan semua ketakutan yang ada dalam dirinya.

Hingga gadis berambut pirang mendengar suara teriakan dari sana. Suara itu menggema ke telinga Tiecia. Dia menutupi lubang telinganya, membacakan doa sembari berharap Dewa pencipta Ila melindungi dirinya dari bahaya. Tiecia berlari menghindar dari pintu tersebut. Tanpa menoleh ke samping atau sekitarnya.