webnovel

15 Sleep

"Bobby," satu nama meluncur dari bibirnya. Semua bayang masa lalu tampak nyata di hadapannya seperti benar-benar terjadi. Namun detik itu, Anya segera sadar akan tindakannya. Setiap dia tertidur atau tidak sadarkan diri, dia selalu mengingat tentang masa SMA yang ia jalani bersama Bobby.

"Ya ampun, jadi saat aku nggak sadar kemarin aku mengingat memori itu secara utuh," gumamnya seorang diri.

Anya sempat kecelakaan mobil hingga dia tidak sadarkan diri selama beberapa waktu dan sejak itulah bayang masa lalu sering datang menghampiri saat dia tertidur. Setiap malam dia bermimpi dan tidak ada hal lain yang mengisi mimpinya kecuali tentang kisah masa SMA.

Baru saja dia tertidur di meja dan bayang masa lalu itu datang. Dirinya seolah berjalan melewati waktu, dia mundur ke belakang seolah diberi kesempatan untuk mengulang kembali apa yang sudah dia jalani.

Untuk itu dia memutuskan bahwa malam ini dia tidak akan tidur. Anya segera menggeser layar handphone kemudian memesan kopi melalui ojek online. Dia butuh satu galon kopi malam ini agar dia tidak mengantuk. Tak peduli besok dia harus mengajar, Bobby yang menghilang itu lebih baik diikhlaskan daripada dicari keberadaannya. Sekarang dia harus menghargai perasaan Jenan. Pria itu menyayanginya dengan penuh rasa sabar. Bukankah wanita harus menerima seseorang yang pasti daripada menunggu yang tak pernah kembali?

"Nya! Kopi!"

Suara mamah Anita yang cempreng mengagetkan Anya. Kopi yang ia pesan sudah datang. Sedetik kemudian hanya keluar kamar, dia mengambil kopi dari tangan mamanya. Ojek sudah ia bayar melalui e-money.

"Makasih, Ma."

"Wah, bu guru mau begadang?" tanya mamah.

"Mau bikin RPP sekalian soal ulangan," jawab Anya.

RPP adalah Rancangan Pokok Pembelanjaran yang harus dimiliki seorang guru. Anya sudah selesai membuatnya tapi dia hanya mencari kesibukan demi mengisi malam tanpa tertidur sama sekali. Ini memang tidak baik tapi harus ia lakukan demi melupakan bayang masa lalu.

"Sibuk banget kayaknya, namanya juga guru tetap, nggak kayak papa, tenaga honorer mulu sampai tutup usia," ceplos mamah.

"Mah, papa udah nggak ada."

Anya mengingatkan, papa sudah meninggal saat Anya kuliah semester lima.Saat itu Bobby masih menemaninya meskipun dari jarak jauh. Dia kehilangan dua pria di tahun yang sama.

Diapun menusukkan sedotan ke gelas kopi tanpa menawari pada mamahnya karena memang mama tidak suka kopi atau minuman sejenis.

"Aku balik kamar ya, Ma."

Mamah mengangguk kemudian kembali ke ruang kerjanya. Mereka melanjutkan kegiatan masing-masing. Setiap langkah Anya terasa berat, malam ini Dia memutuskan untuk tidak tidur padahal biasanya dia selalu tidur tepat waktu.

Setidaknya malam ini dia bisa melupakan masa lalu. Namun usaha itu gagal karena saat membuka mata, ia berada di kantin saat istirahat.

"Nya, gosip itu makin santer gara-gara lo dapat nilai matematika paling bagus," tukas Renata sembari mengigit bakso.

"Yaelah, Itu bisa-bisanya temen sekelas aja sih. Kata Bobby haters gonna hate, sekeras apapun kita berusaha untuk menyangkal tapi pemahaman mereka sudah terlanjur seperti itu. Ya sudah, aku marah juga nggak akan mengubah apapun," kata Anya pasrah.

"Kalau mereka udah keterlaluan, kita perlu bertindak karena yang gue denger sampai ada yang menghadap pak Jamal karena nggak terima lo selalu dapat nilai terbaik padahal dia yang dapat peringkat satu di kelas," pancing Renata.

"Serius, Rahma ngadep pak Jamal?" Anya mulai terpancing, kali ini giliran dia yang julid.

"Iya, dia iri padahal di pelajaran lain dia selalu terbaik."

"Aduh, nilai doang. Lagian gue cuman beruntung aja dan ngapain ngejar nilai tinggi?"

"Mungkin bagi dia nilai adalah segalanya emang kayak kita yang penting naik kelas?"

"Iya, yang penting naik kelas dan masuk kuliah."

"Gue mau kuliah di Korea, lo mau di mana?" tanya Renata enteng.

"Lu mah enak anak CEO rantang, gue mah anak siapa, bukan boss."

"Rantang lu kata," Renata tertawa, memang itu kenyataannya. Renata adalah anak dari perusahaan alat rumah tangga yang cukup populer tapi sikapnya tidak pernah sok kaya malah dia tetap memilih sekolah di negeri ketimbang sekolah Internasional.

"Ya, gue kuliah di sini-sini aja sih pengen jadi guru."

Anya sudah menentukan cita-citanya, dia ingin seperti papa yang mengajar dengan tulus. Mereka lanjut makan sampai bel masuk kelas. Pelajaran dimulai, guru masuk silih berganti sesuai jadwal.

Pulang sekolah, tanpa diminta atau komunikasi lewat handphone, Anya menunggu Bobby depan gerbang. Dia celingukan, memperhatikan setiap orang yang lewat. Siapa tahu Bobby siap menjemputnya. Mereka nggak janjian sama sekali tapi dengan perasaan yang saling bertaut hanya percaya kalau Bobby akan datang. Namun sampai sekolah semakin sepi karena murid sudah banyak yang pulang, Bobby tetap tak nampak batang hidungnya. Di tengah panas matahari yang terik, pak Jamal mendekatkan sepeda motornya ke arah Anya.

"Belum pulang?" tanya pak Jamal.

"Belum, Pak," jawab Anya dengan kikuk. Dia menarik kedua sisi tas ranselnya. Ada rasa khawatir dalam dadanya saat Pak Jamal ada di hadapannya. Takut ada yang melihat dan rumor itu kembali santer terdengar.

"Sini sama bapak, mungkin papa kamu lagi ada rapat di sekolah jadi nggak bisa jemput," tawar pak Jamal. Anya bermaksud menolak tapi tidak enak karena guru matematika itu adalah teman papanya.

"Sebentar lagi dijemput, Pak."

Kepala Anya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Ia sedang berpikir tentang kemungkinan yang terjadi kalau ia ikut dengan pak Jamal. Namun saat dia sadar kalau nyaris tidak ada satu muridpun di sekolah, ia mengganggu kemudian ikut pak Jamal pulang. Faktanya mereka adalah guru dan murid bukan seperti apa yang jadi buah bibir di kelas XI IPA 5.

Tanpa Anya sadari, Cesa memotretnya dari sisi kanan gerbang sekolah.

Sama perjalanan pulang, pak Jamal coba mengajak ngobrol Anya. Rupanya beliau sudah sedikit mendengar kalau mereka sedang jadi buah bibir.

"Anya yang sabar, mau diomongin seperti apa yang penting kamu tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan. Kamu hanya fokus belajar, lulus sekolah, bikin bangga papamu. Beliau pengen kamu jadi guru meneruskan jejaknya dan ternyata kamu memang beneran pengen jadi guru bukan lantaran keinginan papa," nasihat pak Jamal.

"Iya, Pak."

"Jangan lupa kalau mau jadi guru fokusnya di pendidikan biar antara kuliah dan pekerjaan nanti bisa nyambung," ujarnya lagi.

"Kalau jurusan pendidikan bahasa inggris bagus kan, Pak?" tanya Anya.

"Jelas bagus banget," kata pak Jamal.

Sementara mereka mengobrol, ternyata Bobby baru saja keluar dari sekolahnya karena dia baru dapat hukuman. Dia ketahuan manjat tembok sekolah untuk bertemu dengan Anya.