KANISA, itulah nama anak perempuan yang sedang berjalan dengan membawa tumpukan buku di kedua tangannya. Tidak. Dia bukan si kutu buku yang pintar segalanya. Dia juga bukan siswa populer di SMA ini. Dia hanyalah, siswa biasa yang suka menumpahkan cerita sad ending di dalam naskahnya.
Gadis itu berjalan dengan beberapa novel romantis yang berakhir happy ending. Katanya, dia ingin membuat naskah dengan ending berbeda. Walaupun niatnya itu hanya sampai di mulutnya saja.
Seseorang memanggil. "Hey, Kanisa. Tiga menit lagi masuk. Aku sudah bilang, kamu harusnya sudah datang ke sekolah, minimal 15 menit sebelum masuk," kata Maya-sahabat Kanisa. Dia memiliki kepribadian yang berbeda dengan Kanisa. Dia si kutu buku dan si populer di sekolah ini.
"Ah, iya, iya," jawabnya. Kanisa melirik rambut Maya. "Rambutmu baru, ya?" tanya Kanisa yang berhenti menyimpan sementara tumpukan buku itu di lantai. Tidak lupa dia meregangkan pinggangnya seperti nenek jompo.
"Ya ampun, dasar nenek tua. Aku juga sudah bilang, Kanisa. Kamu harus mulai olahraga," ucapnya yang sama seperti hari-hari yang lalu.
"Ah, diamlah. Kamu cerewet sekali. Cepat bantu aku. Lihatlah, banyak orang melihat ke arah kita," kata Kanisa. Dia cukup kesal dengan pandangan orang-orang.
'Bahkan aku merasa bisa melihatnya. Cahaya yang menyorot bidadari di depanku ini. Dengan teman-teman yang terpukau akan cantiknya. Dan aku ... ditempatkan di tempat paling redup dan tidak mendapatkan cahaya titisan Author,' gumamnya.
"Wah cantiknya, Maya."
"Maya, kamu belum punya pacar, 'kan?" kata anak laki-laki di sebelahnya.
"Maya, kita makan bakso mang Koboy, yuk?" tawat laki-laki lain.
Begitulah lontaran cinta dari para buaya menjijikan itu.
Kini, Kanisa dapat melihat kembali cahaya yang menyorot seorang laki-laki tinggi dengan bahu lebar di sana.
"Hah? Siapa itu?" tanya Kanisa kepada Maya.
Maya tidak menjawabnya. Dia malah menimbulkan garis-garis merah di pipinya.
Laki-laki dengan seragam sekolah yang sama itu, terus melangkah maju kepada Maya. Lalu, dia berlutut dengan membawa satu buket bunga dan menyelipkan cokelat di sana. "Maya, maukah kamu jadi pacarku?" kata Kevin-salah satu laki-laki populer di sekolah ini.
"Wah, berasa Pangeran melamar Putri, ya" kata salah satu orang di belakang Kanisa.
"Maya cantik sekali. Kevin juga sangat tampan. Aaaaa! Sepertinya hidungku akan mengeluarkan semburan darah," ucap Nina.
"Hey, jangan di sini," kata Kanisa kesal.
"Ah, sepertinya aku juga," kata temannya Nina.
Kini, Kanisa berasa dilingkari makhluk zombie. Semua perempuan dan laki-laki menyemburkan darah dari hidungnya. Begitulah mereka saat melihat dua insan yang sudah ditulis takdir ini.
"Aku menerimanya," ucap Maya dengan tangan yang menutupi mulutnya malu.
"Aaaaaaaa! Tidaaaakkkk!" Kanisa berteriak melihat Maya menerima laki-laki itu.
"Hey, Kanisa. Bangun tidak? Kanisa!" bentak Nanda-ibu Kanisa. Nanda menyipratkan air minum ke wajah Kanisa yang penuh dengan belek.
"Ah, anakku jelek sekali," ucapnya yang sudah bosan menyiprat air.
"Aaaaa!" jeritnya kembali bersamaan dengan dia mengangkat tubuhnya untuk bangun.
Prang!
Gelas yang dipegang Nanda pecah oleh anaknya. Raut Nanda sudah berbeda. Matanya tiba-tiba membesar. Darah panas menaiki inti wajahnya. "KANISA!" teriaknya dengan tangan yang memegang pinggang.
"A-aku akan ke kamar mandi, Bu," ucapnya cepat. Kanisa melompat dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Air terus mengguyur deras tubuhnya itu. Kanisa, dia melamun mimpinya tadi. "Ah, bagaimana aku memimpikan hal itu? Kevin dengan Maya jadian? Tidak! Itu hanya mimpi! Kenapa di mimpi saja aku selalu sial," umpatnya.
Selesai membersihkan dirinya, Kanisa mulai berdandan dengan rambut yang diberikan jepit biru dekat pelipis kirinya. "Nah, kalau begini cantik,' kan? tanya Kanisa kepada cerminnya.
"Hey, cermin ajaib. Apakah aku cantik? Tidak? Baiklah, kamu memang cermin tidak berguna," kata Kanisa yang menanyakan dirinya kepada cermin dan menjawab sendiri.
"Kanisa!" panggil Nanda sambil berteriak.
"Cermin ajaib, nyonya di rumahku sudah memanggil. Aku pasti akan disuruh membersihkan rumah, mencuci baju dan memberi makan kucing peliharaannya," ucapnya kembali.
Hingga Kanisa tidak sadar. Ada yang sudah melihat kelakuannya. Laki-laki itu tampak memeluk pintu kamar Kanisa. Tidak lupa dengan ekspresi jelek andalannya. "Hah! Kakak! Aku kaget tahu," kata Kanisa yang memegang dadanya terkejut dan sengaja di lebih-lebihkan.
"Lebay! Cepat, anak pungut. Sudah dipanggil Ibu, tuh," suruhnya sambil menarik seragam Kanisa.
"Hanya ada satu kakak di dunia ini yang memperlakukan adiknya seperti anak kucing jalanan," ucap Kanisa pasrah.
"Kamu memang anak pungut dari jalanan, lho, Kanisa," sindir Radit.
"Hey, diam tidak! Dasar Radit terkutuk! Sudah jelek, bau, kucel, pelit! Pokoknya kak Radit paling jelek sedunia!" teriak gadis itu. Matanya bagaikan menampakan api yang siap menelan hidup-hidup kakaknya.
"Mana ada aku pelit, yang kasih kue cubit kemarin itu aku, tahu," balasnya tanpa berteriak. Namun dengan senyum mengejek.
"Hey, hey, sudah. Jangan bertengkar lagi. Tidak baik bertengkar di depan makanan," kata Nanda kepada kedua anaknya itu.
Mereka memang sering bertengkar. Selalu masalah sepele. Bertengkar karena susu pisang milik Kanisa diminum Radit, gitar Radit yang dipetik dengan kaki Kanisa yang masih terbungkus kaus kaki bau, walpaper laptop Kanisa dengan wajah Radit, drum milik Radit yang dihiasi ala Joker lah. Lebih banyak dari itu. Mereka, selalu bertengkar hal sepele itu namun, memusingkan kedua orang tuanya.
"Aduh, aduh, anakku ini sudah besar tapi kelakuannya masih kaya anak kecil, ya, Bu. Haruskah kita masukan mereka ke Pondok? Ayah letih sekali melihat mereka bertengkar. Bagaimana jika Ayah meninggal. Ibu bagaimana coba?" kata Umar-Ayahnya Kanisa. Umar berbicara seperti itu sambil berpura-pura mengusap matanya yang tidak berair menggunakan dasi kotak-kotak andalannya. Katanya, kalau kotak-kotak bisa berubah jadi Jokowi.
"Ya, kalau Ibu, sih, tinggal menikah lagi," jawab Nanda enteng sembari makan satu suap nasi goreng buatannya.
"Ibu! Kok, ibu gitu, sih?" tanya Umar tidak menyangka. Wajah lucunya menyambar penuh ruangan ini.
"Benar, Bu. Cari yang kaya, ya, Bu. Soalnya Ayah tidak mau kasih aku Mobil yang waktu itu, lho, Bu," celetuk anak sulungnya. Sedikit demi sedikit, Radit melihat ekspresi ayahnya itu.
"Uang saku aku juga 20 ribu, Bu. Itu tidak cukup, 'kan? Teman-teman Kanisa, tuh, dikasih 50 ribu minimal. Kanisa beli cireng sama teh botol saja pasti cepat habis," protesnya kepada Nanda.
"Masa, sih? 20 ribu itu banyak, Kanisa. Bisa beli bakso, beli martabak manis juga," jawab Umar dengan nasi yang masih penuh di mulutnya.
"Martabak? Ayah, martabak, tuh paling murah dua puluh ribu lebih lima ratus perak, yah. Dan Kanisa tuh bukan beli cireng yang tiga ribu dapat tiga. Kanisa, tuh, beli cireng premium. Yang beli satu saja sudah lima ribu," jelasnya.
"Mahal sekali, Kanisa. Ayah beli cireng sudah dapat lima kalau lima ribu. Emang premium kenapa, sih?" tanya Umar kembali.
"Cirengnya diisi suiran daging sama cabe yang banyak, yah," jawabnya.
"Aduh, Kanisa! Cepat makannya. Lihat, tuh kakakmu sudah mau berangkat, lho," kata Nanda yang menggemparkan Kanisa saat itu.
"Hah? Ih, kak Radit tunggu, dong," teriaknya kepada Radit yang sudah melaju jauh dengan mobilnya itu.