webnovel

chapter 19

Pangeran, Draco, Dimitri dan Avram berjalan mengelilingi perkotaan. Bangsa Elf benar-benar kehilangan kekuatannya. Berlian hijau itu benar-benar sumber kekuatan mereka.

"Bahkan untuk beregenerasi saja, kami butuh waktu yang sangat lama." Pangeran Yuza menjelaskan.

Draco berhenti menatap sekitar. Ia bisa merasakan bau traitor mendekat.

"Bersiaplah para Traitor mendekat. Kumpulkan bangsa Elf di tempat yang aman."

Draco menatap ke arah hutan, Dimitri dan Avrampun sudah siap.

"Mereka pasti berencana untuk merebut kerajaan Elf, dan perlahan-lahan merebut kerajaan lainnya." Pangeran Avram berbicara.

Keempat pangeran itu berdiri bersama menyaksikan para traitor yang perlahan muncul.

"Benar mereka dalam jumlah yang banyak." Pangeran Dimitri menatap puluhan para traitor yang datang. Dan mereka dari bangsa Elf yang menjadi penghianat.

Draco mengepalkan tangannya. Seperti dugaannya, mereka berancana untuk merebut kerajaan Elf.

Keempat pangeran itu langsung berubah wujud. Draco mengeluarkan sayap hitamnya, gigi-gigi taringnya mencuat keluar. Matanya berubah menjadi hitam. Wajahnya benar-benar mengerikan.

Begitupun dengan Dimitri, Avram dan pangeran Yuza.

Keempat pangeran itu bertempur. Draco merasakan aurah yang berbeda dari para elf ini. Para Traitor cepat sekali beregenerasi. Setelah ia cabik-cabik luka itu kembali baik.

Dimitri menusuk leher salah satu Elf, lalu menariknya hingga putus.

Avram membaca mantra, mengikat para Elf. Beberapa Elf yang ia ikat mengeluarkan pekikkan kuat, asap hitam keluar dari tubuh mereka. Kemudian tubuh itu hancur dan menjadi abu.

Draco menarik hingga putus kepala para Elf yang melawannya.

Tubuh pangeran Yuza terhempas menambrak pilar bangunan. Mulutnya mengeluarkan darah, tubuh Elfnya berubah menjadi normal kembali. Energinya benar-benar hampir habis, kekuatannyapun tak sebaik dulu.

Draco berdiri di depan pangeran Yuza menjadi tameng, dengan kepakkan sayapnya. Beberapa Elf itu terhempas. Draco berbalik menatap pangeran Yuza yang terluka parah.

Beberapa Elf kabur. Dimitri dan Avram mengejar beberapa elf yang kabur.

*

Seperti Rapunzel Tulip termenung di atas balkon kamar. Ia merasa seperti Rapunzel yang di kurung di dalam kastil. Tulip menatap hutan. Ia harusnya keluar dan mencari tahu jalan untuk pulang. Orion burung kecil itu datang dan hinggap di tiang balkon.

"Aku telah menunggumu lama. Kenapa kau bisa tahu aku manusia?" Tulip langsung memberi pertanyaan. Ia memang bukan tipe yang sabaran dan tak suka berbasa-basi.

"Aku tahu, karena bisa mencium bau tubuhmu. Kau manusia kedua yang masuk ke dunia ini."

Tulip tak percaya jika Orion, seekor burung bisa berbicara ini tahu semuanya.

"Apa kau sudah hidup lama di sini? Bagaimana cara manusia pertama itu bisa pulang?"

Jika itu benar, maka Orion tahu semuanya.Burung hitam bercampur biru ini sudah hidup berjuta-juta tahun lamanya.

"Aku tak tahu, tapi jika kau ingin tahu, maka pergilah ke hutan kegelapan, kau akan tahu semuanya."

Burung Orion terbang begitu saja. Tulip mengerutkan keningnya, hutan kegelapan? Untuk apa ke tempat yang dari namanya saja sudah menakutkan?

"Kau berbicara dengan siapa?"

Tulip membelakkan matanya. Draco sudah berada tepat di belakang tubuhnya. Ia mencium bau di tubuh Tulip. Dengan cepat ia mencengkar pipi Tulip.

Mata Draco menatap tajam, seakan membunuh.

"Aku mencium mau busuk di tubuhmu beberapa hari ini."

Tulip menelan ludahnya. Bau busuk apa yang Draco maksudkan? Bukankah Draco ada di kerajaan Elf?

"Apa kau tidur dengan seorang drakula?"

Mata Draco berubah merah, ia benar-benar begitu marah.

"Aku tak paham. Uhuuuuk. Lepaskan." Tulip memukul tangan Draco. Ia tak paham dengan maksud Draco.

Draco masih mencekik Tulip. Ia datang untuk menjemput Tulip, darahnya bisa menyembuhkan racun yang ada pada raja Elf. Racun yang sama seperti racun yang ada pada tubuh Ariela. Ia tak menyangka bau drakula ada di tubuh Tulip. Bau yang sama seperti bau raja Drakula. Ia jelas-jelas telah membunuh pria busuk itu.

Pantas saja, ia sering merasakan penciumannya berubah, pria itu berani menginjak kerajaan ini saat ia sibuk. Kenapa terus datang bertemu istrinya?

"Apa kau gila aku tak pernah berhubungan dengan pria manapun."

Tulip jatuh terduduk. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Lehernya kembali terluka. Ia bahkan belum pernah berciuman, bagaimana bisa ia tidur dengan seorang pria?

Draco menarik tangan Tulip berdiri dengan kasar. Jika tidak ada penghalang, mungkin saja tubuh Tulip sudah terjatuh ke bawah.

"Sekali jalang kau memang jalang. Kau punya hubungan dengan pria itu?"

Draco melihat pria bertopeng yang masuk ke kamar Tulip. Bau busuk itu ia bisa merasakan. Tapi sayangnya ia kehilangan jejak. Lalu sekarang ia mencium bau itu lagi.

Tulip membulatkan matanya, ia benar-benar tak menyangka selain kasar, mulut pria ini sangat tajam.

"Ya, aku pelacur. Aku tidur dengan banyak pria. Apakah kau puas?" Tulip meninggalkan Draco sendirian. Air matanya menetes di sudut matanya. Ia benar-benar sakit hati.

Selalu saja bersikap kasar, ia tak tahu kehidupan Agacia sebelumnya. Tapi ia dan Agacia berbeda. Walau wajah mereka sama. Ia hanya manusia biasa yang terjebak sebagai seorang Agacia. Entah di mana perempuan bernama Agacia itu? Kenapa ia harus menjalankan takdir ini?

Tulip berlari ke luar menuju belakang kastil. Ia duduk bersembunyi di bawah pohon besar dekat kolam. Air matanya mengalir. Gerimis mulai turun.

Ia benci dan marah setiap kali Draco merendahkannya. Ia selalu salah di mata pria itu. Ia terkurung di kastil ini, bagaiamana bisa ia memasukkan drakula?

Hujan perlahan turun dengan deras. Tulip menangis kencang. Ia rindu rumahnya. Ia takut di sini. Draco adalah trauma terbesarnya. Tulip terisak menelungkupkan kepalalanya di lutut. Apa salahnya pada Draco?

Rintikkan hujan di kepala Tulip tak terasa lagi. Tulip mendonggak, jubah besar berwarna hitam itu menahan hujan. Ia menatap wajah Draco yang basa.

"Apa kau mau bilang nanti aku sakit karena terkena hujan?"

Tulip menatap Draco dengan mata sembabnya. Ia benci terlihat lemah di depan pria ini.

"Apa kau pikir saat kau mencekik dan ingin membunuhku, aku takkan sakit?"

Tulip begitu kesal hingga menumpahkan semua amarahnya.

Tulip melempar tubuh Draco dengan batu di dekatnya. Hujan masih deras.

"Kau sedang terluka."

0Tulip tahu lehernya begitu nyeri terkena air hujan. "Bukankah kau senang. Biar saja aku mati di tempat terkutuk ini."

Draco mengangkat tubuh Tulip, menggendongnya masuk. Keduanya menelusuri belakang kastil sambil berjalan. Draco masih diam tak membalas setiap rancauan Tulip.

"Kenapa kau tak menggunakan kekuatanmu? Kau ingin membuat aku menderita sepanjang waktu?"

"Maka nikmatilah penderitaan itu."

Tulip memukul-mukul dada Draco dengan sisa tenaganya. Ia benar-benar kecewa. Ia benar-benar membenci Draco.

"Mengapa kau sangat kejam padaku?"

Draco hanya diam, membiarkan hujan membasahi tubuh mereka. Tulip masih dalam gendongannya.