"Itu kan bukan rahasia lagi, Vik. Banyak orang-orang yang kepepet duit yang akhirnya milih kerjaan itu. Soalnya bukan apa sih. Duitnya banyak."
Penuturan Aini makin membuat Vika merinding atas bawah. Tangannya masih belum lepas dari leher. Seolah khawatir kalau akan ada vampir tersesat yang akan menancapkan taringnya di sana.
Ih! Vika bergidik membayangkan darahnya keluar mengucur dan diisap oleh vampir.
"Ya aku tau itu emang kerjaan ilegal, tapi timbang jual ginjal kan? Lagian kalau darah kan masih bisa diproduksi lagi. Kalau ginjal nggak kan? Apalagi bola mata. Mau kamu pergi ke mana-mana bawa rongga mata yang bolong?"
Mata Vika membesar. Mendelik pada temannya itu dengan tangan yang sudah terangkat. Siap untuk memberikan satu jitakan di dahinya. Tapi, Aini dengan tangkas berlindung di balik nampan.
"Kamu ini omongannya buat aku ngeri aku," gerutu Vika. "Lagian untuk apa kamu bandingin aku mau jual ginjal atau bola mata dan darah? Kamu mau nyuruh aku jadi makanan simpanan vampir? Iya?"
Mata Aini mengerjap-ngerjap. Layaknya ia yang sedang berusaha mencerna perkatannya sendiri. Lalu ia malah cengar-cengir.
"He he he. Sorry. Bukan gitu juga maksud aku."
"Terus maksud kamu apa?"
"Ehm ...," dehem Aini dengan penuh irama untuk beberapa detik lamanya. Ia jelas sedang berusaha mencari pembelaan. "Aku cuma mau sharing kabar yang sering aku dengar sih. Karena kan emang udah nyaris semua orang tau. Kalau itu adalah pilihan andalan orang-orang yang lagi kepepet duit. Walau itu ilegal, tapi nyatanya banyak orang yang tetap mau ngambil risikonya."
Vika memilih untuk tidak mengomentari penjelasan Aini. Sungguh ia tidak ingin pulang kerja nanti diikuti oleh rasa takut.
"Tapi, kok bisa ya hal kayak gitu nggak diberantas? Maksud aku itu kan berbahaya kali, Ni. Nyawa jadi taruhannya. Pemerintah kok malah ngebiarin sih?"
Bola mata Aini berputar dengan dramatis. Ia geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Vika.
"Kok kamu naif banget sih, Vik?" tanya Aini tak percaya. "Mau diberantas kayak gimana? Orang jelas-jelas kelompok vampir itu punya pengaruh di negara ini. Walau mereka kayak diasingkan, nyatanya mereka justru punya kekuasaan. Apalagi karena mereka kan pada kaya raya. Ehm ... nggak heran sih. Umur panjang dan nyaris kebutuhannya nggak kayak kita. Jadi gimana mungkin mereka nggak kaya?"
Enggan sependapat, tapi nyatanya Vika mengangguk. Membenarkan perkataan Aini. Dan cewek itu dengan nampan yang kembali ke depan dada, tampak tersenyum penuh bangga. Mungkin merasa hebat karena membeberkan fakta tersebut.
"Mereka itu ya istilahnya kayak semacam kumpulan mafia dalam bentuk yang beda. Mereka ada, berada di balik layar, dan punya kuasa. Macam-macam dengan mereka, kita bisa kehilangan nyawa."
"Berasa ngeri aku, Ni, dengar cerita kamu."
Aini terkekeh samar. "Ngeri sih ngeri. Tapi, ngerinya cuma kalau taring mereka keluar. Kalau nggak keluar kan nggak ngeri. Yang ada malah cakep."
Nah itu yang tidak habis dipikirkan oleh Vika selama ini. Mengapa semua vampir itu memiliki wajah rupawan dan fisik sempurna? Seolah tak ada cela?
"Iya sih. Saking mereka pada cakep, dulu aja pas di sekolah kami tuh sering nuduh gitu. Kalau ada orang cakep dan kaya, fix! Dia pasti vampir."
Aini tertawa sementara Vika justru geleng-geleng kepala.
"Udah ah. Nggak usah bahas soal vampir lagi. Aku baliknya beda jalan sama yang lain, termasuk kamu. Ngeri aku."
"Aku nggak mulai loh ya. Kamu duluan yang nanya soal Rossa."
Vika tau itu. Tapi, tetap saja ia tidak mengira bahwa Rossa yang lagi-lagi tidak masuk kerja itu memiliki alasan yang berkaitan dengan vampir.
"Oke deh. Aku balik ke belakang. Dan kamu jangan manyun aja. Soalnya ...," ujar Aini dengan memasang sorot misterius di matanya. "... vampir suka sama cewek yang punya banyak tagihan."
"Asem!"
Aini tertawa. Ia buru-buru pergi dari sana sebelum Vika melempar kursi padanya.
Walau aku emang lagi buntu dan putus asa, tapi astaga. Aku beneran nggak mau ngambil risiko kayak Rossa. Ya kali jadi sumber makanan vampir.
Sepeninggal Aini, entah mengapa, Vika tidak bisa menyingkirkan perbincangan mereka tadi dari benaknya. Berkat satu hal itu. Rasa-rasanya otak Vika berputar-putar di dalam sana.
"Banyak orang-orang yang kepepet duit yang akhirnya milih kerjaan itu."
"Banyak orang-orang yang kepepet duit yang akhirnya milih kerjaan itu."
"Banyak orang-orang yang kepepet duit yang akhirnya milih kerjaan itu."
Vika memejamkan matanya. Menggeleng berulang kali. Dan menutup semuanya dengan satu sentakan yang membuat kepalanya terasa berdenyut sekilas.
'Nggak. Jangan mikir yang aneh-aneh, Vik. Kerjaan itu terlalu berisiko. Nyawa kamu jadi taruhannya.'
Karena seperti yang akal sehatnya katakan dari tadi, menjadi makanan simpanan vampir memiliki risiko yang tidak tanggung-tanggung. Bukti di depan mata sudah memperlihatkan. Bagaimana rekan kerjanya masuk rumah sakit akibat nyaris kehabisan darah. Dan Vika tau. Itu bahkan tidak bisa dituntut oleh hukum. Lantaran mereka yang benar-benar tidak tersentuh. Lantaran mereka adalah vampir.
Vampir, satu golongan yang berbeda dari manusia kebanyakan. Tidak membutuhkan nasi ataupun karbohidrat untuk tetap hidup. Alih-alih adalah darah.
Yang hadir dalam sosok rupawan dan penuh pesona. Tapi, memiliki sisi berbahaya yang membuat ngeri banyak pihak.
Mereka kuat dan nyaris tak bisa dikalahkan. Hingga wajar saja bila mereka memiliki pengaruh yang membuat semua orang menjadi tunduk.
Namun, layaknya makhluk yang berbeda, mereka pun tertutup. Memilih untuk tidak benar-benar berbaur dengan manusia. Layaknya mereka yang memiliki dunia sendiri.
Dan walau vampir adalah keindahan yang berbahaya, nyatanya mereka terkadang justru menjadi penolong beberapa orang. Salah satunya bila itu berkaitan dengan uang.
Vika mengembuskan napas panjang. Merasa berterima kasih pada seorang pelanggan yang menghampirinya di saat yang tepat. Berkatnya, pemikiran mengenai vampir bisa ia enyahkan dari otaknya.
"Terima kasih."
Vika memberikan kartu kredit beserta setruk pembayaran pelanggan tersebut. Tanpa lupa memulas senyum. Ehm ... ini tentu saja berkat perkataan Aini tadi yang masih bercokol di benaknya.
Kartu kredit dan setruk pembayaran berpindah tangan. Pria berambut putih itu memasukkannya dengan acuh tak acuh ke dalam saku celananya. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi dari sana. Walau pada akhirnya ketika Vika beranjak, mau tak mau kakinya pun lantas bergerak.
"Ya namanya aja timbal balik."
Vika membuang napas panjang. Menyadari bahwa ia kembali memikirkan hal yang sama dengan apa yang ia pikirkan beberapa menit yang lalu. Seolah itu adalah tayangan televisi yang baru saja terjeda oleh iklan komersial.
"Vampir butuh darah segar dan manusia butuh dana segar."
Ironis, tapi Vika mau tak mau terkekeh mendengarkan perkataannya sendiri. Hingga kemudian satu suara mendarat di indra pendengarannya. Membuat ia kaget. Bukan hanya karena suara itu yang terdengar tiba-tiba. Alih-alih juga karena apa yang ia tanyakan pada Vika.
"Apa kamu mau dana segar?"
*
bersambung ....