webnovel

Dua Kutub Yang Berbeda

"Dari namanya aja aku bisa nebak. Ehm ...."

Vika memejamkan mata dengan mendekap modul di dadanya. Berdiri di tengah kamar seraya cenderung menengadahkan kepala. Otaknya bekerja dengan cepat. Menciptakan bayangan dalam bentuk imajinasi yang membuat senyumnya mengembang.

'Pasti dia cakep.'

Vika mengangguk tanpa ragu sedikit pun ketika kemungkinan itu melintas di benaknya. Berikut dengan khayalan mengenai setampan apa wajah itu.

'Nggak pake embel-embel ningrat aja semua vampir memang terlahir cakep. Apalagi ini kan ya?'

Tentu saja. Kemungkinan yang satu itu nyaris valid seratus persen kalau menurut Vika.

'Dan yang paling penting, selain cakep dia pasti kaya raya.'

Mata Vika yang memejam sedari tadi terbuka seketika. Nyalang dengan bola mata yang mungkin siap untuk melompat keluar. Ia buru-buru menutup mulutnya yang turut menganga.

'Sial. Itu yang paling penting. Lagi vampir biasa aja kaya raya, apalagi yang ini kan? Wah! Wah! Wah!'

Dengan ekspresi melongo tak habis pikir, Vika beranjak. Memilih duduk di tepi tempat tidur setelah menyadari bahwa kakinya lumayan pegal juga berdiri dari tadi.

"Kadang Tuhan emang setega itu kan ya? Udah cakep, eh ... kaya raya lagi. Sementara aku?"

Vika menunjuk hidungnya sendiri. Senyum masam tersungging di wajahnya.

"Udah nggak cakep, eh ... kere lagi. Mana nyaris gila malah. Nasib nasib."

Tubuh Vika jatuh ke belakang. Mendarat di atas kasur yang empuk itu dengan masih mendekap modul informasi mengenai vampir ningrat yang menjadi incarannya. Vika kembali membuka dan membacanya.

Di sana tertera informasi mengenai Arjuna Togari. Dari tanggal lahir, hobi, hingga makanan kesukaan. Vika mesem-mesem.

"Ya pastilah makanan kesukaan dia darah. Ya kali kan pecel lele? Emang Pak Bobon ini suka ngadi-ngadi."

Membaca kembali modul itu untuk yang kesekian kali, sebenarnya Vika tidak mengerti apa pastinya fungsi informasi di sana. Menurutnya tidak ada yang penting dan tidak benar-benar menjelaskan apa pun padanya.

"Aku pikir di sini ada foto dia," lirih Vika dengan nada kecewa. "Ternyata nggak ada."

Sebenarnya itu yang membuat Vika semangat saat menyambar modul tersebut dari tangan Bobon tadi sore. Sebelum modul itu diambil oleh peserta yang lain, Vika sudah mengamankannya. Ia tidak ingin ada peserta lain yang juga tertarik pada vampir ningrat itu.

Namun, harapan Vika tinggal hanya harapan. Tidak ada foto yang terpampang di sana. Seketika saja ia kecewa.

"Ya harusnya aku nggak heran sih. Mana mungkin foto dia ada di sini. Kan namanya vampir selalu menjaga identitas mereka dari dunia luar. Walau percuma juga sih. Orang namanya terpampang gini."

Vika melihat huruf-huruf yang berjejer di sana. Membentuk dua kata. Menciptakan satu nama.

"Arjuna Togari."

Hening sejenak setelah Vika melirihkan nama itu. Seolah ia tengah meresap sensasi yang timbul dari rangkaian huruf tersebut. Walau pada kenyataannya, tak ada apa-apa.

Vika menaruh modul tersebut di kasur. Dengan mata yang menatap pada langit-langit kamar, ia diam. Membiarkan waktunya berlalu dalam kebisuan untuk beberapa detik sebelum ia membuang napas panjang.

"Semoga aja aku berjodoh sama itu vampir ningrat."

Mungkin Vika memang nyaris gila. Tapi, pada kenyataannya cewek itu tetap ada sedikit kewarasan untuk berdoa. Berharap bahwa besok ia bisa meyakinkan sang vampir dan mendapatkan keberuntungan tersebut.

Keesokan harinya Vika bangun dengan penuh semangat. Ia mandi nyaris satu jam lamanya demi memastikan kebersihan dan keharuman tubuhnya.

"Karena vampir itu penciumannya tajam, aku nggak boleh bau dikit pun. Harus wangi."

Vika mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Satu-satunya kemeja dan celana jeans yang warnanya masih terang benderang. Dalam kombinasi warna yang senada, yaitu biru muda.

Kontras dengan warna lembut pakaian yang ia kenakan, rambut Vika yang ikal bewarna hitam tampak berkilau. Sengaja ia menyisir dan mengikatnya dalam ikatan ekor kuda. Memberikan penampilan leher jenjangnya pada setiap mata yang memandang.

Vika memastikan penampilannya di depan cermin. Meyakinkan diri bahwa ia cukup rapi untuk seleksi yang terakhir. Dan pada saat itu, mendadak tatapannya jatuh pada satu titik.

Tangan Vika naik. Meraba lehernya. Diam-diam meneguk ludah ketika membayangkan taring menancap di sana.

Vika bergidik. Matanya refleks memejam. Tapi, sejurus kemudian ia menggeleng.

"Darah masih bisa diproduksi, tapi kalau ginjal nggak bisa."

Sepertinya itu cukup ampuh untuk membangkitkan keberanian Vika.

Tepat ketika jam sepuluh pagi, Vika sudah berkumpul dengan delapan peserta lainnya di satu ruangan. Ada Bobon dan beberapa orang karyawan pula di sana. Wajah mereka tampak serius hingga berhasil membuat Vika berdebar-debar dalam aura yang terasa mencekam.

"Selamat pagi buat semuanya."

Dengan menggunakan bantuan mikrofon, Bobon menyapa semua peserta. Ia memandang berkeliling. Bergantian pada setiap peserta hingga tatapannya berhenti pada Vika. Lalu satu matanya mengedip. Vika bengong.

'Pak Bobon salah sarapan nih kayaknya.'

"Baiklah," ujar Bobon. "Hari ini adalah hari seleksi terakhir. Sudah ada lima calon majikan vampir yang akan memilih satu di antara kalian."

Bobon menjeda sejenak ucapannya. Mungkin demi memberikan efek dramatis seperti di sinetron ikan tenggelam.

"Maka dari itu, untuk empat orang peserta yang belum beruntung, saya harap nggak berkecil hati. Gimanapun kita harus sadar kalau memang nggak semua orang punya keberuntungan."

Yang dikatakan Bobon memang benar. Setidaknya Vika yang membenarkan hal itu di dalam hati.

"Tapi, kalian bisa untuk tetap tinggal di sini untuk lanjut ikut seleksi minggu depan. Karena seperti yang kita ketahui bersama, CV ADAD ini adalah CV kepercayaan para vampir. Tiap minggu pasti selalu ada calon majikan vampir yang masuk daftar antrean selanjutnya."

Vika tidak peduli itu. Dalam hati ia bertekad agar langsung mendapatkan majikan vampirnya hari itu juga. Dan vampir tersebut harusnya Arjuna Togari. Bukan yang lain.

"Untuk seleksi keberuntungan ini nantinya tiap peserta akan dipertemukan dengan calon majikannya. Kami akan memberikan waktu sekitar lima belas menit untuk kalian ngobrol. Dan keputusan kalian diterima atau nggak diberikan oleh calon majikan langsung di tempat."

Wah! Vika merasa jantungnya berdebar dengan kuat. Ia mendadak merasa gugup.

'Tenang, Vik, tenang. Jangan gugup. Kalau gugup kamu suka kentut sih.'

Vika buru-buru menarik napas dalam-dalam. Berusaha menerapkan cara konvensional itu untuk menenangkan dirinya. Tapi, nahas. Ketika ia baru tenang sedikit Bobon langsung melihat padanya dengan sorot serius.

"Dek Vika," ujar Bobon. "Silakan ke bilik satu."

Vika mengerjap. "Sekarang, Pak?"

"Tahun depan!"

Vika cengar-cengir mendengar Bobon menukas dengan mata mendelik. Ia terkekeh sekilas.

"Ya kali masih ditanya. Tentu saja sekarang," lanjut Bobon. "Ayo buruan."

"Iya, Pak, iya."

Vika bangkit dari duduknya. Mengabaikan fakta bahwa saat itu ia menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di sana, ia berjalan. Menuju pada satu pintu yang ada di sana. Pintu satu ruangan di mana ada seseorang yang tengah menunggunya.

Menarik napas dalam-dalam ketika langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu, Vika meraih daun pintu. Menguatkan diri. Dan lalu ia mendorongnya.

Vika masuk. Menutup pintu dan melihat ke seberang sana. Pada seorang pria yang duduk di balik satu meja.

Pria itu menatap Vika. Sama seperti Vika yang menatap padanya. Seolah butuh waktu untuk benar-benar meresapi pemandangan menakjubkan yang pernah ia lihat seumur hidup. Dan Vika perlu mengingatkan diri bahwa yang ada di hadapannya kala itu adalah vampir. Makhluk yang memiliki taring tajam di dalam mulutnya. Makhluk yang identik dengan aura menakutkan. Tapi ....

Vika merasa dirinya meleyot seketika. Merasa tak sanggup menghadapi maha karya itu. Yang tampil dalam balutan setelan tiga potong perpaduan warna putih dan perak. Yang terlihat modis dengan dasi di lehernya. Yang tampak keren dengan rambut panjang seleher.

Sungguh! Vika sudah memberi label berantakan untuk cowok yang memanjangkan rambutnya. Tapi, melihat yang satu ini, Vika merasa paham apa yang dirasakan Cut Meyriska ketika melihat Roger Danuarta.

'Napas, Vik, napas.'

Vika perlu mengingatkan dirinya untuk tetap bernapas. Alih-alih langsung kelojotan seperti ayam yang tertelan karet.

Namun, Vika berani bersumpah bahwa tak pernah ia melihat cowok setampan itu sebelumnya. Dan walaupun ia tau vampir adalah makhluk yang benar-benar memikat, oh astaga. Menurut Vika yang satu ini sungguh kelewatan.

'Ini bukan lagi cakep. Harusnya KBBI menciptakan kata yang lebih dari cakep.'

Karena di mata Vika bukan hanya penampilan vampir itu yang sukses membuat ia megap-megap. Melainkan semuanya.

Kulitnya yang putih bersinar bak porselen. Rambutnya yang hitam berkilau. Matanya yang tajam dengan sepasang alis tebal yang menaunginya. Hidungnya yang mancung menantang. Serta bibirnya yang tampak merona untuk ukuran seorang pria.

'Oh, Tuhan.'

Vika terpaksa meneguk ludah demi membasahi kerongkongannya yang mendadak kering kerontang. Pun ia diam-diam menggigit bagian dalam mulutnya. Demi menciptakan rasa sakit untuk menarik kembali kesadarannya.

"Ehm."

Vika mendehem. Teramat susah bagi dirinya untuk bisa berjalan dengan kedua lutut yang gemetaran. Hingga sempat membuat ia menduga bahwa dirinya mungkin akan jatuh di atas lantai. Lalu alih-alih berjalan, ia mungkin akan mengesot seperti suster di film-film horor.

Vika tersenyum dengan hati yang dipenuhi bunga. Dalam jarak yang tak seberapa dan hanya dipisahkan satu meja, ia bisa dengan jelas melihat ketampanan itu.

'Oh, astaga. Jantung? Mana jantung? Aku butuh jantung pisang sekarang juga. Jaga-jaga kalau aku jantungan.'

Meremas tangannya satu sama lain, Vika tidak pernah merasa tegang seperti itu sebelumnya. Jantungnya benar-benar berdegup dalam debar yang sungguh riuh. Ia gugup dan merasa kian lama napasnya kian bermasalah. Dan ketika dilihatnya vampir itu sedikit bergerak, Vika memutuskan untuk menahan udara di dada.

Vika menunggu. Dengan mata yang tidak berkedip. Lalu suara itu terdengar di udara. Dengan penuh irama, lembut, dan juga merdu. Tapi, sayangnya suara itu mengatakan sesuatu yang tidak ia mengerti.

"Sugeng enjing."

Senyum Vika menghilang. Matanya mengerjap. Bingung.

'T-tadi dia ngomong apa? N-njing? B-bentar deh. Rambut aku kan ekor kuda, bukan ekor anjing sih!'

*

bersambung ....