webnovel

Beda Jalur

Ada suara aneh yang membuat Vika melihat ke sekeliling kamar. Suara aneh yang berasal dari perabotan yang bergerak-gerak di tempatnya masing-masing. Mata Vika melotot. Karena bukan hanya perabotan di sekelilingnya yang terlihat berguncang. Alih-alih tempat tidur yang ia duduki pun juga bergoyang.

Vika membeku. Menyadari dengan jelas bagaimana makin lama tempat tidur bergoyang dengan makin kuat. Tentu saja membuat Vika takut.

"G-gempa?"

Tidak salah lagi. Itu benar-benar gempa. Yang makin lama makin terasa makin kencang getarannya. Jangankan perabotan, bahkan langit-langit pun terdengar berderik.

Panik, tentu saja Vika tidak ingin mengambil risiko. Ia bangkit dari duduknya. Abai dengan infus, ia yang ketakutan langsung saja memeluk Arjuna.

"M-Mas! Gempa!"

Arjuna bergeming. Diam saja ketika Vika memeluknya. Bahkan ketika cewek itu dengan cerdiknya memanfaatkan kesempatan untuk mendaratkan wajah di dadanya yang bidang, ia tetap saja tidak mengatakan apa-apa. Bahkan tidak melakukan apa-apa.

"M-Mas," lirih Vika sambil membuka matanya yang entah sejak kapan terpejam-pejam. Membukanya dengan pelan-pelan dengan kesan mengintip. "I-ini kita nggak keluar? Gempanya makin kencang."

Vika mengangkat wajahnya. Melihat bagaimana dengan perlahan wajah Arjuna lantas menunduk. Ekspresi vampir itu terlihat menyeramkan dengan sorot mata yang berubah tajam. Setajam dan sedalam ... silet!

"M-Mas?"

Ada suara geraman yang terdengar meluncur dari tenggorokan Arjuna. Membuat tubuh Vika bergidik. Sukses membuat cewek itu merasa lebih takut ketimbang menghadapi guncangan gempa saat itu.

Mata Arjuna menatap Vika tanpa kedip. Sudut samar di lekuk cuping hidung vampir itu berkedut berulang kali. Vika membeku. Melihat bagaimana pelan-pelan ada yang timbul dari balik bibir Arjuna. Yaitu, sepasang taring.

"A-apa kamu bilang?"

Vika tertegun. Menyadari sesuatu yang melintas di benaknya.

'Gempanya bukan cuma di sini. Tapi, juga di suara Mas Arjuna. Suaranya begetar gitu.'

Bukan karena gempa. Tentu saja. Melainkan karena Arjuna tengah menekan emosinya.

"B-bahasa Yunani?"

Mata Vika sontak mengerjap. Walaupun ia sadar dirinya terkadang setengah gila atau gila atau bahkan sangat gila, nyatanya otak Vika masih bisa mengingat.

'Tadi ada gempa dadakan di kantor Pak Bobon. Sekarang juga? Masa ini lagi musim gempa sih?'

Tidak mungkin ada musim gempa. Bahkan kalaupun memang ada musim gempa, Vika yakin gempa itu tidak akan sampai menggetarkan suara Arjuna.

"Kamu ngomong bahasa kromo itu bahasa Yunani?"

Hanya saja ada yang membuat Vika kagum. Bahkan ketika suara Arjuna bergetar, irama bicara vampir itu tetap tidak berubah.

"B-bahasa kromo?"

Arjuna menyipitkan mata. "Kamu nggak tau bahasa Jawa kromo?"

"Bahasa Jawa?"

Vika mengulang perkataan Arjuna seraya berusaha berpikir hingga dahinya mengerut. Dan sejurus kemudian secercah senyum timbul di wajahnya. Ia berkata.

"Oh, bahasa Jawa. Ngomong toh kalau bahasa Jawa."

'Sepertinya dia tau.'

Beranggapan seperti itu tentu saja membuat emosi Arjuna berangsur mereda. Berikut dengan getaran gempa yang perlahan sirna. Vika menyadarinya dan itu membuat ia merasa lega.

Hanya saja kelegaan yang dirasakan Vika tidak lama. Dan itu adalah karena perbuatannya sendiri. Lebih tepatnya lagi adalah karena ucapannya sendiri.

"Punten, Kang."

Pikiran positif yang sempat melintas di benak Arjuna langsung hilang. Sirna tanpa bekas sama sekali. Bahkan taringnya yang sempat ingin masuk, mendadak keluar lagi. Memanjang lagi disertai geraman yang tak mampu ia tahan.

"A-apa kamu bilang?"

Vika membawa jari telunjuknya. Naik ke bibir Arjuna. Membuat vampir itu tidak bisa bicara lagi.

"Ssst!" desis Vika dengan mata menyipit. "Cicing maneh teh!"

Tepat setelah Vika mengatakan itu, gempa kembali mengguncang! Dengan amat kuat!

*

"Ehm."

Mengunyah sarapannya dengan penuh irama, Vika tidak habis pikir dengan kejadian aneh yang menimpanya semalam. Bagaimana bisa tidak ada berita satu pun di televisi yang menayangkan soal gempa itu? Bahkan ketika Vika mengecek di internet, ia juga tidak menemukan apa-apa.

"Gendhis."

Gadis pelayan itu menghampiri Vika. Hari itu ia mengenakan kebaya bewarna biru muda. Tampak begitu cantik.

"Iya, Mbak? Ada apa?"

Ingin langsung bertanya, tapi Vika menyadari ada sesuatu yang aneh. Maka alih-alih menanyakan pertanyaan yang sedari tadi sudah berputar-putar di dalam kepalanya, ia justru menanyakan hal lainnya.

"Kamu ngomong pakai bahasa Indonesia?" tanya Vika ragu. Tapi, ingatannya tidak mungkin salah. "Bukannya kemaren kamu ngomong pake bahasa kromo ya?"

Lihatlah betapa bangganya Vika pada ingatannya. Ia jelas tidak akan lupa nama bahasa itu. Lantaran sudah diberi tau Arjuna.

Gendhis tersenyum. "Tadi pagi Tuan Muda mengumpulkan semua pelayan dan pekerja di rumah ini. Kami diminta untuk menggunakan bahasa Indonesia kalau ada Mbak."

Jawaban Gendhis membuat senyum malu-malu timbul di wajah Vika. Tampak tersipu seperti seorang gadis yang mendapat kiriman salam dari jejaka idaman.

"Ehm!"

Vika mendehem demi melenyapkan senyum malu-malu itu dari wajahnya. Khawatir orang yang menganggapnya gila bertambah satu lagi. Dan lagipula Vika teringat akan niatannya semula ketika memanggil Gendhis. Sesuatu yang amat penting.

Meninggalkan piringnya yang telah kosong, Vika melipat kedua tangannya di atas meja makan. Sorot matanya langsung berubah. Kalau tadi ada lucu geli-geli ketika Gendhis memberi tau soal perintah Arjuna, maka sekarang tampak serius. Terlihat begitu penasaran saat bertanya pada cewek itu.

"Semalam kamu kerasa gempa nggak? Kencang banget kan?"

Gendhis mengerutkan dahi. Lalu menggeleng beberapa kali. "Nggak ada gempa kok, Mbak. Ehm ... Mbak ngelindur kali."

"Ck," decak Vika manyun. "Aku nggak ngelindur. Beneran loh. Malam tadi ada gempa. Mungkin sekitar jam sepuluh atau jam sebelas gitu."

Gendhis diam. Sepertinya ia tengah berpikir. Tapi, pada jam itu Gendhis sedang tidur. Apa mungkin ia terlalu nyenyak hingga tidak merasa gempa?

"Gempanya kencang banget loh," ujar Vika kemudian. "Sampe buat langit-langit kayak yang mau jatuh. Ih! Pokoknya serem. Aku pikir kamar aku bakal roboh saking kuatnya itu gempa."

Tuntas mengatakan itu, Vika mendapati ada yang aneh dari wajah Gendhis. Muka cewek itu terlihat memucat dan tampak takut.

Vika mengerjap sekali. Tampak bingung dengan perubahan ekspresi Gendhis yang amat tiba-tiba.

"G-gempanya kencang banget?"

Masih bingung, tapi Vika tetap mengangguk. "Iya. Kencang banget."

"Ya ampun."

Dua tangan Gendhis naik dan menutup mulutnya. Mata cewek itu membesar dengan sorot ngeri. Persis seperti ia melihat hantu di siang bolong. Dan itu membuat Vika sedikit kesal juga.

'Bukannya rasa penasaran aku soal gempa dapat jawaban, eh ... ini malah aku kedapatan rasa penasaran yang lain.'

Dahi Vika tampak berkerut. Tangannya meraih tangan Gendhis. Menarik cewek itu untuk makin dekat padanya.

"Kamu kenapa?" tanya Vika ingin tau. "Gempanya itu semalam loh. Telat kalau kamu ketakutannya sekarang."

Gendhis meneguk ludah. Bibirnya tampak bergetar ketika berusaha bicara.

"S-semalam nggak ada gempa, Mbak. Kalau ada gempa, pasti rumah heboh dan semua pekerja keluar semua."

Vika baru menyadari itu. Bahwa walau gempa itu begitu kencang, nyatanya tidak ada suara heboh orang-orang. Biasanya pasti akan ada kepanikan tiap ada gempa kan? Dan semalam tidak ada. Malah bisa dikatakan suasana malam itu hening.

"Kamu bener," kata Vika dengan suara yang turut bergetar. "J-jadi yang semalam itu apa? Kalau bukan gempa ... jadi apa?"

Menahan takut yang menjalari tubuhnya, Gendhis berniat memastikan. Walau kemungkinan yang melintas di benaknya nyaris tidak bisa dibantah.

"A-apa semalam ada Tuan Muda saat Mbak merasakan gempa?"

Bola mata Vika membesar. "Kok kamu tau kalau Mas Arjuna ada di kamar aku semalam?" tanyanya kaget. Tak mengira kalau Gendhis bisa menebak keberadaan Arjuna di kamarnya kala itu. "Makanya aku beruntung sih ada dia. Jadinya aku nggak terlalu takut pas ada gempa itu."

Sudah bisa dipastikan bagaimana bentuk wajah Gendhis ketika mendengar penuturan Vika. Ia benar-benar membeku.

"M-Mbak nggak tau ya?"

Bahkan Gendhis tidak mengira dirinya masih bisa bersuara kala itu. Lantaran amat lirih suara yang keluar dari tenggorokannya.

"Tau apa?"

Gendhis meneguk ludah. Menarik napas dan menguatkan diri ketika menjawab. "Seharusnya Mbak bukan takut sama gempanya, tapi sama Tuan Muda."

"Loh? Kenapa gitu?" tanya Vika seraya menelengkan kepala ke satu sisi. "Orang dia loh yang ngelindungi aku pas ada gempa itu."

Gendhis frustrasi. Rasa ingin meremas rambutnya. Tapi, untung ia ingat betapa lama waktu yang ia butuhkan untuk membuat sanggul.

"Kenapa gitu?" tanya Gendhis meringis. "Karena gempa itu adalah bentuk kemarahan Tuan Muda."

"Hah?"

Gendhis mengangguk. "Tiap Tuan Muda marah pasti akan ada gempa. Jadi kalau ada gempa di saat ada Tuan Muda, itu bisa dipastikan seratus persen."

Vika melihat Gendhis yang menatapnya tajam tanpa kedip sama sekali. Dalam ketakutan yang cewek itu rasakan, ia terlihat amat serius.

"Tuan Muda sedang marah."

*

bersambung ....