Aku duduk menyendiri di tepi sebuah kolam di sebuah taman di dekat kota tempat ku tinggal. Ku lihat sepasang kupu-kupu tengah terbang di atas kumpulan bunga matahari yang tumbuh tepat di tepi kolam dimana ku tengah menyendiri.
"Adi." Tiba-tiba seseorang menghampiriku.
"Aline." Jawabku.
"Kamu kenapa sih di. Akhir-akhir ini kamu gak pernah nemuin aku. Ditambah kamu juga jarang masuk kuliah. Janji kamu tentang kencan kita pun mendadak kamu batalkan." Seketika Aline memberiku rentetan pertanyaan yang aku tau jikalau semua pertanyaan itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu hatinya belakangan ini.
"Aku punya salah ya sama kamu??" Lanjut Aline.
"Maaf. Kamu gak salah, aku ...." Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku dan memilih untuk segera beranjak dari tempat ku duduk dan pergi meninggalkan Aline.
"Adi!! Kalau aku punya salah, aku minta maaf!!! Tapi tolong, jangan seperti ini." Aline berteriak dan kemudian air matanya mulai menitik membasahi pipinya.
Aku terdiam, mematung dan tak terasa jikalau airmataku pun mulai menitik bersama dengan desiran angin yang mulai bertiup kencang membuat daun-daun yang kering berterbangan. Ku menatap Aline dari kejauhan. Menatapnya lekat dengan penuh rasa bersalah dalam hatiku.
"Mungkin lebih baik jikalau kita putus." Ucapku bersamaan dengan angin yang tak hentinya berhembus kencang.
Aline hanya terdiam. Dia terduduk dan menangis. Nampak airmatanya berurai tanpa henti. Aku tak sanggup melihatnya, hatiku hancur melihatnya seperti itu. Namun, aku hanya bisa pergi. Melangkahkan kakiku, dan meninggalkannya bersama luka yang kuberikan padanya saat itu.
....
Aku berdiam diri di kamar ku, mencoba menulis namun entah apa yang ingin ku tulis. Kata-kata ku seolah lenyap, hilang tak membekas. Setiap ku mencoba untuk tetap menulis, hasil tulisan ku hanya dapat berakhir di tempat pembuangan sampah. Bulatan demi bulatan kertas berserakan, tak mampu lagi tempat sampah di kamarku untuk tetap menampung mereka semua.
(Tok tok tok)
Terdengar suara pintu kontrakan ku tengah di ketuk oleh seseorang.
"Di, lu ada di dalem kan?" Tanya sebuah suara dari luar pintu kontrakan ku.
Aku tak menjawab. Ku biarkan hening menyelimuti sekitarku kala itu.
"Gua tau lu di dalem, gua masuk ya." Orang di seberang pintu tak mau menyerah, dia malah memaksa masuk tanpa seijin ku. Ya, sebenarnya aku tau suara siapa itu. Lingga, dia lah pemilik suara itu.
Terdengar suara pintu mulai terbuka. Suara langkah kaki Lingga terdengar jelas di telingaku.
"Astaga! Ini kamar atau apa di?" Sahut Lingga seketika saat dia melihat kondisi kamarku yang berantakan dengan sprei yang tak terpasang dengan baik di atas kasur dan kertas yang berserakan bukan lagi di sekitar tempat sampah tapi hampir di setiap jengkal sudut kamarku.
"Lu kenapa!? Cerita sama gua.!" Sahut Lingga lagi.
Kembali aku hanya bisa terdiam. Malas sekali rasanya untukku menceritakan semua nya, meskipun itu kepada sahabatku. Menatap matanya pun aku tak mau.
"Lu gak mau cerita!? Oke! Tapi gua pengen tau 1 hal dari lu, kenapa lu bikin Aline nangis!?" Tiba-tiba Lingga mengatakan sesuatu yang membuat rasa bersalahku semakin besar.
"Jawab di! Lu cowok kan!!!" Lingga memaksaku berbicara.
"Jawab di jawab!!!" Tiba-tiba Lingga meraih kerah baju ku dan mencengkeramnya. Dia mencoba menengadahkan ku. Sehingga nampak wajahku yang kala itu tengah berurai air mata. Ya, aku tak mampu menjawab semua pertanyaan Lingga karena saat itu aku tengah menangis.
"Di, lu baik-baik aja kan? Kok lu nangis sih di!?" Lingga melepaskan cengkeraman tangannya. Nada suara nya yang sebelumnya tinggi seketika berubah menjadi lembut saat ia melihat airmata ku yang mengalir.
"Gua.. gua... " aku hanya bisa terisak dalam tangisku, tak mampu aku mengakhiri kalimat yang ku coba untuk ku ucapkan.
Lingga menghela nafas panjang, amarahnya yang sebelumnya meningkat kini mulai mereda. Dia kini duduk di atas tempat tidurku.
"Gua tau lu punya rahasia yang semua orang gak tau, termasuk gua. Tapi please di, gua ini sahabat lu, termasuk jagat. Jangan buat gua sama jagat jadi menilai lu negatif karena masalah ini. Jangan lu akhiri hubungan lu sama Aline dengan cara seperti ini. Jangan jadi pengecut." Ujar Lingga mengungkapkan isi hatinya.
Aku masih terdiam, namun kali ini ku coba untuk meredakan emosi ku. Mencoba menahan airmataku yang tak hentinya mengalir. Ku hela napas panjang sebelum ku mencoba untuk berbicara pada Lingga.
"Gua gak tau harus cerita darimana dan bagaimana gua bisa cerita semuanya ke lu Ngga. Tapi, yang perlu lu tau adalah gua selalu cinta sama Aline. Udah itu ajah, tapi please jangan pernah bicarakan ini ke siapapun termasuk Aline. Gua gak mau bikin Aline kecewa, gua pengen Aline bahagia, meski bukan sama gua." Jelas ku.
"Apa maksud dari ucapan lu itu di?" Tanya Lingga penasaran.
"Gua gak bisa lagi pacaran sama Aline." Jawabku singkat seraya beranjak dari tempat duduk ku dan berjalan menuju pintu keluar kontrakan ku.
"Lebih baik lu pulang sekarang Ngga, gua lagi pengen sendiri." Ucapku sembari membukakan pintu kontrakan ku.
"Ok, kalo lu ada masalah dan lu mau cerita, cukup hubungi gua ajah di. Gua pasti dengerin semua cerita lu." Lingga mulai beranjak dari tempatnya duduk dan segera pergi meninggalkanku sendiri.
Setelah kepergian Lingga, aku kembali dalam kesunyian ku. Berteman dengan kesepian adalah pilihan terbaik ku saat ini, setidaknya itu lah yang ku pikirkan sekarang.
....
Bukan lagi tentang rindu yang menggebu ...
Canda tawa mu, bahagiamu, hidupmu, kini adalah tujuanku ...
Maafkan aku.
Airmatamu kini jatuh karena ku.
Maafkan aku ...
Aku tak mampu lagi bersama mu,
Namun,
Merindukanmu akan menjadi hal biasa yang akan ku lakukan di setiap waktuku.
...
1 bulan berlalu, dalam 1 bulan itu kegiatan ku hanya kuliah, pulang, kuliah dan pulang serta bekerja di akhir pekan. Tak sedikit pun ku habiskan waktu ku untuk menemui teman-temanku, apalagi Aline. Sesekali aku mengunjungi Dita di rumah sakit. Menemaninya menjalani makan siang, mengajaknya sedikit berjalan-jalan, berharap suatu hari nanti dia akan sehat kembali.
Hari ini aku akan kembali mengunjungi Dita. Aku mulai rutin mengunjungi nya 2 kali dalam seminggu, yaitu di akhir pekan saat aku selesai dengan pekerjaanku.
Hari ini sangatlah cerah, sampai aku selesai bekerja, tak nampak jikalau hari akan hujan, padahal sekarang sudah mulai masuk musim penghujan lagi. Aku membawa seikat bunga untuk Dita, bunga mawar merah yang sangat segar yang akan ku berikan padanya. Setelah aku tiba di depan kamar dimana Dita di rawat, tiba-tiba hatiku seolah menjerit.
"Apakah ini yang benar-benar ku inginkan??" Hatiku kembali meragukan keputusanku.
Kembali ku teringat Aline yang saat itu menangis karena keputusanku. Saat aku mengingatnya, hatiku terasa sakit. Namun belum aku menyelesaikan lamunanku, aku dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menyentuh pundak ku.
"Adi kok di luar? Gak mau masuk?" Tanya seseorang yang telah menyentuh pundak ku, yang tidak lain adalah ibu Dita.
"Ah, iya Tante. Adi cuma pengen liat Dita dari luar dulu" jawabku seketika.
"Lihat! Sekarang Dita mulai bisa tersenyum kan. Berkat kamu, makasih ya nak Adi" ucap ibu Dita padaku.
Kata-katanya membuat ku semakin berat untuk meninggalkan Dita. Aku tak ingin menghilangkan senyum yang kini mulai menghiasi wajahnya. Aku tak ingin semua itu pergi begitu saja.
Ku buka pintu kamar tempat Dita dirawat. Saat ku membukanya, senyum Dita semakin mengembang lebar. Sebuah sambutan yang membuat hatiku bergetar. Dia nampak ceria sekali, meski sebenarnya aku kini penuh dengan kemunafikan. Aku hanya bisa memberinya sebuah harapan palsu, sebuah cinta yang semu yang dulu pernah hidup di masa lalu. Seikat mawar yang kini ada di tanganku seolah mengiyakan jikalau aku adalah seorang penipu yang berlindung dibalik semua kebaikanku. Namun Setidaknya, aku tak ingin merenggut semua keceriaan itu.