webnovel

Bab 12-Lomba Berburu

Cahaya purnama berjatuhan

di penghujung pagi yang sarat dengan kelelahan

seperti ngengat dipadamkan lampu

di atap-atap rumah yang sedang tertidur gagu

pada setiap kejatuhannya ada syair-syair puisi

tentang kerinduan yang tak pernah mati

Setelah menyampaikan pengakuan tentang nama sebenarnya, Bidadari Darah atau Pramesti Sarayu menundukkan muka. Bulir-bulir airmata mengaliri pipinya yang agak cekung karena berhari-hari sakit dan terluka. Gadis cantik itu mengangkat wajah. Matanya yang selama ini selalu terlihat bengis, sekarang nampak redup dan sayu. Bukan karena kehilangan cahaya, namun justru sedang menumbuhkannya.

"Iya. Namaku adalah Pramesti Sarayu. Aku adalah cicit luar dari Bhre Wirabumi. Semenjak kecil aku diasuh oleh guruku, Malaikat Darah. Aku tidak tahu kenapa kedua orang tuaku menyerahkanku kepada Malaikat Darah. Aku baru menyadarinya setelah beranjak dewasa. Aku tumbuh dengan bibit-bibit kebencian yang sangat besar terhadap Majapahit dan keturunannya. Terhadap tokoh-tokoh yang saat itu membantu Istana Barat. Terhadap seisi dunia. Aku dibesarkan dalam bejana kebencian."

Pramesti Sarayu menghela nafas panjang sembari mengusap sungai yang mengalir di pipinya. Kesadaran aneh yang sedang melandanya membuat gadis itu teringat semua hal buruk yang telah dilakukannya di masa lalu. Airmatanya semakin bercucuran. Tangannya bergelimang darah. Gadis itu bersimpuh dan sesenggukan tanpa henti.

Ratri Geni menjadi tidak tega. Didekatinya gadis yang sedang tenggelam dalam penyesalan itu dan dipeluknya erat untuk memberikan penghiburan. Tak perlu kata-kata panjang untuk menunjukkan betapa dalam rasa penyesalan yang sekarang sedang membuncah di hati Pramesti Sarayu. Raden Soca mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa tahu dan menduga bolak-baliknya hati. Seorang bajingan bisa berubah menjadi Kyai, atau sebaliknya, seorang yang sebelumnya baik-baik saja, bisa saja dalam sekejap berubah menjadi durjana.

Jaka Umbara memandang ke arah langit. Itulah KuasaMu Gusti. Hanya Engkau yang mampu menguasai wolak-waliking hati. Jaka Umbara bertasbih, bertahmid, bertakbir lirih menyaksikan keajaiban ini.

Pramesti Sarayu menghentikan tangisnya. Gadis itu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ratri Geni dan Raden Soca. Tubuhnya gemetar dan suaranya bergetar.

"Berilah aku kesempatan memperbaiki semuanya. Berilah kesempatan aku membersihkan tanganku yang berdarah-darah ini. Berilah aku kesempatan untuk menebus semua kekejaman dan kejahatanku selama ini."

Ratri Geni mengangkat tubuh Pramesti Sarayu yang lemas. Dia mendudukkan gadis itu dan menepuk-nepuk bahunya dengan lembut lalu duduk tidak jauh dari gadis itu. Hatinya sedang diamuk rasa takjub. Seorang tokoh kejam dunia persilatan benar-benar tersadarkan penuh hari ini. Ratri Geni hanya tak habis pikir darimana semua ini berawal hingga muncul kesadaran itu.

Jaka Umbara berkata pelan namun tegas.

"Pramesti, sudah semestinya kau minta ampun kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Kami semua yang ada di sini juga tidak luput dari kesalahan. Hanya kepadaNya kau meminta kesempatan. Hanya kepadaNya kau memohon pengampunan. Dan hanya kepadaNya kau berserah diri."

Kata-kata Jaka Umbara mengalir sejuk bagaikan embun yang langsung menyirami hati Pramesti Sarayu. Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala. Dari mulutnya keluar desis pelan nyaris tak terdengar karena tertutupi oleh sedu sedannya. Ajari aku..ajari aku.

Suasana hening menyelimuti hutan di pinggiran wilayah Gunung Wilis. Keempat muda-mudi itu jatuh dalam lamunan masing-masing. Lupa bahwa makanan yang telah disiapkan oleh Jaka Umbara sudah mendingin. Suara kaok keras dari Siluman Wulung belum sepenuhnya menyadarkan mereka. Namun saat auman yang menggetarkan jiwa menggema berulang-ulang, barulah Ratri Geni mengangkat wajahnya dengan mata berbinar gembira. Sima Braja!

"Halilintar! Di mana kau?!" Ratri Geni berteriak pelan namun suaranya tidak kalah menggema dari auman Sima Braja.

Tidak ada sahutan apapun. Hanya suara desir angin keras yang membawa Sima Braja melompat tinggi dan mendarat ringan di tengah-tengah mereka. Persis di depan hidangan makanan. Harimau hitam legam itu dengan santainya menyantap semua hidangan ikan hingga tandas tak bersisa. Ratri Geni hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil merengut. Perutnya lapar dan semua telah dihabiskan Sima Braja. Huh! Selalu saja!

Raden Soca tertawa pelan tapi kemudian dilanjutkan dengan tawa terbahak-bahak. Pemuda ini ingat betapa rakusnya harimau aneh itu. Makanan yang telah dimasak lebih disukainya daripada mentah seperti seharusnya seekor binatang buas. Pemuda itu sampai mencucurkan airmata saking gelinya. Apalagi setelah melihat raut muka Ratri Geni yang cemberut sambil memegangi perutnya. Sementara harimau hitam itu tanpa mempedulikan keadaan sekitar langsung saja berbaring di sebelah si gadis dan mulai mendengkur. Sima Braja memang usil!

Ratri Geni membanting kakinya kesal. Tubuh ramping itu berkelebat lenyap. Sepertinya mencari-cari makanan cadangan yang bisa untuk mengganjal perut. Raden Soca menjadi kasihan. Tubuh pemuda itu ikut lenyap mengikuti Ratri Geni. Jaka Umbara yang belum pernah melihat Sima Braja cuma bisa bengong. Apalagi ketika dari atas terdengar sambaran angin keras. Siluman Wulung mendarat dengan ringan tidak jauh dari Sima Braja yang tiba-tiba kehilangan rasa kantuk dan langsung menggeram-geram rendah bersiaga.

Jaka Umbara tahu gelagat apa yang akan terjadi. Pemuda itu dalam kebingungannya melompat di antara dua binatang aneh dan perkasa itu sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Mencegah pertarungan dahsyat terjadi. Sima Braja mengenduskan hidungnya ke udara. Begitu pula Siluman Wulung, merendahkan kepalanya hingga paruhnya rapat ke tanah. Seolah juga sedang berusaha membaui sesuatu. Kedua binatang berukuran tidak lumrah itu sama-sama memasang sikap waspada dan siap tempur kapan saja begitu ada yang memulai.

Ketegangan itu berakhir begitu saja saat dua kelebat bayangan tiba. Ratri Geni menenteng satu renteng besar rambutan hutan, sedangkan Raden Soca menjinjing beberapa buah durian di tangan kanan dan kirinya.

Ratri Geni berdehem kecil sambil menghempaskan dirinya di samping Pramesti Sarayu yang tersenyum simpul melihat gadis itu mengunyah buah rambutan dengan asiknya tanpa peduli sekitar. Persis Sima Braja tadi. Ratri Geni menyodorkan seikat rambutan di depan Pramesti Sarayu sambil memberi isyarat agar gadis itu segera memakannya. Pramesti Sarayu mengangguk lemah. Dia memang lapar sekali. Luar biasa lapar malah. Tapi dia terpaksa harus menelan ludah saja melihat harimau aneh itu menghabiskan semua makanan sendirian. Termasuk nasi liwet yang dimasak oleh Jaka Umbara.

Raden Soca tidak mau kalah. Dia memberi isyarat kepada Sima Braja. Harimau itu dengan tenang menggoreskan kukunya ke kulit durian. Buah beraroma tajam itu langsung saja terbelah. Raden Soca duduk menikmati bersama Jaka Umbara. Begitu satu buah habis, Sima Braja mendorong lagi buah berikutnya mendekat ke kedua pemuda itu setelah membuka dengan kuku jarinya yang luar biasa tajam.

Tidak ada yang bersuara. Ini seperti lomba makan buah antara pemuda melawan pemudi. Ratri Geni dan Pramesti Sarayu juga tak henti-henti mengunyah rambutan hutan. Mereka tidak mau kalah melihat dua pemuda itu nampak sangat menikmati durian sampai matanya terpejam-pejam.

Diam-diam Ratri Geni mengeluh dalam hati. Perutnya sudah mulai kembung karena kebanyakan makan rambutan hutan. Sebenarnya jauh lebih baik jika diselingi dengan makan durian. Tapi gadis itu tentu saja tak mau merendahkan diri dengan minta Raden Soca berbagi. Tadipun saat mereka berdua berburu buah, tidak ada yang berbicara. Masing-masing memusatkan perhatian penuh mencari buah. Tidak ada yang mau kalah atau saling mengalah.

_**