webnovel

Bab 7-Percikan Dendam Masa Lalu

Percikan dendam

mudah terpercik

sama seperti air hujan

yang tidak sulit untuk berkelindan

Kontan saja Ratri Geni berlompatan menghindar. Jurus-jurus Nyai Sembilang sungguh mengerikan dan mematikan. Ratri Geni tidak tahu kalau serangan itu terdorong oleh rasa marah yang menggelegak setelah mendengar nama Arya Dahana. Ayahnya.

Ratri Geni terdesak hebat. Gadis ini hanya bisa mencoba sebisa mungkin menghindar. Serangan Nyai Sembilang sangat membabi buta. Gadis ini tidak mau beradu pukulan karena khawatir akan menewaskan salah satu dari mereka berdua.

Ki Ageng Waskita melihat semua itu dengan wajah tetap tenang. Kakek sakti ini tahu kenapa Nyai Sembilang sangat marah saat nama Arya Dahana disebut Ratri Geni tadi. Arya Dahana lah yang telah membunuh adik kandung dari nenek sakti ini. Datuk Rajo Bumi memang tewas di tangan Arya Dahana dalam sebuah pertempuran puputan antara kerajaan Lawa Agung melawan gabungan pasukan Majapahit dan Galuh Pakuan.

Kakek ini mengelus kepala Sima Braja yang terlihat sangat gelisah di sampingnya. Sebuah perintah agar harimau itu tetap tenang dan jangan masuk ke pertempuran yang dahsyat itu. Ki Ageng Waskita tahu apa yang harus dilakukannya jika Ratri Geni sampai dalam bahaya.

Gadis itu bertahan dengan hebat meski pukulan Nyai Sembilang datang bertubi-tubi. Gadis ini mengandalkan kelincahan tubuhnya. Melesat kesana kemari dengan kecepatan yang tak bisa dipercaya. Hal yang justru menambah kemarahan Nyai Sembilang. Sungguh memalukan. Dia yang merupakan datuk nomor satu di dunia persilatan tidak berhasil menjatuhkan seorang gadis muda meski pertarungan telah mencapai puluhan jurus.

Namun bagaimanapun juga, Ratri Geni masih jauh dari matang. Meskipun berhasil mengimbangi Nyai Sembilang dalam beberapa puluh jurus, akan tetapi terlihat bahwa gadis ini terdesak sangat hebat. Tak lama lagi gadis ini pasti akan terkena pukulan dari serangan ganas nenek sakti yang sedang marah itu.

Tepat pada saat Ratri Geni tak mampu menghindar lagi dan hanya pasrah menerima pukulan Nyai Sembilang yang tak bisa dielakkannya, bayangan putih masuk ke tengah pertempuran sambil membentak lirih.

"Kau sudah keterlaluan Nyai! Maafkan aku!"

Pukulan Nyai Sembilang yang sedianya mengenai dada Ratri Geni, bertemu dengan pukulan Ki Ageng Waskita yang langsung turun tangan melihat Ratri Geni tak bisa lagi menghindar.

"Dess! Brukk!" Tubuh Nyai Sembilang melayang ke belakang dan akhirnya jatuh ke tanah setelah adu pukulan dengan Ki Ageng Waskita. Nyai Sembilang jelas kalah hawa sakti melawan tokoh tua yang sangat sakti itu. Ki Ageng Waskita sendiri hanya bergoyang-goyang tubuhnya dan terjajar mundur ke belakang dua langkah.

Nyai Sembilang meludahkan darah segar dari mulutnya. Dia terluka dalam. Tak mungkin lagi melanjutkan pertarungan. Nenek sakti itu menjeritkan sebuah lengking kemarahan yang bergema dahsyat di ngarai terpencil itu disusul tubuhnya yang berkelebat lenyap dengan menyisakan ancaman yang mengerikan.

"Aku bersumpah akan mencarimu lagi gadis tengik! Aku akan membunuhi satu persatu orang-orang yang telah menyebabkan adikku tewas! Terutama Arya Dahana!"

Ratri Geni duduk bersila dengan nafas terengah-engah. Pertarungan yang sangat luar biasa. Dia langsung bertempur melawan seorang yang sangat sakti dalam pertandingan hidup mati. Sima Braja mendekat. Dijilatinya lengan Ratri Geni dengan lembut. Gadis itu terhenyak kaget. Meski tadi tidak sampai terkena pukulan langsung di dadanya, namun hawa pukulan nenek sakti itu sempat menyerempet lengannya dan menimbulkan rasa sakit yang cukup hebat. Tapi setelah dijilati beberapa kali oleh Sima Braja, Ratri Geni merasakan suatu hawa aneh masuk ke pori-pori lengannya yang pulih dengan cepat.

Ki Ageng Waskita menghampiri Ratri Geni. Diusapnya kepala gadis itu pelan. Tokoh sakti ini tahu Ratri Geni menderita luka di bagian lengan. Kembali Ratri Geni terhenyak kaget. Usapan pelan Ki Ageng Waskita mendatangkan hawa hangat yang masuk ke ubun-ubun kepalanya. Mengalir ke seluruh tubuh dan membuka aliran darah yang tersumbat akibat pukulan Nyai Sembilang. Rasa nyeri di lengannya langsung lenyap.

Selintas pikiran memenuhi benak Ratri Geni. Usapan Ki Ageng Waskita dan jilatan Sima Braja mendatangkan hawa hangat yang persis sama rasanya. Hanya berbeda dari sisi kekuatan penyembuhannya saja. Jangan-jangan..

"Betul nak, Sima Braja adalah peliharaanku sejak dia masih kecil. Harimau yang nyaris mati karena kehilangan induknya puluhan tahun yang lalu." Ratri Geni tersenyum puas karena tebakannya benar. Buru-buru gadis ini memberikan hormat kepada kakek tua yang luar biasa ini.

"Terimakasih Kakek telah menyelamatkanku dari tangan kejam nenek sakti itu."

Ki Ageng Waskita tertawa pelan.

"Kaulah sebenarnya yang telah menyelamatkan aku sehingga aku tadi tidak bertarung sampai mati dengan Nyai Sembilang, Nduk." Ki Ageng Waskita memberi isyarat Ratri Geni agar mengikutinya. Mereka berjalan ke pinggir ngarai yang di semua tepinya dipagari oleh dinding tebing tegak lurus yang sangat tinggi. Kecuali tempat Sima Braja dan dirinya turun tadi.

Sampailah mereka di mulut gua besar yang sangat tersembunyi karena tertutup oleh bebatuan raksasa yang kemungkinan adalah hasil letusan gunung purba di masa dahulu kala. Sima Braja masuk ke dalam gua dan tak lama kemudian keluar dengan membawa sekeranjang buah-buahan lalu meletakkannya di hadapan Ratri Geni yang melongo.

"Makanlah Nduk. Kamu pasti lapar sekali. Buah segar ini aku petik dari pohonnya tadi pagi. Ini akan memulihkan tenagamu."

Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Ratri Geni langsung menyantap buah-buahan segar itu dengan lahap. Ki Ageng Waskita dan Sima Braja melihat dengan senang betapa lahapnya gadis itu makan.

Setelah selesai mengisi perutnya, Ratri Geni menatap Ki Ageng Waskita yang duduk bersila tak jauh darinya. Sima Braja tidak terlihat. Mungkin harimau itu enak-enakan tidur dalam gua.

"Maaf Kakek. Kalau boleh tahu kenapa nenek sakti tadi sepertinya pendendam sekali. Sampai menyebut nama ayahku dengan penuh kebencian?"

Ki Ageng Waskita sudah menduga gadis muda yang luar biasa ini pasti tidak hanya punya hubungan guru dan murid dengan Arya Dahana. Kepalanya mengangguk pelan.

"Di tangan Ayahmu lah adik kandung Nyai Sembilang tewas Nduk. Karena itulah begitu mendengar kamu ada hubungan dengan Arya Dahana, dia langsung menyerangmu habis-habisan."

Ratri Geni mengangguk paham.

"Tapi kenapa dia menyerang kakek juga dengan penuh dendam?"

Ki Ageng Waskita menghela nafas panjang.

"Karena akulah yang dulu menggagalkan upayanya untuk mendapatkan Mustika Naga Air. Dia terluka terkena sabetan ekor naga sedangkan aku berhasil mengambil mustika itu di kepala naga."

"Satu lagi yang ingin aku tanyakan Kek. Sebelum ke sini aku sempat bertarung dengan seorang gadis berjuluk Gadis Penebar Maut. Ada kesamaan dalam jurus pukulan mereka berdua."

Ki Ageng Waskita tersenyum tipis.

"Dewi Lastri atau yang kau sebut dengan julukan Gadis Penebar Maut itu memang murid Nyai Sembilang, Nduk."

Wah! Ratri Geni langsung tanggap. Pantas saja mereka sama-sama ganas dan berdarah dingin.

"Hati-hati dengan Dewi Lastri, Nduk. Kalau tidak ada yang sangat penting, jangan berurusan dengan gadis itu. Dia juga merupakan anak didik Ratu Laut Utara."

*******