webnovel

Bab 34-Puncak Merbabu

Bagi seorang pendaki gunung

memanjat ke puncak adalah pertukaran rasa lelah

atas gulungan tekad

dan keping-keping semangat yang tersemat

Arawinda menepuk bahu Ario Langit.

"Kejar dia! Kau harus menemani tunanganmu menjalankan tugasnya di Gunung Merbabu." Ario Langit memeluk Ibunya dan bersiap pergi. Namun Arya Dahana ganti yang menepuk bahu Ario Langit.

"Jangan, Nak! Biarkan dia memulainya sendiri. Meski Ratri Geni adalah setengah tunanganmu, namun ketahuilah putriku itu sangat bengal dan suka memberontak. Saranku jangan ikuti dia sampai dia sendiri yang akan menemukanmu." Arya Dahana menatap ke arah Arawinda.

"Kau harus temui Dewi Mulia Ratri agar tuntas setengahnya lagi, Arawinda. Aku tunggu kau di Gua Danu Cayapata. Ini adalah petunjuk tempatnya." Arya Dahana mengangsurkan sepotong daun berbentuk aneh kepada Arawinda yang segera menyimpannya di saku baju. Pendekar sakti itu membungkukkan badan di depan Ki Ageng Ciremai. Dalam satu kejapan mata, tubuhnya sudah lenyap dari tempat itu.

Ario Langit menghela nafas dan sedikit bergidik. Setengah tunangan dan setengah mertuanya adalah orang-orang sakti yang aneh luar biasa!

"Ibu, aku harus pergi ke Blambangan. Aku mempunyai dua tugas yang harus aku selesaikan segera. Menuntaskan janji dengan seorang teman dekat dan mencari sampai ketemu Gadis Penebar Maut tadi untuk mempertanggung jawabkan kejahatannya yang luar biasa." Ario Langit berpamitan sambil memeluk lagi Ibunya. Arawinda mencium pipi putranya dan menganggukkan kepala. Ario Langit berlari cepat dan disusul dengan perginya Arawinda ke arah berbeda. Meninggalkan sunyi yang kembali sendiri di puncak gunung yang anggun itu. Ki Ageng Ciremai juga sudah kembali ke tempat pertapaannya yang berada tak jauh dari kepundan kawah Gunung Ciremai.

-----

Ratri Geni melepaskan ketawanya yang terpingkal-pingkal di lereng Gunung Ciremai. Setengah Pertunangan? Ayahnya memang mengambangkan semuanya dengan menciptakan istilah aneh ini. Dia tidak terikat kepada Ario Langit karena setengahnya lagi masih menunggu keputusan Dewi Mulia Ratri. Dia akan membujuk Ibunya agar tidak menyetujui pertunangan ini. Ratri Geni memandang jarinya yang dilingkari cincin aneh dari batu lava buatan ayahnya. Seraut wajah melintas cepat dalam benaknya. Bukan wajah Ario Langit. Namun raut muka sedih Raden Soca.

Gadis itu kembali berkelebat pergi ke arah timur. Menambah kecepatan larinya karena bayangan wajah itu terus saja menghantui benaknya. Dia tidak boleh terus memikirkan pemuda pendendam yang ingin membunuh ayah dan ibunya itu. Kalau perlu dia harus menghajarnya lain kali jika bertemu. Tapi sorot mata sedih yang terus menolak melawannya, seolah membuat Ratri Geni menemukan misteri yang sangat dalam di sana.

Ratri Geni tersadar dari lamunan. Sebuah bayangan besar membayanginya dari sisi sebelah kiri hutan. Gadis itu tertawa lebar. Menambah kecepatan larinya. Mengira Sima Braja mengajak adu lari. Ratri Geni mendadak berhenti. Sebuah auman panjang dari sisi hutan sebelah kanan yang sangat dikenalinya membuat Ratri Geni sadar bahwa yang sedang mengajaknya lomba lari bukan harimau hitam.

Gadis ini bersuit nyaring. Geraman rendah menyahut dari sebelah kiri. Disusul sosok besar melompat tinggi dan menerkam Rari Geni. Ratri Geni melompat lebih tinggi sehingga dialah yang jadinya menerkam harimau putih raksasa yang menggeleng-gelengkan kepala mencoba mengusir Ratri Geni yang berada di atas punggungnya sambil memegangi surai di lehernya.

Auman marah terdengar dari sebelah kanan. Sima Braja menerkam Sima Lodra dengan kecepatan yang mengagumkan. Ratri Geni yang tidak menginginkan perseteruan di antara mereka, melompat dan pindah ke punggung Sima Braja. Membuat harimau hitam besar itu menghentikan serangannya karena takut Ratri Geni terkena akibatnya.

Ratri Geni melompat turun dari punggung Sima Braja lalu menghampiri Sima Lodra yang terlihat tenang meski Sima Braja menggeram-geram mengancam. Gadis ini mengelus leher Sima Lodra yang kemudian berbaring sambil menjilati kaki depannya. Sima Braja nampak terheran-heran melihat Ratri Geni akrab dengan harimau raksasa berwarna putih itu. Sikapnya masih waspada. Berjalan mengitari Sima Lodra. Mengawasi jika sewaktu-waktu harimau itu menunjukkan gelagat membahayakan Ratri Geni.

Ratri Geni tertawa terbahak.

"Kalian tidak usah bertengkar. Sima Braja, perkenalkan ini Sima Lodra. Sima Lodra, harimau hitam itu temanku Sima Braja."

Sima Lodra menggeram rendah dan mengendus lembut tangan Ratri Geni. Gadis ini sudah dewasa sekarang. Sejak gadis ini masih bayi, dia termasuk salah satu pengasuhnya. Sima Braja mendatangi Ratri Geni dan berbaring di sebelahnya. Gadis itu sekarang diapit dua harimau raksasa berwarna hitam dan putih.

Tanah bergetar cukup keras beberapa kali. Ratri Geni menempelkan telapak tangan di tanah.

"Aku harus ke Puncak Merbabu. Kitab ini harus segera berada di tempatnya. Sima Lodra pulanglah ke Gua Danu Cayapata. Ibu pasti kesepian karena ternyata Ayah juga mengembara. Sima Braja ikutlah aku ke Puncak Merbabu. Aku akan kesepian di sana kalau kau tidak ikut."

Kedua harimau itu bangkit berdiri. Keduanya mengeluskan leher ke tubuh Ratri Geni yang tertawa cekikikan karena geli. Sima Lodra melompat jauh sambil mengeluarkan auman panjang. Sedih karena harus berpisah dengan gadis asuhannya itu. Sima Braja berputar-putar sambil menggeram. Tak sabar untuk lomba lari dengan Ratri Geni menuju puncak Gunung Merbabu. Karena dilihatnya Ratri Geni masih belum beranjak, Sima Braja melompat jauh dan berlari kencang menuju arah Merbabu. Ratri Geni terperanjat.

"Heiii!! Kau curang Sima Braja!" tubuh gadis itu berkelebat cepat menyusul Sima Braja. Dia tidak mau kalah dengan harimau itu.

Kalau saja ada orang yang melihat 2 sosok bayangan yang berlarian di tengah hutan seperti itu, pastilah dia tidak akan mempercayai penglihatannya. Seorang gadis ramping mengejar seekor harimau besar berwarna hitam. Ratri Geni seolah seperti seorang pemburu yang sedang mengejar buruannya. Namun setelah gadis itu berhasil mendahului Sima Braja, pemandangan berubah seolah ada seorang gadis yang sedang diburu oleh harimau. Orang itu mungkin akan menganggap mereka berdua adalah hantu atau siluman jadi-jadian.

Karena terus berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh tanpa berhenti sama sekali, menjelang sore Ratri Geni sudah mulai memasuki lereng Gunung Merbabu. Sima Braja tertinggal cukup jauh di belakang. Beberapa kali auman garang dikeluarkan Sima Braja karena tidak sanggup mengejar gadis yang harus dijaganya itu.

Ratri Geni memandang puncak gunung yang cukup tinggi itu dari kejauhan. Nampak asap putih membubung dari puncaknya yang berkabut tipis. Dugaannya benar. Gunung Merbabu sedang memasuki tahap aktif dan mengeluarkan tanda-tanda hendak meletus. Ratri Geni melihat ke bawah. Banyak bertebaran rumah-rumah penduduk di sekeliling gunung besar dan tinggi ini. Jika sampai gunung ini meletus, akibatnya akan berbahaya bagi ribuan orang yang tinggal di sekitarnya. Gawat! Aku tidak boleh terlambat!

Ratri Geni menggerakkan tubuhnya. Berlari cepat ke arah puncak. Diikuti oleh Sima Braja yang tidak lagi mengaum-ngaum. Harimau itu juga tahu situasi sedang sangat berbahaya.

---****