webnovel

Bab 27-Kilas Balik Pertengkaran

Terik memanggang dinginnya hati

yang terjebak oleh musim yang kehabisan api

tungku yang dipanaskan

hanya sanggup membasuh ingatan

tanpa mampu sedikitpun melupakan

Ratri Geni menghabiskan waktu beberapa hari dengan berlatih terus Ilmu Inti Bumi di pinggir sungai lereng Ciremai. Di sela-sela waktu latihannya, gadis ini terus mencatat dalam hati siapa saja yang melewati jalan setapak menuju puncak. Banyak tokoh-tokoh yang tidak bisa dikenalinya karena tidak sesuai dengan gambaran yang sering diceritakan ayahnya. Ratri Geni tidak heran kenapa belum ada satupun di antara Raden Soca, Dewi Lastri, Ario Langit, Ayu Kinasih, Jaka Umbara, maupun Sekar Wangi melewati jalan setapak itu.

Dia yakin mereka tidak melalui jalanan biasa. Termasuk juga tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi lainnya seperti para tokoh sakti Delapan Penjuru Gunung misalnya. Mereka pasti memilih jalan yang jarang dilalui oleh orang lain.

Ini adalah sore terakhir dia berada di tepi sungai kecil jernih yang tersembunyi ini. Ratri Geni memutuskan akan naik ke puncak beberapa saat sebelum menjelang tengah malam. Jarak tempuh dari tempat ini ke puncak tak terlalu lama jika dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Geraman rendah di belakangnya memunculkan ide Ratri Geni.

Gadis ini mendatangi Sima Braja yang di mulutnya menggigit seekor ikan besar. Ratri Geni tertawa tergelak.

"Hahaha! Kau hendak membujukku dengan mengatakan bahwa kau bukan harimau pemalas bukan, Halilintar?" Ratri Geni mengelus leher Sima Braja dengan sayang. Lalu melanjutkan ucapannya yang disambut geram kekecewaan harimau hitam itu.

"Tapi kau salah waktu Halilintar. Aku sudah kenyang makan ikan kecil-kecil di sungai ini. Kau akan tetap kuanggap sebagai harimau termalas. Kecuali jika…." Ratri Geni sengaja menghentikan ucapannya. Menunggu reaksi Sima Braja. Harimau itu merendahkan tubuhnya dan menggeram-geram.

"Baiklah. Kalau kau mau tahu apa syaratnya, aku akan memberitahumu. Terserah apakah kau akan menolak atau tidak. Ini menyangkut sebutan pemalas atau tidak saja. Hahaha!" Kembali Ratri Geni tertawa tergelak. Sima Braja membuka mulutnya. Menyeringai lebar seolah sudah tak sabar menunggu apa syarat yang diajukan Ratri Geni.

"Kau harus membawaku ke puncak Gunung Ciremai. Aku lelah. Alangkah enaknya jika aku tak perlu menghabiskan tenaga berlari. Biarkan aku tidur di punggungmu. Bagaimana?"

Sima Braja seperti terpaku sesaat. Seolah sedang berpikir keras. Tapi kemudian harimau itu menggeram rendah menganggukkan kepala. Ratri Geni bersorak kegirangan. Lumayanlah dia menghemat tenaga ke puncak. Sima Braja pasti tidak menemui kesulitan kalau hanya membawa beban seberat dirinya di punggungnya yang kuat.

"Kalau begitu ayo kita habiskan dulu ikan hasil tangkapanmu. Setelah itu kita berangkat." Ratri Geni mengambil ikan sebesar kepala kerbau yang tergeletak di tanah. Masih segar. Rupanya Sima Braja mencari ikan dulu sebelum menemuinya di sini. Ratri Geni tersenyum geli dalam hati.

Dengan riang Ratri Geni membakar ikan besar dan membumbuinya dengan bumbu-bumbu lengkap yang ada di kantong perbekalannya. Gadis ini mewarisi sifat ayahnya yang selalu lengkap membawa berbagai macam bumbu saat sedang dalam pengembaraan.

Aroma wangi ikan bakar langsung menguar memenuhi udara. Sima Braja menjulurkan lidah tak sabar. Ratri Geni melihat ikan hasil bakarannya. Bahkan untuk Sima Braja saja ikan ini masih kebesaran. Seharusnya ikan sebesar ini dimakan tiga orang dan satu harimau.

Terdengar suara ranting patah terinjak. Ratri Geni yang selalu waspada dengan sigap menoleh ke asal suara.

"Siapa? Keluarlah! Atau kau kusambit memakai duri ikan!" Sima Braja membalikkan badan dan bersiap menyerang.

"Eiit! Tunggu! Jangan main serang saja harimau! Aku Ario Langit ingin ikut makan. Aku sangat lapar." Ario Langit mengangkat kedua tangannya ke atas. Hidungnya membaui sesuatu yang sangat lezat dari arah hulu sungai tempatnya minum air. Dia mendatangi tempat itu dengan hati-hati dan menemukan Ratri Geni sedang membakar ikan ditemani harimau yang menakjubkan itu.

Ratri Geni terbelalak. Ario Langit! Untunglah cahaya bulan sanggup menyembunyikan pipinya yang memerah. Lalu Ratri Geni menyadari sesuatu.

"Di mana Ayu Kinasih? Bukankah kau terakhir berjalan bersamanya Ario?" Pertanyaan jebakan. Ratri Geni sangat ingin tahu apakah gadis pencemburu itu bersama si Pendekar Langit.

Ario Langit menggeleng sedih. Teringat pertengkaran hebat di antara mereka. Atau tepatnya kemarahan hebat Ayu Kinasih kepadanya.

Mereka sedang menyusuri pesisir selatan menuju Istana Blambangan yang menjadi tujuan Ayu Kinasih saat gadis itu bertanya malu-malu.

"Ario, menurutmu kapan kita akan meresmikan kita ini?" Ayu Kinasih menunjuk dirinya sendiri dan dirinya. Ario sejenak tertegun. Tidak tahu apa yang dimaksud oleh Ayu Kinasih. Namun wajahnya memerah ketika menyadari bahwa yang disebut kita ini adalah peresmian hubungan mereka sebagai suami istri. Sebuah ikatan pernikahan. Wajah pemuda itu memucat dan mulutnya terkunci. Tidak tahu harus berkata apa karena memang tidak terlintas sedikitpun dalam benaknya akan muncul pertanyaan seperti ini.

Melihat Ario Langit termangu-mangu dengan wajah pucat, Ayu Kinasih berubah air mukanya. Pertama pias pasi dan kemudian memerah karena amarah.

"Hmm. Aku sudah menduga kau pasti akan mengelak Ario!" Ayu Kinasih menatap tajam mata Ario Langit sampai yang ditatap belingsatan tak karuan. Pemuda itu menjawab sebisanya.

"Ten..tu. Tentu nanti a..akan kita pikirkan bersama Ayu." Jawaban sebisanya yang sangat gagap dan menyakitkan bagi Ayu Kinasih.

"Aku memang sudah menduganya Ario. Kau memang laki-laki tak bertanggung jawab!" Ayu Kinasih berlari dengan isak tertahan. Ario Langit berkelebat mecegat Ayu Kinasih.

"Tunggu Ayu! Kita akan bicarakan ini setelah kita sampai di Blambangan. Selain itu aku juga harus menghadap ayah ibumu juga bukan?"

"Kau banyak beralasan Ario Langit! Aku tahu kau masih memikirkan gadis sialan yang pernah mengalahkanmu bukan?!" Ario Langit terpaku. Wajahnya yang murung semakin menggelap. Ah, kenapa semuanya menjadi seperti ini? Dia berniat mengobati Ayu Kinasih dengan cara aneh yang dibisikkan oleh seseorang atau sesuatu. Dan itu memang kenyataan yang tak bisa dihindari oleh mereka berdua. Kenapa harus dia sendiri yang disalahkan atas kejadian ini? Lagipula dia juga berniat bertanggung jawab. Hanya saja tidak dengan cara mendesak-desak seperti ini.

"Bukan seperti itu Ayu. Percayalah aku pasti bertanggung jawab. Tapi tunggulah saat yang tepat. Setelah menyelesaikan semua urusan, barulah kita bersama-sama menghadap orang tuamu." Ario Langit berusaha membujuk Ayu Kinasih yang wajahnya telah basah dengan airmata.

"Tidak! Kalau kau memang berniat, kita resmikan sekarang. Kita cari kampung terdekat dan mengikatkan diri. Jika tidak, kau tidak perlu mengenalku dan anak yang aku kandung ini selamanya!" Ayu Kinasih menjerit sejadi-jadinya.

Ario Langit hanya terperangah. Benarkah? Secepat itukah? Ayu Kinasih yang melihat sebersit keraguan di wajah Ario Langit tak sanggup lagi menahan diri. Tubuhnya berkelebat pergi. Hanya suaranya saja yang masih terdengar penuh amarah.

"Kau tidak perlu mencariku Ario Langit! Akupun tidak sudi bertemu lagi denganmu!"

Sampai gema suara itu habis, Ario Langit masih termangu. Pemuda ini benar-benar tidak menyangka Ayu Kinasih akan semarah ini. Setelah sadar Ayu Kinasih tidak berada lagi di depannya, pemuda ini menggerakkan tubuhnya mengejar. Dia memutuskan akan mengikuti kemauan Ayu Kinasih daripada terjadi apa-apa dengan gadis itu.

Meskipun dalam beberapa hari pemuda itu berusaha keras mencari dan menemukan jejak Ayu Kinasih, namun dia tidak berhasil. Ayu Kinasih seolah hilang ditelan bumi. Ario Langit merasa sangat bersalah. Seharusnya dia bersikap tegas mengiyakan tadi. Namun kekagetan luar biasa membuatnya lambat mengambil keputusan.

--******