webnovel

Bab 24-Delapan Penjuru Gunung

Gunung-gunung tinggi sesungguhnya

adalah laut yang terbelah

lalu melahirkan anak-anaknya

dengan jutaan rasa lelah

Apa yang dilakukan Sekar Wangi tepat. Saat kedua sosok itu menyerang hebat yang membuatnya terdesak, bermunculan para prajurit dan tokoh-tokoh Istana Pajang. Namun tak urung juga sebuah sabetan pedang dari penyusup mengenai lengannya yang langsung luka berdarah.

Sekar Wangi melompat mundur. Lengannya perih dan sulit digerakkan. Beruntung para prajurit yang berduyun-duyun datang langsung mengambil alih pertempuran. Kedua orang penyusup itu dikeroyok selusin prajurit. Terjadilah pertempuran yang hebat. Sekar Wangi merasa tubuhnya ditangkap oleh seseorang yang memeluknya dari belakang sebelum pingsan. Lukanya cukup parah dan banyak mengeluarkan darah. Sekar Wangi kehabisan tenaga dan tak sadarkan diri.

Begitu siuman Sekar Wangi mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang bersih dan indah. Lengannya yang terluka telah dibebat rapi. Wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan Arya Batara. Memandangnya dengan penuh rasa terimakasih namun juga khawatir.

"Kau sudah siuman Sekar. Aku khawatir sekali melihat lukamu yang banyak mengeluarkan darah. Wedya Hananta langsung aku panggil datang untuk mengobati lukamu." Seraut wajah tua yang ramah tersenyum kepadanya di sebelah Arya Batara. Sekar Wangi membuka mulut dan berkata dengan gemetar. Dia benar-benar kehabisan tenaga.

"Bagaimana keadaan Jaka Umbara, Paman? Apakah dia baik-baik saja?" Wedya Hananta mengangguk.

"Dia baik-baik saja, Nduk. Lusa dia sudah bisa berjalan kembali. Dalam waktu beberapa hari dia akan pulih sepenuhnya. Sekarang kau beristirahatlah. Kau kehabisan tenaga dan perlu pemulihan beberapa hari. Apalagi kau kehilangan banyak darah akibat luka pedang itu."

Sekar Wangi mengangguk lemah. Untuk menggerakkan jarinya saja dia kesulitan. Dia ingin tidur. Apalagi dirasakannya tempat tidur ini nyaman sekali. Sekar Wangi menutup matanya dan perlahan-lahan menuju pulas. Dia masih sempat mendengar Arya Batara berkata kepada orang-orang.

"Biarkan dia tidur dan memulihkan diri di kamarku. Aku akan tidur di kamar sebelah agar bisa menjaganya." Sekar Wangi tertidur nyenyak dengan senyum manis di bibirnya.

-----

Ratri Geni bersiul. Terdengar geraman rendah menyahuti siulannya. Sima Braja mendatangi dan mengusapkan leher yang berbulu tebal ke kakinya. Mereka sedang dalam perjalanan ke barat. Tugas dari Ki Ageng Waskita untuk memantau perkembangan di Gunung Ciremai membuat Ratri Geni melakukan perjalanan cepat.

Awalnya gadis ini tidak mau ditemani Sima Braja. Ki Ageng Waskita juga menyuruh harimau raksasa itu agar tetap tinggal bersamanya di lembah Alas Roban. Tapi belum setengah hari Ratri Geni berjalan menerobos hutan, suara auman Sima Braja terdengar sangat dekat. Ratri Geni lalu bersiul memanggilnya.

"Kau lari dari Ki Ageng ya? Tentu saja kau tidak betah kalau hanya makan tidur saja di hutan yang sepi itu." Ratri Geni tersenyum mengejek kepada Sima Braja yang menggeram rendah mengiyakan. Gadis itu tidak tega menyuruh pulang harimau hitam ini. Biarlah dia akan mengajaknya ke Gunung Ciremai. Lagipula perjalanan akan melewati hutan demi hutan sehingga tidak akan menimbulkan ketakutan orang begitu melihat harimau raksasa ini.

Ratri Geni duduk bersila di banir sebatang pohon raksasa. Ki Ageng Waskita berpesan agar dia selalu melatih diri memperkuat hawa sakti Inti Bumi yang diajarkannya.

"Ini bukan jurus-jurus pukulan, Nduk. Ilmu Inti Bumi adalah ilmu tua yang mengambil saripati bumi agar bisa disalurkan ke dalam tubuh. Saripati ini akan memperkuat hawa sakti di tubuhmu hingga berlipat kali apabila kau berlatih dengan tekun. Kau adalah gadis muda yang sulit dicari tandingannya saat ini. Tapi aku mendengar bisikan angin bahwa tiga tokoh sakti Delapan Penjuru Gunung akan muncul dari pertapaannya masing-masing menuju Puncak Ciremai. Selain tentu Ki Ageng Ciremai sendiri yang merupakan satu dari empat tokoh sakti Delapan Penjuru Gunung."

Ratri Geni bertanya dengan penuh rasa penasaran. Ayahnya tidak pernah bercerita tentang empat tokoh ini.

"Siapa saja mereka, Ki? Ayahku tidak pernah bercerita sedikitpun mengenai mereka."

"Tentu saja, Nduk. Empat tokoh dari Delapan Penjuru Gunung ini memang tidak pernah menampakkan diri ke dunia persilatan. Mereka lebih memilih bertapa. Tapi Pemanggilan Kitab Langit Bumi ini mengharuskan mereka datang menjaganya. Mereka tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk menguji batasan ilmu mereka yang sudah selangit. Ada persaingan yang terselubung dan kekanak-kanakan dari tokoh-tokoh tua yang enggan campur tangan urusan dunia ini. Mereka tidak mau kalah satu sama lain." Ki Ageng Waskita menjelaskan dengan panjang lebar.

Ratri Geni semakin tertarik. Matanya berbinar-binar saat melanjutkan pertanyaan.

"Siapa saja nama mereka, Ki?"

Ki Ageng Waskita menarik nafas panjang. Tokoh tua ini tahu muridnya adalah seorang yang haus akan pengalaman besar. Apalagi ayahnya adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang sangat terkenal. Tentu gadis ini ingin mempertahankan nama besar ayahnya. Gadis ini dipastikan akan menemui bahaya demi bahaya dalam pengembaraannya.

"Pertama adalah Ki Ageng Ciremai sendiri. Tokoh ini dianggap sebagai penunggu Gunung Ciremai meski sebetulnya dia adalah manusia biasa. Kemampuannya luar biasa dalam mengendalikan tanah. Dia bertapa di dekat kepundan Gunung Ciremai. Kitab langka Langit Bumi ini muncul juga atas panggilannya."

Ratri Geni memotong cepat. Dia tidak boleh kehilangan sedikitpun potongan cerita.

"Kenapa kitab itu dipanggil, Ki?"

Ki Ageng Waskita tersenyum sabar.

"Untuk menjaga keseimbangan gunung, Nduk. Kitab Langit Bumi bergantian menghuni puncak-puncak gunung berbahaya yang sewaktu-waktu bisa meletus dan menimbulkan kekacauan besar bagi manusia yang tinggal di sekitarnya."

Ratri Geni mengangguk. Mendengarkan dengan seksama.

"Kedua adalah Ki Ageng Merapi. Tokoh ini juga tinggal dan bertapa di sekitar kawasan kepundan Gunung Merapi. Dia memiliki kemampuan luar biasa mengendalikan api. Tokoh yang satu ini cukup pemarah. Berhati-hatilah jika bertemu dengannya."

Ratri Geni tak bisa menahan keingintahuannya," lalu, Ki?"

"Ketiga adalah Ki Ageng Slamet. Tokoh ini sangat pendiam tapi memiliki kelebihan mengendalikan air. Ilmunya sangat tinggi dan dianggap sebagai orang terkuat dari seluruh tokoh Delapan Penjuru Gunung selain Ki Ageng Semeru. Tokoh yang mendiami sebuah ngarai misterius di Gunung Semeru. Kemampuannya dalam mengendalikan udara sangat luar biasa."

Ratri Geni terus mencecar dengan pertanyaan yang bertumpuk di kepalanya.

"Kenapa dijuluki Delapan Penjuru Gunung kalau cuma ada empat orang, Ki?"

Kali ini Ki Ageng Waskita tidak bisa menahan tawanya. Gadis ini memang selalu penasaran terhadap hal-hal seperti ini.

"Ada empat lagi tokoh seperti Ki Ageng Merbabu, Ki Ageng Rinjani, Ki Ageng Kerinci, dan Ki Ageng Agung. Tapi kabarnya empat tokoh ini sudah meninggal dunia. Masing-masing juga punya kelebihan mengendalikan unsur-unsur di bumi."

Ratri Geni belum mau berhenti.

"Apakah ini ada hubungannya dengan ilmu pukulan Amurti Arundaya, Danu Cayapata, Gempa Pralaya, dan Aguru Bayanaka, Ki?"

Ki Ageng Waskita menggelengkan kepala.

"Tidak ada hubungannya tapi mirip, Nduk. Keempat ilmu pukulan yang kau sebutkan itu adalah ilmu langka yang mendasarkan diri kepada unsur-unsur bumi juga. Namun sumbernya berbeda."

Ratri Geni melemparkan pertanyaan terakhir.

"Kenapa Ki Ageng mengkhawatirkan aku? Bukankah tadi Ki Ageng menyebutkan bahwa empat orang dari Delapan Penjuru Gunung ini tidak mencampuri urusan dunia?"

Ki Ageng Waskita sejenak termangu. Namun kemudian menjawab pertanyaan Ratri Geni yang membuat gadis itu terbelalak kaget.

--***