webnovel

Bab 4. Bukan kebetulan lagi.

Pada akhirnya, Kirana cuma beli sari roti lagi di dekat minimarket. Niatan dia mau ke pajak, tidak jadi. Sudah mau siang. Jalan kaki ke sana sudah berapa menit. Kirana bisa saja menggunakan angkutan roda tiga. Demi hemat pegangan di kantong. Jadi dia mengurungkan niat tidak menggunakan angkutan itu. Belum lagi terik matahari yang panas, pastinya buat dia lelah, apalagi penglihatan di depan saja sudah buat matanya buram.

Beginilah, keseharian hidupnya menjalani seorang diri. Jika dia memikirkan saat lulus sekolah. Membantah untuk tidak ingin lanjut pendidikan tinggi lagi. Apa yang bisa dia lakukan? Dengan gelar ijazah sekolah bagi orang tuanya tidak cukup. Orang tuanya menginginkan dirinya seperti anak tetangga lain. Yang sukses karena pendidikan. Maka dari itu, mereka berkeinginan untuk Kirana bisa sukses dan tidak mengecewakan mereka.

Lelah sebenarnya jika Kirana mengingat itu semua. Kehidupan Kirana memang tidak sebagus dari orang seperti dirinya. Hidupnya selalu dibandingkan oleh orang lain. Jika bukan perjuangan dari orang tua rela banting tulang membesarkannya, memberikan terbaik. Sampai sekarang, dia belum bisa membalas budi kebaikan dari mereka. Malahan dia akan semakin mengecewakan mereka.

"Ah! Maaf!"

Kirana terkejut, setelah apa yang dia lakukan dengan berjalan hingga melamun, sampai menabrak orang yang lewat di depannya. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya untuk pulang. Tetapi sebuah tangan mencegahnya. Dia menoleh.

Bukan kebetulan lagi, Kirana kembali bertemu dengan pria itu yang sempat menolong, menemani dirinya sampai di depan rumah saat pulang dari kampus. Cukup lama mereka bertatapan. Kemudian Kirana menarik tangan dari genggaman pria itu.

"Ini, jatuh, pas tabrakan tadi." Pria itu menyerahkan sebungkus warna orange di tangannya.

Bentuk di bungkusan itu berbentuk gambar segi panjang dengan nama jelas. Bahkan dengan terangan berikan kepada Kirana di depan umum. Orang-orang yang lewat di sana, malah senyum-senyum. Dengan cepat Kirana mengambil dengan muka tidak bisa dia sembunyikan lagi.

Kirana sekalian di minimarket beli pembalut. Karena dia sudah menghitung hari. Beberapa hari lagi, dia akan kedatangan haid. Jadi, dengan uang dia punya. Dia bisa beli pembalut itu dengan ukuran kecil isinya hanya sepuluh.

Pria itu malah tidak merasa malu dengan benda bungkusan itu. Malahan dia acuh saja. "Makasih!" Kirana langsung pergi begitu saja tanpa berbasa-basi sama pria itu.

Entah kenapa Kirana tidak ingin terlalu dekat dengan pria itu. Seolah dia menghindar. Akan tetapi, setiap dia kemana, selalu bertemu dengan pria itu. Entah itu hanya kebetulan atau memang pria itu tinggal disini. Kirana tidak terlalu peduli soal itu.

"Sudah sarapan?"

Kirana menghiraukan pria itu, intinya dia melangkah kakinya lebih cepat. Pria itu terus mengikutinya. Kirana tidak habis pikir dengan tingkah pria itu. Dengan sikap sabar dimiliki oleh Kirana. Dia pun berhenti. Pria itu juga ikut berhenti.

"Bisakah kamu tidak terus mengikuti aku?"

Pria itu malah bersikap santai, malahan kekesalan Kirana itu memang untuknya. Tapi, dia malah cuek. "Saya hanya bertanya, sudah sarapan? Apa itu salah?" ucapnya datar.

Kirana menarik napasnya sangat pelan. "Memang aku harus menjawab pertanyaan kamu?"

Pria itu mengangkat bahu. "Saya hanya khawatir saja. Memang cukup sarapan kamu hanya sebungkus roti saja? Dari kemarin saya lihat kamu makan itu mulu. Apa tidak bosan? Ya, kalau kamu tidak keberatan. Saya bisa traktir kamu makan," ucapnya serius.

Kirana tidak tahu, tujuan pria itu terus mengikutinya. Atau hanya sekadar sok akrab. Tentu dia tidak akan kenyang dengan sebungkus roti. Itupun rasa roti tidak enak di lidah. Bahkan dia sudah bosan. Hanya itu yang bisa dia beli, karena murah. Belum lagi, setiap berangkat buat ke kampus, dia cuma mengisi perut dengan buah tomat ada di kulkas. Malamnya pas pulang, Jesika yang traktir makan untuknya. Begini amat nasib buruk dia miliki.

"Peduli apa kamu, kalau aku beli makanan apa, suka aku. Urus saja dunia pribadi kamu, kamu pikir dengan sikap baik kamu. Aku bakal luluh gitu. Ingat, aku bukan cewek karena hanya di traktir makan sama pria kayak kamu!" ucapnya, lalu berbalik dan kembali melanjutkan langkah kakinya ke rumah.

"Saya serius!" ujar pria itu.

***

"Mau pesan makanan apa?" Pria itu bertanya pada Kirana.

Dari tadi Kirana cuma memperhatikan isi gambar menu buku dengan warna yang sangat menggiurkan. Tetapi, rasa selera itu tiba-tiba menghilang karena melihat angka di sebelah nama menu makanan tersebut.

"Kamu yakin, akan traktir aku makan di tempat ini? Kenapa gak makan di warung pinggir jalan saja. Kayaknya kurang pantes deh, aku makan...."

"Saya sudah bilang, saya yang traktir, bukan kamu yang bayar. Jadi, kamu bebas mau pesan apa?" potongnya.

Kirana kembali membuka lembar per lembar nama tertampil di sana dengan deretan yang sesuai dengan gambar tersebut. "Bukan kamu yang bayar atau soal traktir. Semua makanan ini, kayaknya gak sesuai dengan selera di lidahku," ucap Kirana.

Pria itu malahan tidak merasa kesal, dia tahu, Kirana sengaja mengatakan itu. Agar dia mengurungkan niat tidak traktir Kirana. Jika bisa, memancing pria itu buat marah atau jengkel. Sayangnya, Kirana gagal membuat pria itu melakukan seperti itu.

"Atau mau dibungkus bawa pulang saja?" usul Pria itu.

Kirana terdiam sesaat. Dia sempat berpikir, jika dia bawa pulang. Bikin malu saja. Sudah duduk di sini dengan tempat yang mewah banget, seperti orang kaya beneran di matanya. Masa dia di sini cuma numpang duduk, numpang segarkan diri karena ada udara dingin.

"Ya sudah, aku pesan ini, sama ini," tunjuk Kirana pada pria itu. Kirana menyerah.

Tak lama kemudian, pria itu mengangkat satu tangan, dan seseorang berjalan menghampiri mereka. Dengan cepat, orang itu mencatat makanan di pesan tersebut. Setelah itu mereka menunggu. Kirana mengeluarkan hapenya, untuk membuang rasa canggungnya. Dapat pesan singkat dari Jesika.

Jesika : "Ana, ada tugas dari Pak Tomi, nih!"

Kirana membalasnya. "Tugas apaan?"

Beberapa kemudian, hape Kirana berbunyi. Kirana tanpa ragu mengangkat. Diseberang suara Jesika dengan nada kesal. "Kamu gak dapat email dari dia?"

Kirana sesekali melirik ke arah pria itu. Takut percakapan mereka terdengar olehnya. "Memang kamu dapat?"

"Jelas dapatlah. Tugas kali ini dikerjakan sendiri lagi! Rese itu dosen!"

Kirana tidak tahu, apakah dia dapat email atau tidak. Karena dia belum memeriksa hapenya yang satu lagi. Karena hape yang dia bawa adalah hape khusus. Pria itu malah tidak memperhatikan di mana Kirana sedang menerima telepon. Dia malah sibuk juga sama hapenya. Dengan muka begitu serius.

"Nanti baru kita bahas lagi," ujarnya.

"Memang kamu ada di mana?"

"Di luar, cari makan," jawabnya.

"Oh? Ya sudah, nanti ketemu di tempat biasa, ya!"

"Oke!"

Usai ngobrol di telepon. Tak lama makanan mereka datang. Kirana kembali memasukkan hapenya ke kantong. Pria itu masih sibuk sama hape. Kirana jadi tidak tenang buat makan. Tidak mungkin juga dia makan terlebih dulu. Sudah di kasih gratis, masa dia dengan sikap tidak sopan main nyosor.