Julia terkejut saat Kimo datang ke rumah dan menjemputnya untuk melakukan fitting baju pengantin. Pernikahan masih tiga bulan lagi, tetapi gadis itu sudah diminta untuk melakukan fitting baju pengantin. Gadis itu merasa heran.
Kimo juga sudah meminta izin kepada pemilik toko baju tempat Julia bekerja. Tidak hanya gadis itu, Dodit juga diminta datang ke rumah Oman untuk mencoba setelan jas yang disiapkan untuknya. Ambar dan Aura juga dibelikan baju kebaya dan kain. Hanya saja, mereka mencobanya di rumah.
"Pak Kim, kenapa saya harus mencoba baju pengantinnya sekarang?" tanya Julia dengan hati-hati.
"Pernikahan Anda dan Tuan muda … dipercepat, Nona."
"Apa? Kenapa begitu?" Julia bertanya dengan wajah syok. Ia pikir, ia masih memiliki waktu tiga bulan untuk bebas menjalani kehidupannya, membahagiakan ibunya, dan menikmati hari-hari indahnya sebelum terperangkap dalam pernikahan yang seperti penjara.
"Kenapa terkejut? Bukankah, seharusnya kau senang karena bisa segera jadi Nyonya Damian? Heh, munafik," cibir Damian yang baru saja masuk ke ruang ganti. Dia mengenakan setelan jas putih dengan dasi kupu-kupu berwarna merah melingkar sempurna di leher kemeja.
Jelas, laki-laki itu juga sedang mencoba baju untuk pernikahan mereka. Julia mengepalkan kedua tangannya. Damian selalu mengucapkan kata-kata yang merendahkan harga diri gadis itu setiap kali mereka bertemu.
Julia membuka mulut, berniat menjawab ucapan kasar Damian. Namun, Dodit segera membungkam mulut gadis itu. Tatapan tajam dan kata-kata ancaman yang sama seperti sebelumnya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas.
"Apa rencana hari ini, Pak Kimo?"
"Selain mencoba baju pengantin, masih ada jadwal pemotretan foto prewedding, Tuan Muda," jawab Kimo dengan santai dan tegas.
'Aku harus melakukan itu juga? Ya Tuhan, neraka apa yang akan aku pijak bersama laki-laki itu?'
"Tidak bisa disingkirkan saja acara itu?" Damian juga enggan melakukannya. Ia menganggap gadis itu hanya gadis murahan, tidak pantas untuk berdiri berdampingan dengannya apalagi membuat foto bersama.
"Tidak bisa, Tuan Muda. Tuan Besar bilang, Anda dan Nona Julia harus melakukannya. Karena mungkin, ini adalah …."
"Adalah apa?" Damian menarik lepas dasinya. Semua pakaian itu sudah pas di tubuhnya, terlihat cocok, dan sempurna membalut tubuh tingginya. Julia mungkin hanya sebatas pundak laki-laki itu, jika mereka berdiri berdampingan.
"Terakhir kalinya melihat Anda menikah, Tuan Muda."
Laki-laki itu tertegun. Di usia yang sudah menginjak kepala enam, memang wajar jika ayahnya beranggapan akan segera meninggal. Bahkan, yang masih muda saja belum tentu berumur panjang.
"Ya sudah. Tapi, jangan terlalu banyak. Buat dua foto saja. Aku malas lama-lama berada di dekat wanita itu," ujar Damian sambil menggerakkan bola matanya ke arah gadis yang memakai baju pengantin berwarna putih itu.
"Kamu pikir aku mau? Kamu setuju, tetapi aku tidak. Aku akan pulang sekarang juga," kata Julia. Ia melangkah pergi untuk masuk ke kamar dan mengganti bajunya. Namun, langkahnya berhenti, kakinya seolah-olah dipaku ke lantai.
"Kau tidak berhak menolak atau memerintah di sini! Kau hanya gadis belian ayahku, jadi … sadarkan dirimu. Jangan mengira kalau kau akan menjadi Nyonya di rumah ini atau di rumahku. Bermimpi pun tidak diperbolehkan." Damian pergi setelah semua bajunya diganti dengan baju biasa. Ia pergi begitu saja, meninggalkan Julia yang mematung di depan pintu kamar.
Kata-kata yang keluar dari mulut Damian, merobek-robek hati gadis itu. Bagaimana kasarnya laki-laki itu mengatai dirinya 'Gadis belian' di depan perancang busana, Kimo, dan beberapa pembantu yang sedang membersihkan rumah. Julia menteskan air mata, bahunya bergetar, sementara kedua tangannya meremas baju pengantin itu dengan gemetar.
"Gadis belian, heh!" Ia mencibir dan tertawa kecil. Harga diri Julia, rupanya memang telah jatuh sampai ke dasar. Ia yakin, tidak hanya Damian yang beranggapan seperti itu tentang dirinya.
Julia mengganti bajunya dan pergi bersama Kimo menuju lokasi pemotretan. Damian sudah pergi menggunakan mobil pribadinya. Baju untuk pemotretan, ada di dalam mobil yang lain bersama fotographer dan krunya.
Mengikuti keinginan Damian, mereka hanya akan mengambil dua foto saja. Foto menggunakan baju santai yang akan diambil di bawah air terjun. Sementara foto menggunakan gaun merah, akan mereka lakukan di perkebunan teh.
Sepanjang jalan, air mata Julia tidak berhenti menetes. Tangisan tanpa suara itu, membuat Kimo merasa kasihan. Ia tahu, gadis itu adalah anak yang baik dan berbakti. Ia melirik dari kaca spion, lalu menyerahkan tisu pada gadis yang duduk di kursi penumpang.
"Anda … baik-baik saja, Nona?" tanya Kimo berbasa-basi. Jelas ia tahu, gadis itu tidak baik-baik saja.
'Bagaimana aku baik-baik saja? Jika seminggu lagi, aku akan jatuh ke dalam neraka tanpa dasar. Sebesar apakah dosaku di kehidupan yang lalu? Mengapa, aku harus menerima penderitaan ini? Andai Papa masih hidup, aku akan hidup bahagia bersama Mama dan Papa.'
Julia menghapus sisa air mata di pipinya saat Kimo memarkir mobilnya di area parkir khusus kendaraan roda empat. Ia diminta mengganti bajunya dengan baju santai bermotif tulisan untuk pasangan. '½ Hatiku' tulisan yang tertera di bagian depan t-shirt, ditambah sebuah tanda panah penunjuk. Gambar hati terbelah serta tulisan itu, juga ada di bagian depan t-shirt yang dipakai Damian.
Laki-laki itu sudah berdiri di bawah air terjun bersama Julia. Fotographer sengaja mengambil gambar mereka yang berdiri tepat di pancuran. Dalam kondisi basah kuyup, mereka diminta saling berhadapan.
Damian memeluk pinggang Julia, sedangkan gadis itu diminta menempelkan kedua tangannya di dada laki-laki itu. Fotographer mengatakan cukup, tetapi laki-laki itu meminta mengulang beberapa kali, sampai gadis itu menggigil kedinginan. Ia baik-baik saja karena sudah terbiasa berenang berjam-jam saat pulang dari tempat kerja.
Lain halnya dengan Julia. Ia sudah menggigil, bibirnya membiru, jemari tangan dan kakinya sudah keriput karena terlalu lama terendam air. Melihat wajah gadis itu sudah pucat, barulah Julia diizinkan mengganti baju.
"Semua foto yang diambil belakangan, tidak ada yang bagus. Hapus semuanya, ambil yang dipotret pertama saja," ucap Damian sambil menyeringai ke arah Julia yang memejamkan mata karena kesal.
Setelah ia hampir mati kedinginan di bawah air terjun, dengan mudahnya laki-laki itu mengatakan untuk memakai hasil pemotretan pertama. Di dalam hati gadis itu seperti ada bom waktu yang hendak meledak. Namun, ia menarik napas pendek berkali-kali untuk meredam emosinya.
Mereka pindah lokasi pemotretan di kebun teh yang tidak jauh dari Air Terjun Perawan. Air terjun itu dipercaya masyarakat Desa Parangkaris sebagai tempat yang bisa melanggengkan sebuah hubungan. Karena itu, air terjun yang terletak di desa mereka itu tidak dijadikan tempat wisata.
Disebut perawan karena tidak pernah dijamah warga sekitar sembarangan, kecuali untuk pasangan yang akan menikah. Mereka biasanya akan mandi berdua bersama sesepuh desa untuk memastikan mereka hanya mandi dan tidak melakukan hal-hal tidak senonoh. Namun, Damian tidak memanggil sesepuh desa karena ia tidak hanya berdua dengan Julia.
====BERSAMBUNG====