Sekali lagi, aku memejamkan mata kuat-kuat. Aku pikir, aku akan mati. Namun, truk tersebut berhenti tepat di depanku. Mungkin hanya berjarak dua meter dari tempatku berdiri.
"Hey! Kamu cari mati, ya?" teriak sopir truk itu kesal.
Bos koko dan Pak David langsung berlari ke arahku.
"Kamu baik-baik saja,'kan, Rei?"
Setelah dekat, pria berkulit putih ini membolak-balikkan tubuhku dengan wajah cemas, sedangkan Pak David menemui sopir truk untuk meminta maaf. Aku langsung memungut tasku yang ada di jalan, setelahnya mengikuti langkah kaki bos koko untuk menepi, karena mobil truk pun hendak kembali berjalan.
"Ya ampun, Rei! Kamu hampir mati tau!"
Nampak Pak David geram dengan tingkahku. Aku hanya diam sambil menundukkan kepala. Aku juga bingung mengapa aku bisa bersikap sebodoh itu? Sementara Pak David terus mengomel, bos koko hanya diam memperhatikan wajahku. Sesekali ia menarik napas panjang. Ya, aku tahu. Sikapku tadi memang berbahaya dan keterlaluan. Kalau tadi terjadi apa-apa denganku, pasti mereka berdua yang akan bertanggung jawab.
"Ya sudah. David, kamu pulang saja ke kantor. Biar Rey sama saya!" perintah bos koko.
"Baik, Pak."
Kemudian Pak David menjauh dari kami, untuk kembali ke kantor dengan membawa sepeda motornya. Setelah Pak David pergi, aku masih diam saja, karena merasa bersalah. Mengapa aku bisa melakukan hal sebodoh itu? Bagaimana kalau aku tertabrak truk? Hah! Bodoh, bodoh, bodoh! Aku memukul-mukul kepalaku sendiri.
"Rey, masuk!" perintahnya.
Dia membukakan pintu mobil, dan aku masuk ke sana. Rasa takut yang sempat mampir ke kepala jika satu mobil dengannya tidak terpikirkan lagi olehku. Yang aku tahu, bagaimana caranya meminta maaf dengannya. Dia pasti takut bertanggung jawab kalau tadi aku benar-benar tertabrak truk.
'Duh, tenang saja pak. Aku nggak jadi mati kok, jadi bapak aman.'
***
Di dalam mobil, baik aku maupun Bos koko hanya diam. Masih terlihat jelas muka bos koko yang terlihat kesal. Beberapa kali dia melirik sinis ke arahku. Setelah cukup lama, akhirnya dia bersuara juga.
"Yang ada di otak kamu apa, sih?" gerutu bos koko sambil sesekali menoleh ke arahku, sedangkan kedua tangannya sibuk mengemudi.
"Di dalam tas itu ... ada ponsel dari, Bapak."
"Terus kenapa kalau ada ponselnya? Saya bisa belikan kamu 100 ponsel yang sama, jika ponsel itu kenapa-kenapa. Tapi kalau kamu yang kenapa-kenapa, bagaimana? Kamu itu nggak tergantikan, Rey!"
"Maksud, Bapak?" tanyaku langsung menoleh sambil menatap wajahnya heran.
"Ma-maksud saya ... susah mencari pengganti kamu di kantor," jawab bos koko sedikit terbata-bata. "Saya, saya tidak bisa membayangkan mengajari orang baru dari awal kalau kamu tidak ada. Itu, sangat merepotkan. Kamu tahulah, apalagi kalau anak barunya otaknya lemot kayak kamu."
Ish, dalam keadaan seperti ini pun dia masih sempat-sempatnya mengataiku. Hah! Aku memutar bola mata, malas.
"Oh. Iya, maaf, Pak."
"Sudahlah, pokoknya mulai sekarang jangan bersikap seperti itu lagi."
"Iya .... "
Kami telah sampai di gedung mall. Bos koko membelokkan mobilnya ke arah kanan, lalu memarkir mobilnya. Setelah mobil berhenti, ia keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu. Aku keluar dari sana, masih dengan wajah tertunduk. Seperti anak yang habis dimarahi bapaknya. Bos koko berjalan lebih dulu, sementara aku mengekornya dari belakang. Suasana mall cukup ramai. Bos Koko langsung sibuk memeriksa produk ditemani salah seorang pegawai mall, sedangkan aku menemui SPG bertanya soal absensi bulanan yang biasa disetor sebelum gajian. Aku sudah selesai. Melihat Bos koko yang sedang asyik memeriksa produk, aku memutuskan naik ke lantai atas guna melihat-lihat pakaian, sepatu, tas dan lain sebagainya. Bos koko lama banget, sih! Aku sudah satu jam di sini. karena bosan, aku memilih menunggu bos koko di atas. Aku pun menuju ke tempat permainan anak-anak. Duduk di salah satu ruang tunggu dan memainkan gawai di tangan.
"Lama, ya? Maaf," sapanya tiba-tiba, sembari duduk di sampingku.
"Enggak apa-apa, Pak. Bisa kita pulang sekarang?"
Bos Koko tampak berpikir, lalu melihat sekeliling. Dia memintaku menunggu sebentar. Meskipun sebenarnya aku ingin kembali ke kantor, dengan terpaksa aku mengatakan.
"Iya, Pak."
Bos mendekati pegawai yang menunggu kasir, lalu menyerahkan uang dan menerima beberapa koin. Apa dia mau main yang beginian? Ah, masa iya bos koko mau main beginian!
"Rei," sapanya setelah kembali berdiri di dekatku.
"Iya, Pak?"
"Kayaknya main yang itu seru, deh," katanya seraya menunjuk permainan memasukkan bola basket ke keranjang. "Yuk!" ajaknya.
Dia mematung, menunggu aku berdiri. Bos koko maunya apa, sih? Bukannya pulang ke kantor dan langsung kerja, ini malah ngajak main, huft! "Baiklah, Pak." Aku beranjak dari kursi dan kembali menyimpan gawai ke dalam tas. Selanjutnya pria yang berstatus sebagai bosku ini sibuk mengajakku bermain berbagai macam permainan. Padahal, aku tidak begitu suka dengan semua permainan di sini. Setelah bosan bermain, dia mengajakku melihat-lihat pakaian, sepatu, tas, dan alat-alat make-up. Bos koko menawarkan berbagai macam merek terkenal, tapi aku menolak karena tidak suka berbelanja, apalagi mengumpulkan barang-barang mahal. Di luar sana, banyak orang yang lebih membutuhkan perhatian. Daripada uang dihambur-hamburkan untuk keperluan yang tidak jelas, mending disumbangkan.
"Rei, jeans yang ini lagi tren, loh," katanya sambil menunjukkan jeans berwarna biru kepadaku.
Aku menggeleng. "Kamu semuanya nggak mau. Jadi, maunya beli apa?"
"Bapak serius mau beliin saya pakaian?"
"Tentu saja."
Aku berjalan mencari beberapa atasan yang dijual murah. Setelah lama mencari, ketemu juga. Berbagai macam kaus oblong dengan aneka warna tertulis 'serba 20.000'.
"Pak, aku mau beli yang ini."
"Kamu serius?" Aku mengangguk. Wajahnya kembali kesan. "Ya sudah, ambil 50 potong baju itu. Buat ganti kamu setahun!"
Aku mengulum senyum melihat wajahnya yang tampak kesal. Aku memanggil salah satu pegawai mall untuk membantuku memilih dan menghitung. Setelah selesai, mereka membantu kami membawanya ke mobil.
"Pak, temani saya ke rumah teman terlebih dahulu," pintaku.
"Kemana?"
"Nanti saya tunjukkan jalannya."
"Baiklah."
Mobil keluar parkiran dan menuju jalan raya. Ketika melewati sebuah gang, aku meminta Bos Koko berbelok masuk. Setelah 10 menit, kami pun sampai. Tertulis plang 'Panti Asuhan Azz-Zahra'.
Bos koko berhenti dengan dahi mengerut.
"Jadi, baju-baju tadi buat diantar ke sini?"
"Yup!" jawabku sembari membuka pintu mobil dan menurunkan 50 potong pakaian yang akan kami sumbangkan.
Bos Koko ikut turun dan membantu. Anak-anak menyambutku dengan senyum semringah. Aku sudah biasa datang ke sini dengan teman-teman kuliah, menyisihkan sebagian gaji kami untuk mereka. Bos koko yang tadinya kesal, kini tersenyum melihatku dari teras depan. Senyum yang tidak bisa kuartikan. Menurutku senyum itu ... lebih manis dari senyum biasanya.