Hal yang dia dan Ameer bicarakan pagi tadi, cukup mengusik pikiran Kala. Kala selalu berpikir bahwa hidupnya akan terus seperti ini. Berlayar, berlabuh, mengunjungi klub malam, tidur dengan wanita dan kembali berlayar. Berlayar jauh semakin jauh hingga mungkin suatu hari nanti, entah bagaimana dia tidak akan pernah berlabuh lagi dan menghilang seperti buih.
Kala tidak pernah merasa mampu memiliki suatu hubungan yang lebih serius dibandingkan hubungan satu malam diatas ranjang. Dia mengakui bahwa dirinya adalah laki-laki yang cukup handal dalam urusan ranjang, tapi urusan yang melibatkan hati dia sangatlah tidak berpengalaman. Bukan karena dia tidak meiliki kesempatan untuk memulai sebuah pengalaman tapi karena dia tidak pernah mengijinkan dirinya terlibat dalam suatu urusan yang dia tahu dia tidak akan pernah mampu selesaikan. Seperti yang dikatakan Ameer, dia tidak pernah membiarkan dirinya dicintai. Lantas bagaimana dengan mencintai?
Ya, dia pernah mencintai seorang wanita dengan tulus. Bertahun-tahun yang lalu. Sebelum ada deretan wanita yang mengantri untuk tidur dengannya dan sebelum ada pelayaran demi pelayaran yang membawanya semakin menjauh dari rumah. Karena wanita itu adalah alasan dibalik keputusan Kala untuk mengembangkan layarnya dan lari dari apa yang pernah dia sebut rumah.
Dia pernah mencintai dengan sepenuh hati tapi tidak pernah tahu rasanya memiliki. Bahkan wanita itu tidak pernah tahu tentang perasaan Kala. Hingga saat ini, wanita itu mungkin hanya menganggap Kala sebagai salah satu sahabat terbaiknya. Sahabat yang sudah lebih dari 14 tahun menghilang dari kehidupannya.
Jauh kala menatap kearah kaki langit yang sudah berubah menjadi oranye, saat itu wajah wanita itu terbesit dalam pikirannya. Kala merasakan rindu menjalar dalam hatinya seperti tumbuhan ivy yang memenuhi dinding batu bata. Terlihat indah tapi menghancurkan. Bagaimana tanaman itu dengan lembut dan perlahan mencengkram setiap bata yang kokoh, begitulah rasa cinta pada wanita itu mencengkram jiwanya. Seperti ivy yang membuat bata kokoh menjadi lapuk, cinta dan rindu membuat hatinya rapuh.
" sir? " sebuah suara membuyarkan lamunan Kala.
Kala menoleh kearah seorang anak buah kapal yang baru 3 bulan bergabung diatas Miss Marelyn. Pria berkebangsaan belanda itu bertubuh tinggi dan kurus. Julianus namanya. Walau kala selalu melupakan nama-nama wanita yang dia tiduri karena terlalu mabuk, namun dia tetap,ah seorang jenius saat sepenuhnya sadar. Oleh karena itu dia dapat menghapal semua nama anak buah kapal Miss Marelyn. Bahkan ia dapat mengingat nama orang yang hanya ditemui nya satu kali seperti nama barista di salah satu cafe di Busan yang dia temui 3 tahun lalu, nama seorang penjaga toko jimat di sanghai, tukang pijay di pecinaan Singapura, dan seorang supi taxi super cerewet yang membawanya keliling malaysia 4 tahun lalu. Dia dapat mengingatnya.Jadi dapat dibayangkan betapa tersiksanya Kala setiap kali mencoba untuk melupakan wanita itu, karena otak nya tak mampu dan hatinya tak mau.
Kala menggeleng kuat-kuat, berusaha mengeyahkan wanita itu dalam pikirannya. Tanpa dia sadari tindakannya itu membuat si kurus Julianus sedikit ketakutan. kala memang terkenal sebagai salah satu perwira kapal yang ditakuti.
"Sir? Apa anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat dan kurang sehat. Apakah anda membutuhkan sesuatu?"
" aku baik-baik saja"
Julianus kemudian perlahan berbalik hendak meninggalkan kala ketika kala merubah pikirannya " tolong buatkan secangkir kopi untuk ku"
Julianus menganggukdan kemudian bergegas pergi ke dapur.
Sesampainya di dapur Julianus bertemu dengan Ameer yang masih memeriksa stok bahan makanan. Melihat Julianus masuk keadalam dapur, Ameer menghentikan kegiatannya dan menghampiri Julianus. Pemuda itu sedang membuat secangkir kopi.
" membutuhkan asupan kafein, huh?"
Julianus yang kikuk hampir saja menumpahkan kopinya karena terkejut.
" astaga! saya sungguh tidak mendengar anda datang pak"
" panggil saja aku Ameer. Tidak usah terlalu formal, julianus."
Julianus tersenyum " baiklah Ameer, jika kau memaksa. Kalau begitu panggil saja aku Odet."
" odet?"
" semacam nama panggung"
Ameer tergelak dan kembali melirik cangkir kopi yang mulai terisi penuh.
" aku tak tahu kalau kau suka minum kopi, aku kira kamu lebih beer person."
" ini bukan untuk ku. Ini untuk Mr. Carvalho."
" Kala?"
Cangkir sudah terisi penuh dan Odet meletakannya diatas alas cangkir.
"Biarkan aku yang memberikan kopi ini padanya"
Ameer mengambil Cangkir itu dari tangan odet dan beranjak meninggalkannya. Odet merasa lega karena tidak harus berurusan dengan Kala lagi.
Sepuluh menit setelah kepergian Julianus, Kala mendengar suara langkah kaki mendekat. Itu pasti si kurus Julianus, batin Kala. Tapi alih-alih tangan outih pucat dan kurus Julianus yang menyodorka cangkir kopi, sebuah tangan gelap berbulu lah yang menyodorkan cangkir berisi kopi hitam pekat padanya.
" kau meminum beer itu berarti kau sedang memiliki masalah, tapi kau meminum secangkir kopi itu berarti masalahmu tidak lah kecil."
Ameer begitu mengenalnya. Ameer selalu terasa seperti rumah yang selalu Kala impikan. Hangat, ceria, dan nyaman. Jika sampai akhir nanti dia tidak mempu membuka hati dan membiarkan dirinya dicintai, sebaiknya dia mencintai Ameer saja. Karena jelas dia sudah membiarkan Ameer menyayanginya walau masih sebatas seoseorang menyayangi sahabatnya.
" sebaiknya aku jatuh cinta saja padamu"
" demi dewa Kala, ini sudah kedua kalinya kau mengatakan hal gila hari ini! "
kala tergelak "lihat cara mu membuat aku tertawa!"
Ameer duduk disebelah Kala " tapi hidup bukan hanya sekedar tawa , man!"